Minggu, 04 September 2011

> Manusia Sebagai Cermin Tuhan

Manusia disebut “mikro-kosmos” karena pada diri manusia terkandung seluruh unsur kosmik, dari mulai tingkat mineral sampai tingkat manusia. Bahkan menurut saya manusia juga mengandung unsur-unsur ruhani, karena manusia juga memiliki ruh yang berasal dari dunia ruhani. Maka apabila masing-masing tingkat wujud tersebut memantulkan sifat-sifat tertentu dari Tuhan, karena alam semesta secara keseluruhan merupakan cermin universal bagi Tuhan, maka manusia yang mengandung seluruh unsur alam semesta berpotensi untuk memantulkan seluruh sifat-sifat ilahi. Atau dengan kata lain menjadi cermin bagi Tuhan.

Tadi dikatakan manusia baru secara potensial saja dapat mencerminkan sifat-sifat Tuhan, karena pencerminan itu baru bisa secara aktual dicapai, hanya ketika manusia dapat mengaktualkan seluruh potensi kemanusiaannya, yaitu ketika manusia telah mencapai tingkat insan kamil atau manusia paripurna.

Insan Kamil telah menjadi tema sentral bagi beberapa sufi besar, terutama Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya. Salah seorang pengikutnya yang telah secara khusus menulis tentang “insan kamil” adalah “Abd al-Karim al-Jili (w. 1462). Dalam bukunya yang telah tersebar luas, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il, al-Jili menjelaskan tiga macam manifestasi (tajalliyat) yang dapat dipantulkan manusia dari Tuhan: tindakan-tindakan (af’al), nama-nama (asma’) dan terakhir Sifat. Pertama, tajalli af’al.Tentang manusia yang dapat  mencerminkan tindakan-tindakan Tuhan, maka yang berlaku pada dirinya adalah tindakan-tindakan Tuhan, sedangkan ia sendiri telah tercerabut dari semua daya, upaya dan karsa dirinya sendiri. Orang yang seperti ini tidaklah bertindak kecuali apa yang dikehendaki Tuhan. Bukankah Nabi kita dikatakan: “Tidaklah berkata dari hawwa’, kecuali yang diwahyukan kepadanya?” Ia telah menyerahkan seluruh kehendak pribadinya kepada kehendak Tuhan. Demikian juga ayat al-Qur’an yang menyatakan: “ Bukkan engkau [ya Muhammad] yang melempar, ketika engkau melempai, melainkan Allah-lah yang melemparnya.” Jadi sekalipun dalam kenyataan Nabi Muhammad-lah yang melempar debu-debu itu kepada musuh-musuhnya, tetapi karena ia tidak melakukannya berdasarkan kehendak nafsunya, maka dikatakan Tuhanlah yang pada hakikatnya melakukan pelemparan, melalui tubuh Nabi. Inilah ibarat dari ungkapan beberapa sufi yang mengatakan bahwa, “Tuhan telah melihat melalui matanya, dan mendengar melaui telinganya, dan berbicara melaui mulutnya.” Dirinya telah kehilangan daya dan kehendaknya sendiri, tetapi kemudian sebagai gantinya berlakulah kehendak dan daya Tuhan pada dirinya.

Kedua berkaitan dengan tajalli asma’, yakni manusia sebagai cermin dari nama-nama-Nya. Ini terjadi ketika nama-nama tertentu dari Tuhan tercerap oleh manusia dan menggantikan namanya. Kalau hal ini terjadi pada seseorang, maka menurut al-Jili, terhapuslah nama orang itu, dan digantikan oleh salah satu nama Tuhan. Pada saat itu terjadi, maka kesadaran diri seseorang hilang dan digantikan oleh kesadaran akan kehadiran Tuhan, maka aku dan Dia menjadi lebur. Ketika nama “Allah” yang tercerap, maka terungkaplah kata dari mulut Syekh Siti Jenar, ketika ditanya siapa di sana, “Yang ada adalah Allah, bukan Siti Jenar.” Demikian juga ketika nama “al-Haqq” yang terserap, maka terungkaplah kata dari mulut al-Hallaj, “Ana al-Haqq” (aku adalah Kebenaran) Yang dimaksud dengan Kebenaran di sini adalah Tuhan, karena dalam wacana sufistik Tuhan disebut Kebenaran. Pada saat itu al-Hallaj “menafikan” dalam arti “kehilangan kesadaran akan dirinya,” dan menetapkan (itsbat) hanya keberadaan Tuhan. Atau dalam ungkapan al-Jili sendiri: “Ana Allah,” ketika Allah menghapus nama sang hamba dan menetapkan baginya nama Allah.”

Yang ketiga atau terakhir, manusia sebagai cermin atau tempat bertajalli sifat-sifat Tuhan. Al-Jili mengatakan, “Apabila sifat Allah bertajalli pada diri hamba, maka hamba tersebut “berenang: dalam falak sifat tersebut. Kalau sifat ilmu Tuhan yang bertajalli pada diri hamba, maka ia akan mengetahui objek-objek ilmunya itu secara komprehensif dari awal sampai akhirnya. Ia mengetahui sesuatu dari sudut kualitasnya, bagaimana keberadaannya, bagaimana akan jadinya. Mengetahui apa yang belum ada dan apa yang tidak akan tidak ada sejauh ia belum ada… Demikian juga, ketika sifat maha mendengar (sama’) yang bertajalli pada seorang hamba, maka ia dapat, menurut al-Jili, mendengar pembicaraan benda-benda mati, tumbuhan dan hewan-hewan, serta percakapan malaikat, dan ia juga bisa memahami berbagai bahasa yang berbeda-beda.

Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa kita dianjurkan, berdasarkan sebuah hadits qudsi, untuk menirukan akhlak Tuhan (takhallaqu biakhlaq Allah). Ketika kita berpuasa, maka sebenanrnya kita sedang berusaha mengatasai ketergantungan kita pada makanan-makanan fisik dan dengan itu mencoba mengatasi batas-batas fisik kita. Ini bisa kita sebut sebagai usaha kita untuk mencontoh sifat Tuhan, “al-Ghani”, maha kaya atau independen. Demikian juga ketika seseorang mencoba menggoreskan pikiran-pikirannya dalam bentuk tuliasan, maka bagi saya, ia sedang menirukan sifat “hidup” (al-Hayy) Tuhan, karena dengan begitu ia bisa mengabadikan pikirannya, sekalipun ajalnya kemudian tiba. Kalau karya itu bagus, maka semua orang akan mendapatkan manfaat darinya. Syukur lagi kalau buku-bukunya itu kemudian masih bisa menghidupi keluarga yang ditinggalkannya melalui royaltinya. Sekalipun ia telah tiada, maka tentu saja ia masih bisa terus menghidupi keluarganya, seakan-akan ia hidup terus untuk selamanya