Minggu, 04 September 2011

> Manusia dan Pengetahuannya

SELAIN kebebasan memilih, Tuhan juga memberikan kemampuan lain kepada manusia untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Kemampuan atau kecakapan itu tak lain daripada kemampuannya di bidang ilmu pengetahuan. Tuhan berfirman, “ia telah mengajarkan seluruh nama kepada Adam A.S.” sebelum ia melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka Bumi. Pengetahuan manusia ini akan menjadi pembahasan utama bagian kedua dari karya ini: “ma’rifat” atau pengetahuan sejati. Tetapi dalam kesempatan ini saya hanya ingin mengungkapkan tiga kecakapan yang dimiliki manusia untuk menangkap ilmu pengetahuan, karena itu masih termasuk dalam deskripsi ontologis dari manusia.

Pada umumnya para sufi berbicara tentang tiga alat (atau kadang disebut sumber) ilmu pengetahuan, yaitu indera, akal dan hati (intuisi). Indera mereka bagi menjadi indera lahir dan indera batin. Jadi bukan hanya lima indera lahir, sebagaimana yang baisa kita ketahui. Di antara indera batin yang paling adalah “mutakhayyilah” atau apa yang disebut oleh Ibn ‘Arabi sebagai “creative Imagination.” Inilah “mata hati” dengan mana para sufi dapat melihat entitas-entitas spiritual, sebagaimana indera lahir kita menangkap objek-objek inderawi.

Yang kedua adalah akal. Akal dipandang sebagai “mudabbir” (pengelola) yang dapat mengendalikan nafsu- nafsu, sehingga nafsu tersebut bisa membantu (bukannya menghalangi) pertumbuhan spiritualitas seseorang. Dalam bukunya Kimia Kebahagiaan, al-Ghazali menganalogikan akal dengan wazir yang perintah-perintahnya harus diikuti oleh nafsu, yaitu nafsu syahwat, yang dianalogikan dengan “pengumpul pajak” dan nafsu ghadhabiyah, yang dianalogikan dengan polisi. Hanya dengan mengikuti instruksi-instruksi sang wazir maka mekanisme negara akan berjalan lancar dan memperoleh kemajuan.

Yang ketiga adalah hati atau intuisi. Hati ini oleh al-Ghazali diumpamakan sebagai “Raja” yang memperkerjakan akal sebagai wazirnya, seperti yang telah disinggung, dengan nafsu syahwat dan ghadhabiyah, masing-masing sebagai pengumpul zakat dan polisi. Jadi hati inilah yang sebenarnya menentukan kebijakan dan tujuan hidup manusia, sedangkan akal dan nafsu sebagai para pelaksana dan bawahan yang diharapkan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan mencapai tujuan hidupnya.

Adapun tentang keunggulan dan dan kekurangan dari ketiga alat pengetahuan ini, al-Ghazali juga menulis dalam kitabnya al-Munqidz min al-Dhalal, sebagai berikut: “Pada tahap awal kita akan mengira bahwa inderalah satu-satunya alat pengetahuan yang akan membawa kita kepada kepastian. Bukankah kita yakin bahwa gelas yang ada di hadapan saya ini betul-betul ada karena indera penglihatan dan perabaan membuktikan keberadaannya? Dan karena itu tidak ada sedikitpun keraguan tentang itu? Inilah antara lain keunggulan panca indera dibanding dengan yang lain; kita yakin karena kita mengalaminya secara langsung. Tetapi indera juga mempunyai beberapa keterbatasan. Misalnya indera penglihatan kita sulit sekali dapat melihat pergeseran bayangan benda yang terkena sinar matahari. Meskipun begitu kita yakin bahwa ia bergeser, karena ketika sore hari ia condong ke timur, padahal sebelumnya ia condong ke Barat. Ini berarti bahwa perubahan itu ada, hanya saja sangat sulit diditeksi oleh pandangan mata telanjang kita. Demikian juga ketika kita melihat bintang yang sesungguhnya. Semua bintang terlihat kecil oleh pandangan kita, padahal ada bintang yang puluhan kali bahkan ratusan kali besarnya matahari kita. Oleh karena itu pada tahap berikutnya kita tidak bisa merasa pasti terhadap kemampuan indera sebagai sumber pengetahuan. Di sinilah titik kelemahan sang indera.”

Ketika al-Ghazali beralih perhatiannya kepada akal, maka segera ia mengetahui kelebihan akal dibanding dengan indera. Dalam salah satu tulisannya ia pernah mengatakan bahwa “akal lebih berhak disebut sebagai cahaya daripada indera.” Cahaya di sini tentu saja dipandang sebagai sesuatu yang terang pada dirinya dan dapat menyebabkan sesuatu yang gelap atau remang-remang pada dirinya, jadi terang dan terlihat jelas.” Dengan pengertian cahaya seperti itu maka menurut al-Ghazali akal lebih patu disebut sebagai cahaya daraipada indera. Ini bisa dilihat misalnya dalam kasus bulan. Ketika indera hanya bisa melihat, dalam satu saat, separuh saja dari bulan, maka akal dapat menyempurnakannya, sehingga ia dapat menyimpulkan bahwa bulan berbentuk bola yang utuh (sferik), sekalipun indera tidak pernah dapat melihat paruh yang lainnya.

Tetapi kelemahan akal adalah bahwa ia tunduk pada subjek yang menggunakananya, sehingga ia kemudian teroerangkap pada jurang subjektifitas. Dengan begitu kebenaran yang ditangkap oleh akal bersifat fragmenter dan subjektif. Akibatnya, terjadilah banyak perbedaan yang tajam dari para pengguna akal, baik itu para teolog maupun para filosof. Maka kebenaran akal menjadi kebenaran yang semu, sebagaimana kebenaran mimpi yang ketika mimpi itu berlangsung terasa begitu nyata dan logis, tetapi setelah kita terjaga, ternyata “kenyataan” tersebut menjadi rancu dan tidak bermakna.

Yang terakhir adalah hati atau intuisi. Berbeda dengan indera yang hanya bisa menagkap objek-objek kongkrit dan fisik, hati dapat menangkap objek-objek spiritual (ma’qulat) atau objek-objek ghaib. Seperti akal, hati dapat menangkap objek-objek non-indrawi, tetapi berbeda dengan akal, yang menggunakan nalar diskursif, hati dapat mengalami langsung objek-objek ruhani, seperti halnya indera dapat menangkap secara langsung objek-objek fisiknya, sehingga ia bisa lebih menimbulkan keyakinan (kepastian) dibanding dengan akal yang menangkap objek-objeknya secara tidak langsung, yaitu melalui proses penarikan kesimpulan atau apa yang sering disebut sebagai “metode silogistik.” Oleh karena itu, al-Ghazali memandang hati sebagai alat yang paling tinggi dan meyakinkan dalam pengetahuan kita tentang yang ghaib.

Tetapi alasan yang paling mendasar bagi kelebihan hati dibanding dengan akal dan juga indera, adalah kenyataan bahwa melalui hatilah Tuhan menyibakkan rahasia-rahasia keghaiban dalam peristiwa yang disebut “mukasyafah,” di mana seorang manusia dibukakan pintu hatinya untuk secara langsung dapat menyaksikan (musyahadah) realitas-realitas spiritual yang selama ini terhijab ratusan ribu cadar. Dengan demikian tersingkaplah ke dalam hati seorang sufi segala rahasia baik yang ada di alam nyata maupun alam ghaib, sehingga ia dapat membedakan mana yang benar-benar sejati dan mana yang ternyata palsu dan ilusif.