Senin, 05 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 4]

Dalam sajak penyair sufi Melayu terkenal Hamzah Fansuri terdapat kutipan: Hamzah Fansuri di dalam Mekkah/Mencari Tuhan di Bait al-Ka’bah/ Di Barus ke Kudus terlalu payah/ Akhirnya dapat di dalam rumah

Perhatian bahwa penyair besar dan guru tasawuf yang diyakini hidup antara pertengahan abad ke-16 dan awal abad ke-17 itu menyebut Kota Kudus sebagai salah satu alternatif dalam proses mencari Tuhan. Mengingat Hamzah Fansuri sendiri tinggal di Barus, Kota pelabuhan di Sumatera Utara, penyebutan tersebut membuktikan posisi Kudus sebagai kota suci, atau tepatnya pusat keagamaan, yang sudah dikenal. Ternyata, nama Kudus itu sendiri diberikan dengan sadar untuk mengesahkan keberadaannya sebagai pusat keagamaan tersebut, seperti tertulis dalam inskripsi di masjid dengan menaranya yang berarsitektur khas gaya Hindu: “… telah mendirikan mesjid Aqsa ini di negeri Quds …” Adalah lidah Jawa yang memuntir istilah Arab al-Quds yang berarti Baitulmukadis menjadi Kudus.
Nama kota itu sebelumnya memang bukan Kudus, melainkan Tajug. Ketika masih bernama Tajug, tempat itu dalam buku De Graaf dan Pigeaud disebut-sebut “digarap” oleh seorang Tionghoa Muslim bernama The Ling Sing, yang kemudian disebut Mbah Telingsing. Tajug itu sendiri berarti “rumah-rumahan (di atas makam) dengan atap meruncing”, gaya bangunan ini sejak lama rupa-rupanya sudah digunakan untuk tujuan-tujuan keramat. Jadi, Kudus yang berasal dari Tajug ini boleh diandaikan tempatnya telah lama dimaknai dengan sifat kekeramatan tertentu.
Adalah Sunan Kudus yang dianggap membuatnya “resmi” sebagai kota suci. Namun Sunan Kudus manakah yang kita bicarakan ini? Penyelidikan dari sejumlah buku menunjukkan setidaknya sampai tiga orang telah terkacaukan sebagai Sunan Kudus. Dalam kisah mengenai Sunan Muria pada Intisari edisi November lalu, disebutkan tentang salah seorang walisanga angkatan ke-3 yang bernama Ja’far Shodiq (atau Jafar Sidik) dan akan disebut Sunan Kudus. Nah, ini bisa disebut sebagai “Sunan Kudus Palestina” karena seperti dicatat dalam buku Hasanu Simon, disebut berasal dari Palestina dan datang di Jawa pada 1435.
Juga kadang terkacaukan sebagai Sunan Kudus adalah Sunan Ngudung, panglima perang balatentara Demak yang gugur dalam penyerbuan ke Majapahit, yang kemudian digantikan putranya, juga bernama Ja’far Shodiq, yang berhasil membawa Demak meraih kemenangan – inilah Sunan Kudus ketiga, dan yang paling sering dirujuk, sebagai wali paling tegas dalam penegakan syariat dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan.
Namun dalam ketegasannya, setidaknya seperti terkisahkan dalam legenda, Sunan Kudus ini juga disebutkan sangat toleran terhadap tradisi non-Islam yang masih dianut penduduk ketika mula-mula berdakwah, yakni penghormatan agama Hindu terhadap sapi. Demi menjaga perasaan, disebutkan ia menganjurkan kepada yang sudah masuk Islam agar jangan menyembelih sapi untuk keperluan pesta, melainkan kerbau saja. Agaknya ini juga menjelaskan betapa sampai sekarang di Kudus masih akan ditemukan orang menjual soto kerbau dan sate kerbau, yang rupanya juga menjadi ciri kota itu.
Menyangkut angka-angka tahun, masih terjadi kekaburan mengenai siapa yang membangun Menara Kudus terkenal itu. Di atas menara terdapat penanda tahun (candrasengkala) gapuro rusak ewahing jagad yang berarti tahun 1685. Padahal masa pemerintahan Raden Patah yang berkuasa semasa hidup Sunan Kudus adalah 1462 – 1518, dan diduga Sunan Kudus wafat antara 1518 atau 1550. Dengan begitu terdapat jarak satu abad antara kematian Sunan Kudus dan pembangunan menara masjid, dan berarti gugur pula legenda yang menyatakan menara tersebut adalah jarahan yang dipindahkan dari depan Keraton Majapahit.
Tahun pembangunan masjid itu sendiri, seperti tertera, adalah 1549, juga tidak cocok dengan masa hidup Sunan Kudus. Akibatnya timbul dugaan, kata Arab Quds memang datang dari Ja’far Shodiq asal Palestina tadi, bahkan mungkin pula Mbah Telingsing. Tidak ada satu pun yang pasti -kecuali bahwa Menara Kudus sampai hari ini masih berdiri.
Musafir dari Barat, Antonio Hurdt, dalam ekspedisi ke Kediri tahun 1678, seperti dilacak De Graaf dan Pigeaud, menyatakan kekaguman atas “menara raksasa, suatu bangunan yang kukuh tampan dan yang arsitekturnya jelas diilhami oleh candi-candi zaman pra-Islam.” Perhatikan bahwa angka tahun itu tidak selaras dengan candrasengkala yang terdapat di menara.
Mengapa Sunan Kudus pindah dari Demak?

Peneliti Widji Saksono dalam Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisanga (1995) menyebut angka pembangunan masjid tahun 1537, dan ini membawa kepada cerita lain, seperti bisa dibaca dari buku Hasanu Simon: ketika Sultan Demak dijabat oleh Trenggana dan masjid tersebut dibangun, Ja’far Shodiq yang belum bergelar Sunan Kudus tidak lagi menjabat panglima perang. Keadaan ini ditafsirkan akibat perselisihan paham dengan Sultan, yang kemungkinan telah menurunkan jabatannya sebagai penghulu Masjid Demak. Maka berpindahlah Ja’far Shodiq ke Kudus. Disebutkan suatu ketika beliau memimpin rombongan naik haji ke Mekah, sehingga ia juga disebut amirul hajj dan dikenal sebagai ahli fiqih. Masuk akal jika ditafsirkan, Sunan Kudus seperti ingin memindahkan wibawa keagamaan dari Demak ke Kudus. Disebut keagamaan, tapi tak lebih dan tak kurang politik jua adanya. Artinya lebih serius dibandingkan dengan sekadar perkara perbedaan pendapat tentang awal bulan puasa, seperti disebutkan dalam tambo Jawa yang dikutip De Graaf dan Pigeaud.
Riwayat Sunan Kudus memang diwarnai oleh berbagai manuver politik. De Graaf dan Pigeaud menguraikan, mungkin saja Sunan Kudus meninggalkan Demak “karena keinginan untuk hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk memperdalam ilmu ketuhanan dan melakukan karya-karya yang direstui Tuhan, di luar lingkungan keraton (Demak)” – dan keputusan itu diperkirakan beberapa tahun sebelum 1549, tahun keterteraan angka di mihrab masjid besar Kudus.
Namun kedua sejarawan itu juga mengungkap versi lokal (yang dicatat: kurang dapat dipercaya) bahwa Sunan Kudus pindah karena tidak suka dengan kedatangan Sunan Kalijaga dari Cirebon pada 1543. Barangkali memang data-datanya tidak akurat, untuk menghindari istilah tidak ada, tetapi masih bisa ditafsirkan sebagai terdapatnya indikasi rivalitas antara kedua wali tersebut.

Meredupnya wibawa Kudus
Historiografi Jawa menyebutkan bahwa Sunan Prawata semula adalah murid Sunan Kudus yang berpindah menjadi murid Sunan Kalijaga. Pada masa lalunya, Sunan Prawata membunuh Pangeran Seda Lepen, kakak ayahnya, agar Trenggana, ayahnya itu, bisa menjadi raja; Aria Panangsang, anak Seda Lepen, yang menjadi murid Sunan Kudus, diperintahkan gurunya untuk membunuh Sunan Prawata, yang segera dituruti dengan mengirim Rangkud, orang keper-cayaannya. Dalam legenda adegan pembunuhan berlangsung dramatis: menyadari masa lalunya, Sunan Prawata mempersilakan Rangkud membunuhnya, apa lacur keris yang menembus tubuh Prawata menyebabkan kematian permaisuri pula. Maka dengan sisa tenaga Prawata melemparkan keris pusakanya ke arah Rangkud, yang meski hanya terkena gagangnya toh tewas juga. Tiga mayat bergelimpangan di peraduan Sultan Demak.
Rivalitas berlanjut ketika sengketa antara Aria Panangsang dari Jipang dan Jaka Tingkir dari Pajang yang meruncing sebetulnya adalah atas dorongan Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga di belakang masing-masing yang bertikai, ketika Aria Panangsang membangkang terhadap Kesultanan Pajang. Legenda Jawa menyebutkan pertarungan seru antara Aria Panangsang melawan Sutawijaya yang kelak menjadi Panembahan Senopati pendiri Mataram.
Namun De Graaf dan Pigeaud mengutip berbagai macam babad, serat, dan cerita tutur Jawa itu dengan sangat hati-hati, rapi, dan teliti, tanpa bermaksud menyuguhkannya sebagai fakta, melainkan alat bantu guna menafsirkan data-data layak sejarah yang sangat terbatas: “Kiranya dapat diperkirakan bahwa kemenangan Jaka Tingkir, Sultan Pajang, atas Aria Panangsang dari Jipang, murid tersayang Sunan Kudus, pada tahun 1549, sangat merugikan wibawa peme-rintahan Kudus di Jawa Tengah.”
Akhirnya bukan hanya Kudus, tetapi juga wibawa Demak menyurut ketika hanya menjadi bagian Kesultanan Pajang, apalagi setelah Kerajaan Mataram menjadi kokoh. Pusat kekuasaan di Jawa berpindah dari pesisir ke pedalaman, meski Demak dan Kudus tetap dihormati sebagai pusat keagamaan.
Sunan Kudus dan Ki Ageng Pengging

Telah disebutkan reputasi Sunan Kudus sebagai pemegang syariat yang teguh. Suatu sikap yang ditegaskan dengan kekerasan manakala menghadapi masalah keagamaan yang diakibatkan Syekh Siti Jenar. Riwayat yang belakangan ini akan diuraikan kelak untuk menutup serial Walisanga, cukup dikatakan sekarang Sunan Kudus menjadi sponsor utama hukuman mati atas Syekh Siti Jenar yang juga disebut Syekh Lemah Abang.
Kata abang (merah) dari sinilah yang dirujukkan kepada kaum “abangan”, meski konsep manunggaling kawulo-Gusti (menyatunya hamba-Tuhan) belum tentu dikenal mereka yang merasa sebagai pelaku “abangan”. Mengenai oposisi “abangan-mutihan” atau “abangan-santri” perlu diperhatikan pendapat peneliti Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2005): “Penelitian mutakhir – baik di Barat maupun Indonesia – menolak gambaran ini, dan buku ini mendukung penolakan tersebut.” Pemilahan “santri-priyayi-abangan” yang menjadi populer karena penelitian Clifford Geertz dalam buku Agama Jawa (1960) telah (dianggap) gugur.
Ketegasan yang sama juga diperlihatkan Sunan Kudus ketika menghadapi penolakan tunduk Ki Ageng Pengging kepada Demak, yang lebih terorientasikan kepada politik kepercayaan (agama) ketimbang politik kewilayahan. Ceritera tutur Jawa mengenai kerajaan penting, Pengging, di daerah atas Bengawan Solo pada abad ke-15 dan ke-16, seperti ditunjukkan De Graaf dan Pigeaud, dapat dipercaya. Menurut mereka, “Dapat diperkirakan bahwa pada abad ke-15, Pengging di sebelah barat kerajaan dan Blambangan di sebelah timur kerajaan mempunyai kedudukan yang setaraf terhadap kota raja Majapahit di Jawa Timur. “Juga diperkirakan Pengging masih bertahan abad ke-16, karena kota raja Majapahit pun baru tahun 1527 direbut orang Islam.” Menurut Babad Tanah Djawi, dalam catatan De Graaf dan Pigeaud, kerajaan Pengging runtuh oleh tindakan kekerasan “Alim Ulama dari Kudus”, yang juga dengan “kelompok alim”-nya telah memerangi “kekafiran” di Majapahit.
Sampai di sini, kita akan beralih kepada disertasi Nancy K. Florida, yang pernah dikutip dalam laporan tentang Sunan Kalijaga, tentang Ki Ageng Pengging sebagai sosok “ketakdapatditentukan”, yakni berada di luar kategori pilihan antaralternatif-alternatif seperti: luar versus dalam, jiwa versus raga, kuasa duniawi-politis versus kuasa spiritual. Dalam Babad Jaka Tingkir yang ditelitinya, menurut Florida, Ki Ageng Pengging menolak penempatan dirinya pada bagian pinggir. Dialah sosok pinggiran yang melawan keterpinggiran. Ia menolak untuk memilih “yang ini atau yang itu”, jalan yang ditempuhnya bersifat “yang ini dan itu”; jadi meskipun cerita tutur menyebutnya sebagai Kebo Kenanga yang menjadi murid Syekh Siti Jenar, ia tidak melawan kekuasaan secara frontal seperti Syekh Siti Jenar, melainkan dalam posisi “ketakdapatditentukan” dan ini menghancurkan pilihan yang diberikan penguasa kepadanya, yakni tunduk atau memberontak, Ki Ageng Pengging berada di luar keduanya. Katanya:

“Kalau memilih yang dalam salah / Kalau memilih yang luar tersesat / Bimbanglah dalam kepercayaan / Kalaulah memilih yang atas / Bagai memburu gema / Kalaulah memilih depan / Sungguh kesasar tersesat / Kesasar tujuh mazhab / Atas, bawah, kiri, kanan milikku / Tak ada yang kumiliki”.

Menurut Florida, “Penolakan Ki Ageng Pengging untuk memilih ini mengakibatkan dia dijatuhi hukuman sebagai musuh negara, dan karenanya menandatangani surat kematiannya. Dan lawan bicaranya memang secara langsung mengeksekusi hukuman tersebut. Namun, hanya dengan kehendak Pengging sendirilah tusukan Sunan Kudus pada sikunya dapat membawa kematiannya; bahkan dengan kematiannya pun, junjungan dari Pengging ini masih tak dapat di-tentukan keberadaannya.”
Kita ikuti bagaimana peristiwa tersebut berlangsung dalam Babad Jaka Tingkir:

Pangeran Kudus katanya manis: “O, Kakanda Pengging, Paduka / Dapatkah mati di dalam hidup / Saya ingin menyaksikannya” Ki Ageng menyahut lembut: / “Memang, saya bisa / Dengan ataupun tanpa dirimu / Janganlah menggampangkan iman / Jika kau ingin menyaksikan / Burung Yang Elok / Engkau harus tahu Asal dan Tujuan” Keras jawaban Pangeran Kudus: / “Lalu, di manakah hidup dan / matimu?” / Ki Ageng halus ucapannya: “Belahlah sikuku / Dengan sekinmu sendiri” / Dibelahlah ketika itu / Jatuh lalu tewas / Lantas mengucapkan salam / Kanjeng Pangeran Kudus lembut menyahut: “Wa’alaikum salam.”

Sekin adalah pisau untuk mengkhitan, yang tentu saja boleh dimaknai sebagai simbol dengan penafsiran masing-masing. Seperti juga Burung Yang Elok disepakati sebagai kiasan bagi Pencerahan.

Bersambung...