Senin, 05 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 28]

Tidak lama berselang terdengar suara kuda yang bergerak ke arah mereka. Dua ekor kuda yang ditunggangi Kebo Benowo dan Loro Gembol telah berada di tengah-tengah pengikutnya.

“Ki Gempol,” ujar Joyo Dento mendekat, “Terlihat segar malam ini….”

“Benar, Dento.” Loro Gempol turun dari punggung kuda, “Syekh Siti Jenar benar-benar hebat. Hanya dengan tatapan mata beliau menyembuhkan luka dalam akibat tendangan Ki Sakawarki.”

“Hebat!” Joyo Dento menggelengkan kepala. “Artinya Ki Gempol sudah siap memimpin kembali pemberontakan?”

“Tentu saja, Dento.” Loro Gempol menepuk-nepuk dadanya, “Bahkan ilmuku sudah mulai bertambah meski dalam waktu sangat singkat. Saya sudah memiliki tendangan yang lebih hebat dari Ki Sakawarki.” lalu memutar lehernya mengikuti sudut pandangnya yang tertuju pada sebongkah batu.

“Seperti apa tendangan itu, Ki?” tanya Kebo Benongo.

“Lihatlah! Saya akan menghancurkan batu sebesar perut kerbau itu hanya dengan satu kali tendangan.” Loro Gempol lalu mengambil ancang-ancang, seraya loncat dan mengarahkan tendangannya pada batu.

Dragkkkk….tendangan kaki Loro Gempol menghantam sasaran, tidak pelak lagi hancur lebur berkeping-keping. Prilakunya disambut dengan tepukan pasukan gelap sewu, serta Joyo Dento dan Kebo Benongo.

“Bisa seperti itu Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu kanuragan, Ki Gempol?” Joyo Dento mengerutkan keningnya.

“Bukankah dia orang sakti, Dento?” Loro Gempol tersenyum.

“Sayang, Ki Gempol?”

“Kenapa, Dento?”

“Seandainya beliau bersedia mendukung perjuangan kita dengan kesaktiannya, sudah barang tentu sangat mudahlah menghancurkan Kademangan Bintoro.” ujar Joyo Dento, seraya duduk di atas bangku yang terbuat dari kayu. “Sungguh sayang, begitu juga Ki Ageng Pengging, sangatlah sulit untuk diajak serta.”

“Jangankan Kademangan, Demak pun jika beliau mau tentu bisa dihancur leburkan!” timpal Loro Gempol.

“Sangat aneh?” Joyo Dento menggelengkan kepala, “Semakin tinggi ilmunya, semakin digjaya kesaktiannya, malah semakin tidak tertarik pada kekuasaan?” lalu menghela napas dalam-dalam.

“Itulah keanehan mereka, Dento.” Kebo Benowo ikut nimbrung, “Bukankah menurut andika tidak perlu lagi memikirkan mereka yang sudah tidak memiliki keinginan untuk berkuasa.”

“Ya, lupakan saja semuanya!” Joyo Dento bangkit dari duduknya, “Sebaiknya kita tidak terpengaruh….”

Bersambung……