Selasa, 06 September 2011

> Siti Jenar dan Wali Sanga [Bag 34]

“Tidak perlu khawatir, Ki Angeng Pengging.” lalu Syekh Siti Jenar memutar tatapan matanya, “Lihatlah, daun kering dan ranting yang Ki Chantulo genggam. Jasad manusia tak ubahnya ranting dan daun kering, jika sampai pada waktunya akan jatuh di atas tanah. Penyebabnya bisa karena tertiup angin sepoi-sepoi, mungkin saja ditebas pemilik kebun, bisa juga dimakan ulat atau binatang ternak lainnya. Itulah sebuah taqdir. Kekhawatiran akan muncul, karena tadi itu.” sejenak menghentikan perbincangannya.

Senja hening di padepokan Syekh Siti Jenar, para muridnya seakan-akan tenggelam dan hanyut dalam keadaan. Angin semilir mengusik dedaunan dan jubah yang dikenakan Syekh Siti Jenar, berkelebat.

“Saya ingat sabda alam yang pernah Syekh Sampaikan.” Ki Donoboyo mengerutkan dahinya, “Mungkinkah pesan yang disampaikannya berlaku pada kita…..”

“Jika ya? Meskikah kita mengambil tindakan?” tatap Ki Chantulo.

“Tentu saja, Ki Chantulo.” Ki Donoboyo mendekat, “Bukankah kita harus berusaha membela diri. Mungkin caranya berbeda dengan orang kebanyakan. Bukankah kita tidak mungkin menyerahkan diri pada hukuman sebelum melakukan pembelaan?”

“Begitukah, Syekh?” Ki Chantulo menyapu wajah Syekh Siti Jenar dengan tatapan matanya.

“Saya tidak mengaharuskan melawan taqdir.” ujar Syekh Siti Jenar, “Berlakulah andika sebagai manusia dengan keterbatasan ilmu dan ketidaktahuan.”

“Maksudnya?” Ki Chantulo, Ki Donoboyo, dan Kebo Kenongo mengerutkan dahinya.

“Sejauhmana andika paham pada kejadian yang akan datang? Sebatasmana rasa khawatir yang muncul dalam jiwa? Berlakulah dalam keterbatasan dan yang membatasi semuanya.” sejenak berhenti, “Bukankah tidak semua manusia memahami perjalanan hidupnya? Apa yang akan terjadi hari ini? Lantas hal apa besok hari yang akan menimpa kita? Akan bersedihkah? Bahagiakah? Manusia tidak bisa mempercepat, memperlambat, bahkan mundur dari kehendakNya. Hanya orang tertentu saja yang memahami akan perjalanan hidup, mengenai hal yang sebelumnya atau akan didapati.” urai Syekh Siti Jenar.

“Saya belum terlalu paham maksudnya?” Ki Donoboyo memijit-mijit keningnya.

***

“Saya menyadari akan keteledoran dan ketidaktahuan, Kanjeng.” Raden Patah menyeka air mata, “Sehingga timbul penyesalan yang teramat dalam….”

“Tidak cukup dengan sebuah kata dan kalimat penyesalan, Raden.” ujar Sunan Giri, “Seandainya itu berdosa kepada Allah, maka bisa ditebus dengan taubatan nashuha. Setelah itu memperbaiki diri dan tidak berbuat kembali. Tetapi bersalah pada rakyat, meminta maaf pun harus pada mereka…”

“Bukankah rakyat negri Demak Bintoro ini sangat banyak, Kanjeng?”

“Meminta maaf pada rakyat tidak cukup dengan perkataan dan ucapan, berkeliling menemui penduduk negeri.” Sunan Giri berhenti sejenak, “…rubahlah keadaan negara hingga tidak ada lagi rakyat kelaparan. Meski miskin itu ada, karena sunnatullah. Berupayalah Raden sebagai seorang pemimpin mengubah keadaan negara. Seorang pemimpin tidak saja bertanggungjawab di dunia, tetapi di akhirat juga. Di dunia bisa jumawa, di dunia bisa sewenang-wenang, di dunia bisa teledor, khilaf. Sudah menjadi kewajiban kami para wali mengingatkan umara agar tidak terjerumus di dunia dan akhirat.”

“Saya sangat menyadari semuanya, Kanjeng.” Raden Patah semakin menunduk, “Haruskah saya mundur untuk menebus semua kesalahan ini?”

“Mana mungkin bisa merubah keadaan jika mundur? Balikan telapak tangan, berbuatlah yang terbaik untuk rakyat.” terang Sunan Giri, “Berbuat untuk rakyat, berati berbuat untuk diri sendiri, negara, agama, dan keluarga.”

Bersambung……