Jumat, 02 September 2011

> Konsep Insan Kamil Dalam Tassawuf

Manusia merupakan kajian menarik yang penuh misteri, mengkaji tentang manusia tidak akan pernah ada habisnya. Dan yang menarik adalah menyangkut pencapaian kesempurnaan manusia.

Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah pengantar (Murtadha Muthahhari, 1994) mengatakan bahwa manusia merupakan miniatur dari alam raya. Jika pada alam raya terdapat tiga tingkat alam yaitu : rohani, khayali, dan jasmani, maka pada manusia ketiga alam tersebut juga terwujud yaitu dalam bentuk ruh, nafs(diri), dan jism(tubuh). Tingkatan alam ini menunjukkan sejauh mana ia menyerap cahaya Tuhan. Roh adalah bagian yang paling terang dan jism adalah bagian yang paling gelap, sedangkan nafs adalah jembatan yang menghubungkan antara keduanya.

Abbas Mahmud al-Aqqad(1996) dalam buku Menggugat Tasawuf (H.M. Amin Syukur, 2002) mencoba merumuskan definisi Qur’ani bahwa manusia adalah makhluk yamg terbebani(mukallaf) dan makhluk yang diciptakan sesuai dengan bentuk(shurah) Tuhan atau dalam bentuk “copi”Nya. Definisi ini sesuai dengan sebuah hadits yang berbunyi :

إن الله خلق آدم على صورته

Pendefinisian manusia yang kadua ini sejalan dengan kejadian manusia dalam Ilmu Tasawuf. Al-Hallaj berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani terdiri dari materi, sedangkan unsur rohani dari Tuhan, Karena itulah manusia mempunyai sifat kemanusiaan(nasut) dan ketuhanan(lahut) (R.A.Nicholson, 1969 dalam H.M. Amin Syukur, 2002).

Pandangan-pandangan tentang manusia juga lahir dari dunia barat. Nietzsche berpendapat bahwa seseorang bisa dikatakan sempurna ketika ia telah mendapatkan kekuasaan dan kebebasan secara penuh. Sedangkan menurut Arthur Schopenhauer manusia akan mencapai kesempurnaan ketika ia telah manamui kamatian. Kedua pendapat diatas jika dianalisis maka kan tampak kekurangannya yaitu unsur jasmani lebih ditonjolkan dan cenderung fatalistik, disamping itu kedua pendapat tersebut sangat dangkal dalam memahami eksistensi manusia.

Sedangkan jika ditinjau dari kacamata Islam, Karena manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani maka kesempurnaan manusia meliputi kedua aspek tersebut. Dari aspek jasmani sudah tampak kesempurnaan manusia disbanding makhluk Allah yang lain.Dalam kesempurnaan manusia ini aspek rohani lebih kuat pengaruhnya. Hal ini sesuai dengan konsep insan kamil dalam dunia tasawuf.

Dalam tasawuf kesempurnaan manusia merupakan kesempurnaan dari citra Ilahi Karen manusia diciptakan dalam bentuk Tuhan. Al Qur’an menegaskan bahwa manusia adalah wakil Tuhan di dunia ini untuk melaksanakan “blueprint”Nya membangun surga di dunia ini.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Insan Dan Kamil

Sebelum membahas tentang insan kamil ada baiknya jika kita terlebih dahulu memahami makna dari insan dan kamil secara terpisah.

Insan(manusia) adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan sebaik-baiknya penciptaan. Sebagaimana firman Allah

لقد خلقنا فى أحسن تقويم

Masalah penciptaan manusia Al Qur’an telah menjelaskan secara global. Peoses kejadian manusia pertama(adam) dalam Al Qur’an dirumuskan dalam tiga konteks(Quraish Shihab, 1997)

· Bahan awal manusia dari tanah

· Bahan tersebut disempurnakan

· Setelah proses penyempurnaan selesai, ditiupkan kepadanya Ruh Ilahi (Q.S. Al-Hijr: 28-29 dan Shad: 71-72).

Secara biologis manusia mempunyai beberapa unsur antara lain: mineral termasuk didalamnya materi yang mengandung atom dengan segala dayanya, tumbuh-tumbuhan yaitu daya nabati antara lain makan(nutrition), tumbuh(growth), dan berkembang biak(reproduction), unsur hewan yang yaitu penginderaan(sense perception) dan gerak(harakah, locomation) (Mulyadhi Kartanegara, 2002). Disamping itu yang pasti dan harus dimiliki oleh manusia yaitu jiwa(daya) insani yang di sinilah terletak intelektualitas, moralitas, dan rasa seni. Ruhani adalah yang mengendalikan, dan memberikan visi dan nilai bimbingan-bimbingan kepada jiwa-jiwa nabati, hewani, dan insani (Ahmad Najib Burhani, 2002). Dari sini dapat di lihat bahwa manusia merupakan puncak evolusi yaitu manusia telah mencapai tingkat kesempurnaan penuh.

Namun dari aspek spiritual manusia akan mencapai puncak evolusi ketika ia telah mencapai kesatuan dengan Tuhan. Peringkat manusia sebagai makhluk terbaik, termulia dengan kualitas fisik dan psikisnya diciptakan oleh Allah dengan tujuan tertentu anatara lain: agar manusia menjadi hamba(abid)Nya yang baik, sekaligus menjadi khalifah-Nya di muka bumi, serta bertanggung jawab terhadap apa yang diperbatnya selama hidup di dunia ini.

Sedangkan mengenai kata “kamil” Muthahhari (2001) membedakan antara sempurna(kamil) dan lengkap(tamam), keduanya erat kaitannya namun tidak sama persis. Perbedaannya adalah kta “lengkap” mengacu sesuai dengan rencana seperti rumah atau masjid. Bila suatu bagiannya belum selesai maka bangunan tersebut tidak lengkap(cacat). Tetapi sesuatu mungkin saja lengkap sekalipun ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itulah yang dinamakan “sempurna”. “lengkap” adalah kemajuan horisontal ke arah pengembangan yang maksimum, sedang “sempurna” adalah penanjakan yang vertikal ke tingkat yang maksimum.

Dari pengertian istilah yang di kemukakan oleh Muthahhari terlihat bahwa kesempurnaan itu bertingkat. Dengan demikian bila suatu kesempurnaan itu tercapai, maka masih ada kesempurnaan yang di atasnya sampai pada tingkat kesempurnaan yang sesungguhnya. Jika ada manusia yang sempurna maka pasti ada yang lebih sempurna. Dan kesempurnaan yang sesungguhnya hanya ada Yang Maha Sempurna (Yunasril Ali, 1997).

B. Konsep Spiritual Insan Kamil

Konsep insan kamil yang di ungkapkan oleh para tokoh tasawuf sebenarnya ada titik persamaannya yaitu bahwa manusia adalah sebagai wadah tajalli Tuhan atau manusia sebagai cermin Tuhan. Namun dari konsep-konsep yang ada ada sedikit perbedaan yang muncul, yang pasti perbedaan tersebut tidak bersifat esensial. Dibawah ini akan dibahas konsep insan kamil menurut beberapa tokoh tasawuf:

] Konsep al-Hallaj

Konsep al-Hallaj tentang insan kamil bermuara dari doktrin al-hulul, yang ketika hulul lidah al-Hallaj mengucapkan “Ana ‘l-Haqq”. Munurutnya manusia(adam) adalah sebagai penampakan lahir dari citra Tuhan yang azali kepada zat-Nya yang mutlak yang tidak mungkin di sifatkan itu. Lebih jauh al-Hallaj berpendapat bahwa Allah mempunyai dua unsur dasar yaitu sifat ketuhanan(lahut) dan sifat kemanusiaan(nasut), demikian juga manusia. Sehingga mungkin saja terjadi penyatuan antara Allah dan manusia dan hal itu akan terjadi ketika manusia telah membersihkan batinnya sehingga sifat-sifat kemanusiaan lebur ke dalam sifat-sifat ketuhanan, kejadian itu dinamakan hulul. Saat itulah manusia telah mencapai derajat kesempurnaanya.

Disamping itu al-Hallaj juga mengemukakan teori “Nur Muhammad(al-haqiqah al-Muhammadiyah) (Yunasril Ali, 1997). Baginya Nabi Muhammad mempunyai dua esensi. Pertama esensinya sebagai nur(cahaya) azali yang qadim yang menjadi sumber segala ilmu dan ma’rifat, pandangan ini sesuai dengan hadits qudsi yang mengatakan”Kalau bukan karenamu tidak akan ku ciptakan alam semesta ini”. Kedua Muhammad sebagai esensi baru yang terbatas dalam ruang dan waktu. Dan Nabi Muhammad adalah contoh manusia sempurna dalam Islam.

] Konsep Ibn ‘Arabi

Berbicara tentang Ibn ‘Arabi tidak akan lepas dari doktrin wahdatul wujud dengan tajalli Tuhan yang selanjutnya membawa kepada ajaran insan kamil. Mengenai insan kamil Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa insan kamil adalah duplikasi Tuhan(nuskhah al-Haqq) (H.M.Amin Syukur, 2002).

Yang paling tampak kekamilannya di antara manusia adalah Nabi. Di belakang Nabi terdapat al-Haqiqah al-Muhammadiyah(kebenaran atau esensi Muhammad) yang merupakan kekuasaan kreatif Tuhan. Insan kamil adalah tujuan penciptaan, yang merupakan mikrokosmos yang merefleksikan keagungan Tuhan, makrokosmos. Karena para nabi adalah refleksi manusia sempurna maka mereka adalah wali(sahabat) Tuhan. Kualitas ini lebih tinggi daripada kualitas kenabian (Isma’il. R. al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, 1998).

Menurut Ibn ‘Arabi manusia mempunyai dua aspek. Jika menurut al-Hallaj manusia mempunyai dua unsur, maka Ibn ‘Arabi menggabungkan keduanya menjadi satu aspek yaitu aspek batin yang merupakan esensi, aspek ini disebut al-haqq. Dan yang kedua aspek luar yang merupakan aksiden desebut al-khalq. Semua makhluk dala aspek luarnya berbeda tapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq (http:// media .isnet.org/islam/paramadina/konteks/tasawuf HN4.html).

Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi:

كنت كنزا مخفيا فأحببت أن عرف فخلقت الخلق فبي عرفوني

Dari hadits tersebut tampak bahwa Allah ingin dikenal maka di ciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Allah dikenal. Dari sini semakin jelas bahwa manusia adalah tajalli Tuhan.

] Konsep al-Jili

Dalam kitabnya al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awa’il, al-Jili mengidentifikasi insan kamil dalam dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian konsep pengetahuan mengenai manusia yang sempurna. Dalam pengertian demikian, insan kamil terkait dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak yaitu Tuhan. Kedua, insan kamil yang jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-safat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997).

Al-Kamal(kesempurnaan) menurut al-jili(1975) (dalam H.M.Amin Syukur, 2002)mungkin dimiliki manusi secara potensial(bil quwwah), dan mungkin pula secara aktual(bil fi’li) seperti yang terdapat pada diri wali dan Nabi, namun intensitasnya berbeda-beda. Dan yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad. Al-Jili juga menandaskan bahwa insan kamil merupakan mikrokosmos dan makrokosmos, jami’ al-haqaiq al-wujudiyah, qalbnya = arasy), aqalnya = qalam, nafsnya = lauh al-mahfudz, mudrikahnya = kaukab, al-qawiy = al-muharrikahnya = asy-syams, dan lain sebagainya.

Proses tajalli menurut konsep al-Jili sebenarnya di mulai dari tajalli Dzat pada Sifat dan Asma kemudian pada perbuatan-perbuatan sehingga tercipta alam semesta. Akan tetapi dalam rangka meningkatkan martabat rohani, tajalli tersebut di tempatkan pada urutan terbalik, di mulai tajalli perbuatan-perbuatan(tajalli al-af’al), tajalli nama-nama(tajalli al-asma’), tajalli sifat-sifat(tajalli al-shifat), dan yang terakhir tajalli dzat(tajalli al-dzat) (Yunasril Ali, 1997).

Al-Jili mempunyai konsep tanazul(turun) dan taraqqi(pendakian). Dalam pengalaman al-Jili proses tanazul Tuhan mengambil tiga tahap yaitu ahadiyah, huwiyah dan aniyah. Pada tahap ahadiyah Tuhan dalam keabsolutan-Nya baru keluar dari al-‘ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiyah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniyah, Tuhan menampakkan diri dengan nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya. Dan tajalli Tuhan yang paling sempurna terdapat pada insan kamil (http://media .isnet.org/islam/paramadina/konteks/tasawuf HN4.html).

Untuk mencapai tingkat insan kamil sufi mesti mengadakan taraqqi melalui tiga tingkatan yaitu: bidayah, Tawassuth, dan khitam. Pada tingkat bidayah seseorang mulai dapat merealisasikan asma-asma dan sifat-sifat Tuhan. Pada tingkat tawassuth seseorang tampak sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan dan sebagai realitas kasih saying Tuhan. Dan pada tingkat khitam seseorang telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh (Yunasril Ali, 1997). Pada tingkat inilah seorang sufi menjadi insan kamil (http://media .isnet.org/islam/paramadina/konteks/tasawuf HN4.html).

] Konsep Nuruddin al-Raniri

Insan kamil bagi al-Raniri adalah hakikat muhammad, merupakan hakikat pertama yang lahir dari tajalli Satu Dzat kepada dzat yang lain(Allah dengan Nur Muhammad). Hakikat Muhammad itu menghimpun seluruh kenyataan yang ada, karena seluruh alam ini merupakan wadah bagi Asma dan Dzat Allah. Dari sini posisi insan kamil menjadi penting bagi bagi semua keberadaan alam ini dan sekaligus sebagai cermin Allah untuk melihat hasil perjalanannya (H.M.Amin Syukur, 2002). Jadi seseorang bisa dikatakan insan kamil ketika dia telah memiliki Nur Muhammad dalam dirinya, yang dengan itu menjadi wadah tajalli Ilahi yang paripurna.

Selain itu insan kamil juga disebutnya sebagai khalifah Allah pada rupa dan makna.Yang dimaksud dengan dengan rupa adalah pada hakikat wujudnya. Wujud khalifah itu terjadi dari wujud Allah yang menciptakannya sebagai khalifah. Dengan kata lain, dia diciptakan dari sebab wujud-Nya (Nur ad-Din ar-Raniri, 2003).

C. Insan Kamil dan Tanggung Jawab Sosial

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paling paripurna. Oleh karena apa-apa yang ada pada insan kamil tentunya sudah dapat di jamin kesempurnaannya. Karena tidak mingkin manifestasi Tuhan bersifat tidak sempurna, walaupun sebagaimana yang di katakana Muthahhari tingkat kesempurnaan insan kamil sifatnya bertingkat-tingkat.

Sudah di akui bahwa timgkatan insan kamil tertinggi ada pada Nabi Muhammad, baik kapasitasnya sebagai al-haqiqah al-Muhammadiyah maupun sebagai utusan Allah untuk umat manusia yang terbatas oleh ruang dan waktu.

Nabi Muhammad sebagai insan kamil dalam kehidupannya di dunia merupakan suatu pribadi yang multi dimensi. Nabi Muhammad di kenal sebagai seorang nabi yang ibadahnya luar biasa kuat, sehingga kalau malam shalat sampai kakinya bengkak. Tapi di siang hari beliau mengatur ekonami, mengatur polotik bahkan mengatur perang. Rasulullah dan para sahabat di zaman Rasul sering digambarkan sebagai ruhbanun bi al-lail wa fursanun di al-nahar, mereka itu rahib-rahib di waktu malam hari dan kstria-ksatria di siang hari (Ahmad Najib Burhani.(ed.), 2002).

Kesempurnaan Nabi Muhammad di akui oleh dumia, tidak hanya dari satu kalangan saja. Karen Amstrong seorang ilmuan barat mencoba meneliti agama Islam dengan meneliti tokoh utamanya, Nabi Muhammad. Ketika melaporkan tentang beliau, ia menjadi seorang pambela yang luar biasa. Karen mengatakan (dalam Jalaluddin Rakhmat, 1997) menjelang tahun 622 tampak sudah seakan-akan kehendak Tuhan akan terjadi di Arabia. Berbeda dengan nabi-nabi terdahulu Muhammad bukan saja mengajarkan laki-laki dan perempuan tentang visi dan harapan baru, tetapi ia juga telah berusaha nemikul tugas untuk memyelamatkan sejarah manusia dan menciptakan masyarakat yang adil, yang memberikan peluang kepada setiap manusia laki-laki dan perempuan untuk mengaktualisaikan potensinya yang sebenarnya. Dari sini tampak bagaimana peran nabi dalam kehidupan sosialnya.

Gambaran lain dari potret seorang insan kamil adalah Imam Ali bin Abi Thalib. Oleh Jalaluddin Rakhmat (1999) digambarkan bahwa pada dirinya kita melihat sufi yang rela hidup dalam kefakiran, tetapi pada saat yang sama membenci kefakiran. Dari pribadinya sebagian orang akan beranggapan bahwa kemiskinan adalah kebajikan dan kekayaan adalah kemaksiatan. Tetapi dari kepribadiannya pula sebagian yang lain melihat kesungguhan untuk melenyapkan kemiskinan, dan meyakini bahwa kemiskinan adalah musuh yang harus di musnahkan.

Dalam hal insan kamil ini Iqbal tidak sepaham dengan konsep-konsep terdahulu. Menurutnya konsep-konsep tersebut akan membunuh individualitas dan melemahkan khudi(jiwa). Iqbal sepakat bahwa Nabi Muhammad adalah insan kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik. Insan kimil versi Iqbal tidak lai adalah sang mukmin yang di dalamnya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan dan kebijaksanaan. Yang merupakan makhluk moralis, yang di anugarahi kemamapuan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan yang ada dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati akhlak Ilahi (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997).

Menurut Iqbal proses lahirnya insan kamil melalui tiga tahap yaitu: pertama, ketaatan pada hukum. Kedua, penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang pribadi. Ketiga, kekhalifahan Ilahi (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997).

Sering kali dalam memahami tasawuf terjadi kesalah pahaman di dalamnya. Dunia sufi di pahami tak lebih dan tak kurang sebagai tempat suaka psikologi belaka, dengan melupakan dahwa di dunia sufi juga mengerek pesan-pesan solidaritas sosial (Muhy-i al-Din, 2001).

Secara garis besar amal saleh terbadi menjadi dua bagian. Pertama, amal saleh kepada Allah (hablun min Allah) yang disebut juga ibadah mahdlah. Kedua, amal saleh untuk sesama manusia (hablun min al-nas) yang disebut juga ibadah ghoiru mahdlah. Dan yang menarik adalah bahwa hubungan kemanusiaan (muamalah) sangat menetukan ibadah mahdlah. Bahkan disebutkan dalam sebuah hadits yang menunjukkan bahwa manusia yang baik adalah manusia yang membawa kemaslahatan kepada umat manusia. Hadits tersebut berbunyi :

خير الناس أنفعهم للناس‪‬‪‬
PENUTUP

Konsep insan kamil merupakan salah satu kajian dalam dunia sufi yang cukup besar menarik perhatian berbagai kalangan. Insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paling sempurna. Posisi insan kamil tidak hanya di tempati oleh satu orang tertentu, tetapi setiap orang berpotensial untuk mencapai derajat insan kamil ketika dia telah mampu memantulkan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan dan telah mencapai kesadaran secara penuh mengenai kesatuan hakikatnya dengan Tuhan.

Dan yang paling tinggi tingkatannya adalah Nabi Muhammad, dengan tanpa menutup kemungkinan bahwa masih ada manusia-manusia lain yang bisa saja sampai pada derajat insan kamil. Namun yang bisa sampai pada tingkatan khitam yaitu tingkatan tertinggi dalam derajat insan kamil hanya satu yaitu Nabi Muhammad.

Jika di lihat, Nabi Muhammad yang merupakan manusia yang paling sempurna ternyata merupakan makhluk multi dimensi. Artinya dalam hal spiritual tidak ada yang mampu melebihi Nabi, namun disamping itu dalam kehidupan sosialnya Nabi adalah manusia yang sangat perduli terhadap kondisi masyarakatnya, bahkan beliau rela mengorbankan diri, keluarga, dan hartanya untuk kepentingan sosial.

Seorang muslim sudah selayaknya mengetahui tentang apa itu insan kamil, kepribadian dan intelektualnya. Agar dapat membangaun dirianya dan masyarakatnya.