Selasa, 16 Agustus 2011

> Awas Kafir Karyonagoro!

Tahukah anda buronan kaum beriman yang satu ini? Kapan ia masuk agama kafir dan kapan ia pura-pura tobat? Dan kapan ia akan dilemparkan ke neraka? Dan sudahkah anda tahu di kamar nomor berapa ia nginap di sana?

Kebenaran Hakiki bagi saya saat ini sedang tamat.

Apa kenapa dan bagaimana hidup ini sebenarnya? Apakah memang ada Tuhan,wahyu dan kenabian? Pertanyaan-pertanyaan terakhir seperti ini (pertanyaan metafisis) adalah pertanyaan yang jawabannya sampai saat ini tidak terjawab apalagi bisa dibuktikan. Semua itu tampaknya sudah diyakini begitu saja,sekumpulan postulat yang ditanamkan,dipelihara dan dibesar-besarkan. Di sisi lain,sains kontemporer,khususnya fisika kuantum,menemukan bahwa di level terkecil,realitas sub-atomik ternyata juga tidak bisa dipahami. Artinya sains tampaknya juga menemukan jalan buntu atas rumus hidup yang hakiki.

Kebenaran hakiki (jika itu ada),tentu sesuatu yang luar biasa,sesuatu yang tidak terbatas,sesuatu yang melampaui kemanusiaan kita. Jika tidak,tentu sesuatu itu menjadi hal yang biasa,yang berarti juga bersifat alamiah. Artinya,bagaimana mungkin manusia bisa menjangkau sesuatu yang berada di luar perspektif kemanusiaannya. Manusia sejauh yang saya pahami,selalu berada dalam suatu perspektif (sudut pandang). Manusia tidak bisa melihat ke depan dan ke belakang sekaligus secara serentak. Ketika ia melihat ke depan,yang di belakang terabaikan. Begitu juga sebaliknya. Dan begitu juga dengan dunia penalaran. Manusia tidak bisa memikirkan 2 hal sekaligus secara serentak. Artinya pencermatan manusia tetap terpilah-pilah menjadi bagian-bagian,agar hal demi hal bisa dipahami satu per satu. Itu artinya pengetahuan dan pemahaman manusia tidak bisa menjadi sebuah kesatuan yang utuh,tetap saja manusia dikurung oleh bagian-bagian yang bisa dijangkaunya. Sedangkan hidup adalah sebuah totalitas yang solid,bukan bagian-bagian yang lepas berdiri sendiri.

Karena itu,menolak atau pun menerima Tuhan (agama) sama mustahilnya bagi manusia. Membangun argumentasi untuk menyatakan bahwa Tuhan ada dan agama benar,atau sebaliknya menolak keduanya secara ilmiah sama-sama tidak memungkinkan. Ia tetap sebuah hal yang tidak terpikirkan.

Jika demikian dalam pengertian apa saya memaklumkan Tuhan dan agama? Saya menerima dan memakluminya secara psikologis,bukan sebuah proses penalaran,uji empirik atau ilmiah. Artinya kepercayaaan akan Tuhan dan agama bagi saya adalah atas dasar kemaslahatannya,sebuah kepercayaan yang bermanfaat di level praktis,bukan sebuah kebenaran teoritis. Saat ini,perdebatan tentang kebenaran keduanya bagi saya hanya sebuah perdebatan demi perdebatan saja,semacam olah raga otak . Tetapi hasilnya tetap bernilai spekulasi intelektual saja,yang tidak akan menyentuh kenyataan sebenarnya. Jadi saya tidak lagi mempersoalkan ada atau tidaknya,benar atau salahnya.

Jika demikian berarti Tuhan dan Agama sudah kehilangan sakralitasnya? Pertanyaan seperti ini juga sudah sia-sia. Jawabannya tetap sebuah spekulasi intelektual,sebuah hipotesis saja. Siapa yang bisa mengklaim bahwa apa yang dipahaminya benar secara Absolut? Pernahkah Tuhan turun atau hadir dalam sebuah perdebatan,sebagai Juri yang bisa menyudahi dengan menyatakan bahwa yang benar adalah ini atau itu? Kenyataannya apa yang dianggap benar atau salah Absolut tetap tinggal konvensi (kesepakatan teoritis) saja sesama komunitas yang mempersoalkannya.

Kalau begitu Tuhan dan Agama tidak untuk dipikirkan dan dicari kebenaran hakikinya? Saat ini saya akui tidak! Bahkan slogan klise yang menyatakan bahwa hidup bukan untuk dipikirkan melainkan untuk dijalani,dalam konteks ini menjadi berarti. Ini juga bersinggungan dengan pemikiran Heidegger,yang menyatakan bahwa ada dua pemetaan manusia dalam hidup. Yang pertama adalah manusia yang ada bersama dunia dan yang kedua ada dalam dunia. Yang pertama berarti manusia berjarak dengan dunia:ia dan dunia adalah 2 realitas yang terpisah. Manusia sebagai subjek dan dunia sebagai objek. Sedang yang kedua manusia dan dunia tidak berjarak,ia saling hadir dan lebur dengan segala irama dan kompleksitas hidup. Artinya ia tidak memikirkan hidup,melainkan menjalani hidup dengan segala pahit getirnya tanpa mempersoalkan apa,kenapa dan bagaimana hidup itu sebenarnya.

Singkatnya,bagi saya saat ini,makna kepercayaan akan Tuhan dan agama lebih atas dasar manfaat praktis dalam hidup. Bukan teoritis-ontologis

http://kandjengpangerankaryonagoro.blogspot.com/