Selasa, 23 Agustus 2011

> Ketika Agama Menjadi Kentut Beracun

Agama, sebenarnya adalah prestasi kebudayaan yang paling mulia. Sebuah
konvensi sosial yang bercita-cita luhur dan agung. Yaitu visi moral
kehidupan manusia. Dengan Tuhan sebagai payung legitimasinya. Dan
targetnya adalah perubahan sikap dan prilaku manusia, baik secara
pribadi apalagi sosial.

Hanya saja agama juga pedang bermata ganda.
Satu sisi mata pedangnya sangat mulia sedang sisi lainnya sangat berbahaya.
Agama, bagi orang tertentu adalah obat.
Tapi bagi orang tertentu bisa menjadi racun.
Kapan agama bisa menjadi obat?

Yaitu ketika agama menjadi sumber nilai-nilai kesadaran bathin. Ketika
agama menjadi wadah terapi mental. Menjadi mesin psikologis yang selalu
mendorong manusia untuk berbuat baik dengan sesamanya.

Dan kapan agama menjadi racun?

Ketika dogma agama meninabobokan nalar kritis manusia, hingga yang
terjadi adalah sikap pesimis karena segalanya sudah ditentukan oleh
Tuhan tanpa manusia punya ruang gerak bebas yang kreatif. Ketika agama
menjadikan manusia begitu larut dan tenggelam dengan simbol ritual
seremoni agama melebihi dari kesalehan spiritual dan sosial. Ketika
manusia menjadikan agama sebagai garansi untuk menindas manusia lain
karena klaim absolut bahwa apa yang diyakini umat beragama memang patut
dianut dan dipaksakan untuk semua manusia.

Dengan kata lain,
Agama mirip kisah Adam dan Hawa. Membunuh salah satunya berarti
menghabisi cikal bakal perkembangan hidup manusia di muka bumi. Dengan
kata lain, Agama ibarat bisnis multilevel. Agama besar karena anggota
atau penganutnya. Tapi agama juga rusak dan berbahaya karena
penganutnya. Karena itu agama dan manusia harus bekerja sama jika ingin
tetap kompeten dan menjadi sumber kedamaian dan kebahagiaan bersama.
Manusia harus merekonstruksi agama ketika agama sudah mirip mobil tua
yang sering mogok dan tak mempan lagi untuk mengarungi samudera. Dan
ketika ada montir agama yang mau berpartisipasi kenapa agama selalu
batuk setiap mendaki persoalan nyata kehidupan yang selalu bertambah dan
terus menumpuk seiring evolusi kesadaran dan kompleksitas hidup,
sehingga ikut memberi sumbangan wacana yang kritis dan konstruktif, maka
bukankah selayaknya para penumpang agama yang hanya duduk diam untuk
memberi apresiasi demi kemaslahatan hidup bersama..