Kamis, 25 Agustus 2011

> Lailatul Qadar Dalam Pandangan Manunggaling Kawula Gusti

Waktu kecil, saya begitu terobsesi dengan malam Qadar. Malam yang dikumandangkan lebih baik dari malam 1000 bulan. Dalam ceramah tarwih yang saya dengar, selalu dikatakan jika dapat malam Qadar, maka pahalanya setara dengan jumlah pahala yang didapatkan dengan beribadah selama 1000 bulan. Saya benar benar tergiur. Saat itu saya tidak bisa menghitung berapa lamanya 1000 bulan. Berapa tahun apalagi berapa harinya. Sedang sholat berjamaah saja sudah dapat pahala 27 kali lipat dari sholat sendiri. Terus jika dikalikan 5 kali dalam sehari, entah sudah berapa jumlah pahala yang bisa didapatkan. Apalagi dapat malam Qadar.

Singkat cerita, saat itu saya selalu berusaha menjaga amal ibadah puasa dan ibadah sunat saya di setiap 10 malam akhir Ramadhan. Saya berpesan pada orang tua saya, agar berhati-hati jangan sampai sahur berlalu atau kecolongan di 10 hari akhir Ramadhan, agar puasa tetap kuat sampai untuh hingga genap sebulan penuh. Dan saya juga berusaha membaca Alquran sebanyak-banyaknya setiap pulang sholat tarwih dari Mesjid. Singkatnya saya begitu berharap agar mendapatkan pahala Lailatul Qadar.

Setiap pagi, seusai makan sahur, saya selalu menyempatkan diri keluar rumah. Untuk melihat tanda-tandanya di kaki langit. Karena kata Ustad, tanda-tanda malam Qadar bisa dilihat pada pagi hari. Yaitu ketika cuaca lembab tidak berawan. Matahari tidak begitu terlihat. Suasananya hening syahdu. Maka jika demikian yang terjadi, itu tandanya malam sebelumnya adalah malam turunya Lailatul Qadar.

Tapi apa yang terjadi?
Pernahkah saya mendapatkannya?
Dan benarkah ada malam Qadar itu turun?
Sampai sekarang saya tidak tahu.
Tidak jelas entah ada malam Qadar itu turun entah tidak.

Lalu sekarang bagaimana pandangan saya pribadi tentang Lailatul Qadar?
Saya tidak lagi tertarik. Tidak tertarik lagi dengan segala dongeng dan iming-iming Lailatul Qadar yang banyak saya dengar dan saya baca.

Justru sekarang saya menafsirkan sendiri tentang Lailatul Qadar.

Apa penafsiran saya?

Lailatul Qadar itu bagi saya adalah malam yang penuh inspirasi. Tapi bukan inspirasi untuk onani. Melainkan inspirasi spiritual. Dan kata malam adalah metaforis. Hanya simbol waktu. Waktu yang hening terkonsentrasi. Sedang real-nya, bisa kapan saja. Tidak mesti dalam bulan Ramadhan. Bahkan tidak mesti bagi umat Islam. Tapi bagi semua umat manusia. Hanya saja karena pada bulan Ramadhan begitu intens beribadah, dalam pengertian aktif menempa diri, baik secara fisik maupun bathin, maka kondisi psikologis menjadi semakin peka atau sensitif untuk terpusat pada dunia mistik. Dunia spiritual metafisik. Dan puncaknya, terbesit kilatan cahaya pencerahan. Dan momen itu tidak lama. Hanya sekejap dan sekonyong-konyong.

Momen itu mirip saat pikiran yang selalu asyik mendambakan sesuatu. Selalu dan selalu terbanyang. Hingga semua ion-ion bathin aktif bekerja dan mengendap di alam bawah sadar. Dan pada puncaknya, semua itu akhirnya menyembul keluar sebagai gema puncak inspirasi. “Oh saya dapat ide. Eureka!”

Disaat itu, terbukalah cakrawala kesadaran baru. Sesuatu yang tak pernah terbetik sebelumnya. Tapi saat itu, malam itu, semuanya tampak terang benderang dalam mata bathin. Dalam kesadaran terdalam. Dan itu, membakar energi hidup baru. Tekad baru untuk mejalani hidup yang berbeda dari kesadaran rutin seremonial dimasa-sama sebelumnya. Singkatnya, tersingkap makna hidup dalam bathin. Chess!

Itulah maknanya malam itu disebut sebagai malam yang lebih baik dari malam 1000 bulan. Angka 1000 hanya sebuah metafor. Bukan merujuk bilangan yang bersifat matematis. Tapi sebagai simbolisasi akan begitu berartinya malam itu. Bahwa kilasan pencerahan itu sebanding nilainya dengan perjalanan hidup yang sangat panjang tanpa kesadaran. Tapi malam itu, hadir seketika.

Itu sebabnya, ketika seseorang merasa insaf sambil meneteskan air mata, maka begitu lapang terasa di dada. Begitu damai terasa di hati. Maka momen seperti itu sangat mahal harganya dibanding hidupnya yang rutin tanpa makna selama bertahun tahun.

Lebih kurang begitulah Lailatul Qadar dalam pandangan saya saat ini.
Sebuah orgasme spiritual. Puncak mistik meditasi!