Selasa, 16 Agustus 2011

> Haram atau Tidak, Tidak Perduli

Hingga saat ini saya belum pernah makan babi secara sengaja. Entah kalau ada rumah makan yang menyodorkan daging babi ketika saya makan tanpa saya tahu bahwa yang dihidangkannya untuk saya adalah daging babi.

Dan saya sudah begitu sering mendengar dan membaca bahwa daging babi itu haram hukumnya di makan oleh umat Islam. Tetapi bagi umat beragama lain,terutama dalam hal ini Kristen,memakan daging babi itu sama sekali tidak ada masalah bagi mereka. Baik secara kesehatan maupun secara agama.

Karena penasaran akan hal ini,saya pernah mengajak umat Islam dan Kristen berdialog soal ini melalui sebuah tulisan. Apa hasilnya? Banyak terjadi korntroversi. Terjadi debat panas tiada henti. Ada yang setuju ada yang tidak. Dengan berbagai dalih tentunya. Sampai tulisan ini saya luncurkan tulisan itu telah dibaca oleh sebanyak lebih kurang 900 orang dan dikomentari oleh sebanyak 300 lebih komentator. Dan hasil diskusi itu hingga kini masih saya simpan DI SINI sebagai barang bukti.

Dalih pamungkas bagi umat Islam untuk meyakini bahwa memakan daging babi itu haram adalah ayat Alquran di bawah ini:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,darah,daging babi,(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,“ [Al-Qur'an 5:3]

Lalu bagaimana sikap saya sendiri?
Saya tidak peduli ayat ini.

Kenapa? Karena bagi saya spirit ayat ini adalah kondisional-alamiah. Artinya apakah daging babi itu bagus atau tidak bagi kesehatan. Apakah daging babi itu bisa menimbulkan penyakit jika dimakan manusia atau tidak. Dan hal itu bisa diuji secara empirik. Apakah terbuki atau tidak. Tapi sejauh ini saya belum mendegar ada orang yang rusak karena memakan daging babi. Dan termasuk dari pengakuan sejumlah orang Kristen yang terlibat dalam diskusi pada tulisan saya tentang babi tersebut (baca:Daging Babi Haram? Masa’Sih?).

Jadi apakah ini artinya saya menentang ayat Alquran di atas?

Saya tidak peduli apa status dari pandangan saya ini. Yang jelas,bagi saya tidak ada mistifikasi terhadap ayat di atas. Maksudnya tidak ada nilai sakral-adi kodrati ayat itu bagi saya. Misalnya dengan memakan yang dilarang ayat tersebut maka seseorang menjadi berdosa dan ujung-ujungnya masuk neraka. Menurut pemahaman umumnya umat Islam,benar dan tegas (seperti terbaca pada ayat di atas) bahwa babi itu haram. Tapi menurut saya pribadi,tidak !

Kenapa saya berani menyatakan sikap begini?

Karena bagi saya,segala hal yang bersifat duniawi,segala hal yang bersifat alamiah terbuka untuk diuji dengan meknisme hukum alamiah. Dengan teknologi kedokteran,fisika,kimia dan sebagainya. Jika ternyata belum ditemukan rahasianya,itu juga bukan berarti hal itu sakral-adi kodrati (mistifikasi). Tapi hanya karena dalam kurun waktu tertentu pemikiran dan kemampuan manusia belum mampu mengungkapnya. Tapi di masa berikutnya? Belum tentu. Dan hal-hal semacam ini sudah sering terjadi di sepanjang sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi.

Jika larangan itu bersifat mistifikasi,maka bagi saya ayat itu tak ubahnya sebuah seruan paham animisme. Mempercayai benda-benda mati dan mahkluk hidup bernilai sakral adi kodrati.Mempercayai benda-benda mati dan makhluk hidup punya kekuatan ghaib. Mentabukan hewan tertentu. Dan segala tabu-tabuan ini adalah ciri khas dari agama primitif.

Lalu apa jalan keluar dari kemelut ini bagi saya?

Tawaran saya ada tiga langkah. Pertama,telusuri asal muasal keberadaan ayat itu. Telusuri otentisitas ayat itu. Apakah ayat uitu benar-benar dari Nabi. Atau jangan-jangan hanya modifikasi pasca Nabi Muhammad oleh para sahabat atau para ulama sekian Abad kemudian. Dan kedua,jika benar ayat itu otentik,maka pelajari asbabun nuzulnya (sebab-sebab turunnya ayat tersebut). Kemudian tafsirkan ayat itu secara realistis.Atau yang ketiga cek lagi tata bahasa Arabnya. Benarkah terjemahannya menjadi bahasa Indoensia demikian. Sudah akurat atau belum. Jangan-jangan juga terjadi problem dalam penterjermahannya. Ini sangat penting. Karena masalah penterjemahan tidak jarang juga disusupi oleh kepentingan politis dalam hal keagamaan. Dan hal-hal semacam ini sudah sering terjadi di sepanjang sejarah.

Kebenara identik dengan siapa yang berkuasa menyatakaannya.
Sejarah itu ditulis ulang.

Kenapa ini penting? Karena Alquran bukan ditulis oleh malaikat,apalagi oleh Tuhan.
Dan terjemahan Alquran juga bukan ditulis oleh Muhammad. Tapi ditulis oleh panitia penterjemah di Indonesia di bawah kekuasaan yang bernama Lembaga Departemen Agama.

Lalu apakah iniartinya saya mengusir roh agama dalam kehidupan? Tergantung penafsiran. Tapi saya pribadi merujuk pada sabda Muhammad bahwa “Kamu labih tahu urusan duniamu.”Artinya segala yang menyangkut soal-soal duniawi,sepenuhnya bisa dipelajari dan dipahami ulang oleh manusia dengan segala kemampuannya. Dengan terang Ilmu Pengetahuan. Tapi bila sudah berkaitan dengan hal-hal yang berbau ghaib (metafisis),seperti tentang Tuhan dan hari akhir,barulah tidak bisa dibuktikan oleh manusia. Karena hal itu tidak lagi empirik. Tapi sudah supra-rasional. Nir-nalar. Untuk tidak mengatakannya irrasional.

http://kandjengpangerankaryonagoro.blogspot.com/