Senin, 15 Agustus 2011

> Kupas Manunggaling Kawula Gusti dalam Serat Centhini

enthini is one of the suluk literatures; its main doctrine is to reach the “perfect of life”, that is the unity of human being and God. The ways to reach the “perfect of life” by syariat, tarekat, hakikat and ma’rifat as them said by Seh Amongraga does not a something new, because of which has been dealt with in the primbon that came from XVI century and Kp Karyonagoro. Salat and dzikir and breath-ordering in Centhini are the means for human beings to get unity to God. It appears that dzikir in the connection to breath-ordering is an indication of universal way in mysticism that be able find out in all religions. Double function of Seh Amongraga who gave by authors essentially has a mission to make harmony of religion and Javanese tradition, that is the tradition of Seh Siti Jenar, Sunan Panggung, Ki Bebeluk, and Seh Amongraga with Islam that purely legalistic.

Centhini, breath-ordering, dzikir, Seh Amongraga

A.    Pendahuluan

Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengkajian awal terhadap salah satu aspek dari sedemikian banyak aspek yang penting dan menarik berkenaan dengan Pustaka Centhini (nama dari seorang pembantu Niken Tembanglaras yang setia), yakni peranan dan wejangan Seh Amongraga, tokoh paling dominan di antara empat tokoh lainnya – Kyai Bayi Panutra, Niken Tembanglaras, Ni Centhini, Kyai Basaroddin.

Perlu disebutkan terlebih dahulu, bahwa materi Centhini yang dipergunalkan dalam tulisan ini didasarkan atas Pustaka Centhini yang diterbitkan oleh Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen, tahun 1913 dalam 8 jilid, yang didapatkan dari Javanologi Nusantara Yogyakarta. Kebetulan yang empat jilid tidak didapatkan penulis sampai saat ini. Ada pun yang empat jilid konon ditulis dengan tinta emas sewaktu pemerintahan Paubuwana VII, dilengkapi dengan canto pengantar baru dalam bentuk Dandanggula. Dalam canto pengantar terdapat kronogram: Atata Resi Amulang Jalma, bertahun 1775 A.J. (Anno Javanico = 1846 A.D.) (Soebardi, 1975:163).

Pustaka Centhini yang diterbitkan oleh Bataviaach Genootschap tersebut, bukanlkah versi yang asli. Ini adalah penulisan berdasarkan Centhini kadipaten atas perintah putra mahkota yang kemudian menjadi Paku Buwana V. (Soebardi, 1975:163).

Ada tiga pengarang utama untuk Pustaka Centini, yaitu:
1.    Kyai Yasadipura II (Putra dari Pujangga I Surakarta R. Ng. Yasadipura I).
2.    Kyai Ronggosutrasno.
3.    R. Ng. Sastradipura, yang kemudian berubah namanya menjadi Ahmad Ilhar setelah menunaikan ibadah haji (Sumahatmaka, 1981:7).

Ketiga pengarang tersebut dibantu oleh tiga ulama yang cukup terkenal pada masa itu, yaitu:
1.    Pangeran Jungut Mandurejo, dari Pradikan Krajan Wangga, Klaten.
2.    Kyai Kasan Besari, ulama besar Lebangtinar Jetis Ponorogo yang sekaligus menantu Susuhunan Pakubuwana IV.
3.    Kyai Muhammad Minhad, ulama besar di Surakarta (Kamajaya, 1985:iv).

Masing-masing penulis diberi tugas untuk menulis yang paling diketahui dalam bidangnya, dan sebagai ketua team penulis adalah Adipati Anom. Namun demikian ketua team penulis, yaitu pangeran Adipati Anom yang kemudian naik tahta menjadi Sunan Pakubuwana V sempat kecewa. Masalahnya karena dalam topik yang menyangkut senggama ataupun permainan erotis kurang jelas ungkapannya, sehingga menurut pandangannya topik tersebut kurang sempurna (Sumahatmaka, 1981:7).

Oleh sebab itu, topik yang menyangkut masalah tersebut diambil alih oleh ketuanya sendiri dan sesudah selesai diserahkan kembali kepada team. Sumber Pustaka Centhini belum diketemukan secara pasti. Diperkirakan dari Suluk Jatiswara. Pendapat ini dikemukakan oleh putra mahkota kepada Ronggosutrasno, kemudian dikatakan:

Induk Serat Centhini yang berasal dari Pesisir bernama kitab Jatiswara. Kitab ini kemudian dikarang lagi, diuraikan panjang lebar menjadi Centhini (R.M. Ng. Poerbatjaraka, 1957:151). Akan tetapi pendapat tersebut ditolak oleh T.E. Behrend, sarjana Amerika yang lebih condong pada pendapat bahwa Kidung Cendhini dari Cirebon yang ditulis pada tahun 1616 M lebih mendekati sumber ilham Centhini (Behrend, 1985:34). Dia menunjukkan jalur langsung dari Cendhini-Centhini Jalalen dan Centhini (Behrend, 1985:13).

Namun perlu ditambahkan di sini bahwa, tidak boleh diabaikan pelacakan sumber penulisan Centhini di luar Jatiswara maupun Serat Cendhini yang ditemukan itu. Ada sumber lain yang amat penting, yaitu dunia pesantren dan Jawa Pedesaan. Walaupun versi yang panjang dari pustaka Centhini disusun dalam kraton Surakarta, namun alur cerita dan episode yang ada di dalamnya bergerak dalam dunia pesantren, misalnya mukarrar, sujak, illah, sukbah dan sittin. (Mukarrar yang dimaksud adalah Al-Muharrar buku fiqih mazhab Syafi’i yang ditulis oleh Abu Qosim Abdul Karim bin Muhammad Rifa’i (w.1226). Sujak yang dimaksud adalah Takrim fil fiqih. Menurut S. Soebardi yang dimaksud dengan Ilahadalah buku fiqih yang di kalanan pesantren dikenal sebagai Idah fil fiqih, penulisnya tidak jelas. Sukbah yang dimaksud adalah buku yang berjudul Shuhabat fi Mawaiz wal Adab min Hadits Rasulullah, karangan Abu Abdullah Muhammad bin Salamah al-Kuda’i (w.1062). Sittin yang dimaksud adalah buku Assittun Mas’ala fil fiqih (enampuluh persoalan fiqih) yang ditulis Abu Abbas Ahmad bin Muhammad Zaid al-Misri (Soebardi, 1975:164-166). Hal ini dapat dilihat ketika Seh Amongraga memberi wejangan kepada Kyai Bayi Panutra dan keluarganya perihal kitab yang berjumlah duabelas (12), yang maksudnya apa yang diperintahkan dalam agama dan diterangkan dalam kitab dan Al Qur’an seharusnya dijalankan; dalam Dandhanggula, pupuh 196 dinyatakan sebagai berikut:

Kitab sittin lan semara kandi
Bayan tasdik sail lawan soejak
Ilah miwah moekararae
Soekbah miwah moestahal nenggih
Adika djangkepira
Kalih welaspoen
Poenapa prentah kang kocap
Aneng kitab prajogi dipoen lampahi
Sami saking koeran (Centhini, III-IV:117)

Dengan demikian beberapa buku yang telah disebutkan dan dunia pesantren dapat dipandang sebagai salah satu sumber penulisan Centhini. Kalau pun kitab Jatiswara di perpustakaan Sanabudaya Yogyakarta terdapat Suluk Jatiswara dengan tulisan huruf Jawa dan berbahasa Jawa, pengarang tidak jelas, tanda tahun 1819, ukuran 21x23, 15,5x27,5 dengan kode katalog SB.19.14. Suluk Jatiswara ini tampaknya bagian dari Centhini yang diganti versinya, yaitu Seh Amongraga sebagai Jatiswara yang kawin dengan putri dari palembang – sering diperdebatkan sebagai sumber penulisan Centhini, ini pun tidak berpengaruh besar dan kalaupun ada hanyalah sempalan, sementara yang emang ada kemiripannya dengan tema pokok, yaitu santri lelono dan jumlah episodenya, seperti lelampahan, pitepangan, rarasan ngilmi dan tilam sari (adegan di tempat tidur dan dialog di tempat tidur).

Adapun dimasukkannya berbagai buku Islam, khususnya yang dipakai dalam dunia pesantren oleh para pengarang Centhini tidak sekedar buatan para pengarangnya, tetapi betul-betul ada. Ada alasan kuat bahwa beberapa buku tersebut tidak hanya diketahui, tetapi secara luas telah dipelajari di dalam banyak pesantren sewaktu Centhini ditulis kira-kira dalam perempat abad ke-19. Akan tetapi dari semuanya itu, pengenalan Islam dalam Centhini dapat diartikan sebagai misi dari para pengarang Centhini untuk memadukan unsur Islam dan tradisi Jawa yang berwatak sinkretis dan akomodatif.

B.    Wejangan Seh Amongraga tentang Jalan Mencapai Kesempurnaan Hidup

Di dalam pustaka Centhini, tokohnya yang penting yaitu Seh Amongraga digambarkan oleh para pengarang Centhini mempunyai ilmu tentang agama Islam yang jauh lebih mumpuni daripada yang dimiliki oleh Kyai Bayi Panutra, Tembanglaras ataupun Jayengraga dan Kyai Basaruddin yang semuanya itu adalah tokoh agama dan tokoh masyarakat yang sangat dihormati oleh masyarakat santri di desa Wanamerta.

Seh Amongraga pada awalnya sebagai ulama yang taat dan saleh dalam menjalankan syareat agama. Di desa Wanamarta dia dikagumi oleh seluruh masyarakat santri karena menjadi imam yang bijaksana. Dia tidak hanya digambarkan sebagai seorang ulama yang saleh melainkan juga sebagai contoh yang menarik bagi para santri, karena amalan sunnah dan dzikirnya yang tak pernah putus (Centhini, I, II:52).

Pada saat yang sama ia juga digambarkan sebagai seorang yang memiliki ilmu yang mendalam tentang ajaran Islam yang berhubungan dengan ilmu fiqih, ushuludin dan tasawuf (Soebardi, 1975:40) dan juga pandai menjelaskannya untuk para santri Wanamerta maupun keluarga Kyai Bayi Panutra. Dalam wejangannya kepada mertuanya, yaitu Kyai Bayi Panutra dan kepada istrinya Niken Tembanglaras maupun pembantu setianya Ni Centhini berkenaan dengan ketiga ilmu tersebut. Penyajian wejangan oleh Seh Amongraga atas masing-masing topik dibawakan secara sederhana dan dengan cara yang tidak sistematis.

Bagaimanapun pada tahap awal, syariat adalah satu-satunya langkah menuju jalan Allah menurut pandangan Seh Amongraga. Dalam memberikan wejangan kepada istrinya Niken Tembanglaras, pertama kali ia menuntun istrinya mengucapkan sahadat fatimah (Centhini, 195) kemudian diberi penjelasan tentang syariat bersama tarikat, dan hakikat bersama ma’rifat. Menurut Seh Amongraga bahwa syariat bersama tarikat merupakan wadah bagi sesuatu (wadah sekelir), sedangkan hakikat dan ma’rifat adalah wiji nugraha (benih pahala Tuhan) (Centhini;196).

Menurut Seh Amongraga, jika biji tersebut disimpan dalam tempat yang bagus maka nugraha akan tumbuh dengan baik, dan begitu sebaliknya jika nugraha tidak disimpan dalam wadah yang bak tidak akan tumbuh dengan baik. Dia mengharapkan pada istrinya dan orang lain untuk selalu waspada, tenang dan tidak congkak akan ilmu mistiknya. Syariat harus dipegang teguh dan tidak boleh  ditinggalkan. Hal ini terungkap dalam pupuh 24-27:

24. ajwa doemeh remeh ikoe jaji
wadjib angoetjap ashadoe an la
ilaha ilalah dene
soen ngawroehi satoehoe
tan ana pangeran kekalih
nanging Allah kang esa
kang toenggal poenikoe
dadekan alam sedaja
wa ashadoe anna Patimah tin djokril
karimi imra atal

25. noeboewati binti Moehammadin
salalahoe ngalaihi wasalam
soen nekseni satoehoene
dewi patimah ikoe
lintang djohar ingkang moeljadi
kang dadi ratoening dyah
kang atjahja mantjoer
kang poetra djeng nabi kita
Moehamad dinil salalaloe ntgalehi
Wasalam ngalaeka

26. jwa pepeka kang djatmika ngelmi
djatmikianing elmoe ikoe sarak
ia sarengat jektine
lawan tarekatipoen
pan minangke wadah sekalir
dening ilmoe hahekat
lan makripatipoen
minangka widji noegraha
widji jen tan toemanem wewadah betjik
boengkik noegrahanira

27. Moelane jaji den ngati-ati
sarengatira koedoe sentosa
asareh akeh pedahe
ajwa langar ingelmoe
jen kepretjet ambilaeni
moeroengaken kasidan
dene langgar ikoe
hakekat tinggal sarengat
ikoe akeh langar pengrasane newis
angrasa kadan moelja (Centhini:195-196)

Wejangan Seh Amongraga tersebut merupakan penyajian secara pandangan Jawa tentang interdependensi yang pokok dari susunan empat jalan mistik menuju kesempurnaan hidup, yaitu syariat dan tarekat ditamsilkan dengan wadah sakelir sedangkan hakikat bersama ma’rifat ditamsilkan sebagai wiji nugraha. Wadah dan biji keduanya tidak terpisahkan, keduanya harus seimbang, dan keseimbangan itu perlu untuk mencapai hidup sempurna.

Seh Amongraga berulangkali menekankan bahwa untuk hidup yang sempurna dan mati yang sempurna orang harus memegang prinsip hidup (uger-ugering gesang) yang terdiri atas empat jalan tersebut. Kemudian dia menjelaskan bahwa, puncak ilmu syariat itu adalah niat untuk melakukan ibadah, puncak ilmu tarekat adalah tercapainya iman yang mutlak; adapun puncak ilmu hakekat adalah i’tiqad untuk mengetahui kenyataan Tuhan, dan puncak ilmu ma’rifat adalah “makloem”, yaitu bersatu dengan Tuhan tanpa melupakan diri. Wejangan ini disampaikan oleh Seh Amongraga terhadap istrinya, sebagaimana dalam sinom pupuh 9:

9. poepoese ngelmi sareat
niat koedoe anglakoni
poepoese ngelmoe tarekat
koedoe koesoes angjakteni
poepoesing hakekati
koedoe temen sarta toehoe
nyataken kenjataan
poepoesing makripat jaji
koedoe maklum sarta soekoer tan pepeka (Centhini, III-IV:98)

Susunan empat jalan menuju hidup yang sempurna seperti yang diwejangkan oleh Seh Amongraga kepada istrinya bukan merupakan sesuatu yang baru dalam literatur suluk Jawa. Dalam primbon abad XVI, tiga jalan mistik yaitu: syari’at, hakikat dan ma’rifat telah menemukan kedudukan yang penting (Poerbatjaraka, 1957:88-89). Disebutkan dalam primbon bahwasanya barang siapa yang mengatakan syariat berbeda dengan hakikat atau bahwa ilmu lahir berbeda dengan ilmu batin adalah kafir.

Kalimat dalam primbon tersebut menunjukkan dengan jelas adanya saling ketergantungan pada beberapa jalan mistik tersebut. Demikian juga di Sumatera, problem tentang empat tingkatan jalan mistik telah dikupas oleh Hamzah Fansuri dari Aceh pada abad XVI yang pada prinsipnya empat jalan tersebut saling bergantung, seperti ungkapannya di bawah ini:

1.    Ketahuilah bahwa yang dinamakan dengan syariat adalah sabda nabi menyuruh kita berbuat baik dan melarang kita berbuat jahat.
2.    Ketahuilah bahwa tarekat tidak lain adalah permulaan hakikat.
3.    Ketahuilah bahwa jalan hakekat adalah jalan Muhammad Rasulullah.
4.    Ketahuilah sabda nabi, bahwa ma’rifat itu rahasiaku (al-Attas, 1970:301-310; Ciptoprawiro, 1986:64-65).

Kemudian keempat jalan tersebut ditamsilkan oleh Hamzah Fansuri sebagai sebuah kapal, syariat adalah dindingnya, tarekat adalah geldaknya, hakikat adalah muatannya dan ma’rifat adalah keuntungannya.

Tampaknya semangat dan jiwa wejangan yang berhubungan dengan tingkatan jalan mistik seperti dalam primbon abad XVI sama seperti yang diwejangkan oleh Seh Amongraga. Namun di sini ada perbedaan tamsil. Di dalam primbon abad XVI syariat ditamsilkan sebagai ilmu lahir, sedangkan tareat dan hakikat ditamsilkan sebagai ilmu batin. Seh Amongraga menamsilkan syariat dan tarekat sebagai wadah sakelir dan hakikat bersama dengan ma’rifat sebagai wiji nugraha.

Seperti halnya Hamzah Fansuri yang mempercayai bahwa syariat adalah penting dan membentuk satu kesatuan yang utuh dari empat jalan mistik, dengan demikian ada dugaan kuat bahwa kepercayaan yang sama tentang susunan empat jalan mistik mewarnai literatur suluk. (Drawes, 1969:13) menyebutkan bahwa arti suluk dan asal-usulnya adalah prinsip dasar yang menyangkut ajaran mistikisme di Jawa dan Sumatera dari abad XVI ke atas. Dalam pustaka Centhini kepercayaan akan hal tersebut disiarkan lewat wejangan Seh Amongraga.

C.    Wejangan tentang Dzikir dengan Pengaturan Pernafasan

Tidak diragukan lagi bahwa pustaka Centhini asalnya termasuk sastra suluk. Inti agama yang sebenarnya adalah wejangan agama Jawa yang bertujuan untuk mencapai “kesempurnaan hidup”, yaitu bersatunya antara hamba dengan Tuhan (manunggaling kawulo gusti). Wejangan dan penjelasan tentang ilmu rahasia ini memang dalam bentuk dialog antara Seh Amongraga dan para tokoh lainnya. Di samping inti wejangan tentang bersatunya hamba dengan Tuhan, para pengarangnya juga memasukkan misalnya ilmu kalam, tasawwuf dan gambaran yang jelas tentang adat-istiadat Jawa dan perhatian terhadap masyarakat pesantren.

Penyajian dan wejangan tentang ilmu rahasia itu banyak mewarnai sastra suluk Jawa. Gambaran tentang bagaimana Seh Amongraga membimbing muridnya, yaitu istrinya sendiri kepada ajaran rahasia (ilmu rahsa), sesudah istrinya dituntut dengan kalimat sahadat fatmah, kemudian diuraikan dalil kur’an dan hadis, ijmak dan kiyas menjadi oegering sarengat, baik makna lahir maupun makna batinnya (Centhini, I-II:196). Kemudian diwejangkan dua hal pokok, yaitu: pertama, rasa takut kepada Tuhan yang berarti bahwa manusia harus selalu membaca Al-Qur’an, melakukan salat, baik wajib maupun sunat dan selalu bangun malam untuk bertafakkur kepada Allah, yaitu tumbuh budi luhurnya, tajam pandangan hatinya dan awas terhadap ilmu yang masih samar (Centhini, I-II:196). Yang kedua takut kepada suami, yaitu dengan mentaati ajaran yang diberikan dan pasrah diri kepadanya, hal yang demikian itu akan mendapatkan ganjaran di akhirat kelak (Centhini, I-II:197),

Kemudian istrinya diwejang tentang penyempurnaan salat yang terdiri atas penyucian tubuh, lisan dan hati. Wejangan ini terungkap dalam pupuh 43, Dhandanggula sebagai berikut:

43. ingkang wonten djroning tilam sari
Amongraga alon angandika
mjarsakna jaji mengkene
moenggoeh sampoernanipoen
ing asalah tigang prekawis
kang dingin soetji badan
kaping kalihipoen
kang asoetji lisanira
kaping teloe kang soetji atinireki
tan kena jen gampangna (Centhini, I-II:198)

Setelah penyempurnaan salat secara lahiriah, kemudian dijelaskannya kepada istrinya arti batiniahnya, yaitu sebagai sarana dinisbahkan ke dalam zat Tuhan, sehingga perbuatan salat itu menjadi perbuatan Tuhan dan ucapannya menjadi satu dialog dengan-Nya (polah tingkah kang waoes kagenten polah saiki iki polahing salat edat ingkang agoeng, oecapan-oecapan salat apocapan edat jaji) (Centhini, III-IV:24). Tampaknya ungkapan tersebut di atas ada kemiripannya dengan yang diungkap dalam Wirid Hidayat Jati; Tuhan berbuat, bersabda, mendengar, melihat dengan meminjam tubuh manusia (Simuh, 1986:293). Di dalam suluk Aceh pupuh 16 yang berbunyi: “demikian juga yang dinamakan sifatullah yaitu sifatmu. Sedangkan yang disebut pekerjaan Allah adalah pekerjaanmu” (Yusuf, 1989:7).

Tampaknya salat dan dzikir yang nantinya dihubungkan dengan pengaturan pernafasan menjadi sarana untuk mendapatkan kesatuan dengan Tuhan. Oleh sebab itu, hal tersebut mendapatkan perhatian oleh Seh Amongraga dengan cukup intens. Amongraga dalam memberikan wejangan kepada istrinya tidak hanya semata-mata bersifat teoretis, akan tetapi juga dengan latihannya. Selain itu, Seh Amongraga sangat berbahagia ketika melihat istrinya menangis setelah bebas dari fananya, kemudian ia berkata: “yayi, kau telah mendapatkan rahmat permulaan anugrah yang telah dilimpahkan kepadamu.” (jaji sira karahmatan … jekoe aplaloe ngagesang pasamoen saking Hjang Soekma poepoetjaning noegraha ikoe angrahmati sira).

Secara perlahan-lahan tetapi pasti Tembanglaras dibimbing oleh Seh Amongraga dalam latihan dzikir yang dihubungkan dengan pengaturan pernafasan, setelah terlebih dahulu diwejangkan tentang cara berwudlu (ngambil kadas tojastoeti, matiro ngilangaken kadas kang tjilik), kemudian menjalankan shalat wajib dan sunat dengan segala tata tertibnya (Centhini, I-II:193).

Setelah itu Seh memperagakan demikian: Setelah salat lalu membaca shalawat Nabi, hatinya menjadi terang di zaman tengah (kekinian atau zaman sekarang ini, bukan nanti atau tadi) hatinya menjadi terang.

Setelah itu Amongraga mengetrapkan suhul kepada Allah menurut tarekat Barjah, Jalalah, Syatariah dan Isbandiyah.

Kemudian pengaturan nafas dimulai, yaitu napas, anapas, tanapas dan nupus. Keempat klasifikasi napas tersebut diperhatikan dengan serius sehingga dapat selaras dengan lafal la maujuda illallah dengan satu nafas yang panjang.

Kemudian memulai dzikir napi-isbat, yang semuanya itu sudah dipersatukan dalam cipta dan penglihatan, dengan seratus kata senafas. Lafal la maujuda illallah dijadikan illallah, sesudah itu hanya Allah, Allah saja dan hu Allah, Allahu, hu, hu, hu dan i,i,i, illa, illah lah lah, e,e,e,u,u,la,a,a,a,ha,ha, yang akhirnya menjadi sama saja apa yang diucapkan, dan tidak mengacaukan apa-apa yang diucapkan.

Hatinya dipandang tidak membahayangkan akan tidur maupun kantuk dan semua lobang (tubuh) sudah tertutup, tidak di bumi dan langit, dan kosong. Hatinya tertuju kepada kemulyaan zat, salam daim, ismu alim naik ke fana. Gambaran seperti itu terdapat dalam dhandhanggula, pupuh 4-7:

4. salalahoe ngalaihi salami
noelja salam bakda woes peragat
tyas bjar neng djaman tengahe
djaman tengahan ikoe
ananira ia saiki
iki-iki belaka
tan mengko tan waoe
mengkana Seh Amongraga
noeja tatrap berdjah djaladjah soehoeling
satarjah isbandijah

5. napas anapas tanapan noepoesi
patang prekara kang mandjing medal
liningling-lingling raose
ingarah beneripoen
ing parenge tibane oeni
lamodjoeda ilalah
mot sanapas landoeng
noelja dikir napi isbat
woes angingkoed ingtjipta tingalireki
satoes klimah sanapas

6. lapal lailala ilalahi
linampahkan ilalah-ilalah
noelja Allah-Allah bae
lan hoe Allah-Allahoe
hoe-hoe joe lan i i i
illa ilalah lah lah
o o e e oe oe
miwah la la a a ha ha
pan woes djomblah tan beda idjiling oeni
moeni tan moena sika

7. saliane woewoese kang oewis
tyas woes kawas kawawas tan oewas
ing kedjap lejep lajape
babahanira boentoe
mingkoep tan mjat ing boemi langit
lap nir norapa apa
pan woes soewoeng gemploeng
tjengeng pleng moeng pamelengan
moeljaning dat salat daim ismoe ngalim
mantjad panaoel pana (Centhini, I-II:193)

Hubungan dzikir dengan pengaturan nafas lebih jelas lagi, yaitu pengucapan lafal lailaha illallah harus pas dengan penarikan dan penghembusan pernapasan. Cara seperti ini diperagakan oleh Seh Amongraga sebagai berikut:

Pertama-tama mempersiapkan diri untuk junun, kemudian melakukan wirid naqsyabandiyah, syatariah, jalalah dan barzah penuh konsentrasi dengan sikap timpuh, setelah itu diatur keluar masuknya nafas kencang dan pelan. Setelah itu masuk ke alam dzikir lafal la maujuda illallah terpusat dan tertuju kepada Zat Wajib Wujud dengan wirid nafi isbat, sehingga hatinya terisi dengan itu semua. Dalam waktu yang bersamaan kepalanya mulai digerakkan ke kanan dan ke kiri seirama dengan nafi isbat dengan cara daerah huruf lam (pada akhir kata ilallah) dari pusat badan ditarik ke kiri atas.

Adapun lafal ilaha ditarik ke kanan di bahu atas, kemudian sampai lafal illa, perasaannya ditunda dalam nafi gaib. Adapun isbat gaib (illallah) ditempatkan di dada sebelah kiri dan bawah. Adapun nakirah (ilaha) sudah tertutup (wus brukut) (dengan isbat), dan dengan itu mampu mengucapkan lafal lailaha illa lahu dengan satu tarikan nafas sebanyal 50 kali yang akhirnya sampai 300 kali.

Kemudian mengucapkan Hu, Hu, seribu kali dalam satu tarikan nafas dan hatinya sudah lepas karena dzikir, ia mengucapkan itu dengan tanpa terasa apa-apa (muni tan ana raos, maksudnya sudah tidak dalam pengalaman biasa). Dan semuanya itu menurut tata cara Amongraga diperbolehkan walaupun hanya berbunyi ee, aa, ii, uu dan suara apa saja yang sama, sebab bunyinya adalah kosong (unine punika suwung). Di situ hilanglah perbedaan, badan dan budi menjadi satu, itulah yang dinamakan mikraj suhul panaul badan bagaikan kayu yang kering. Dalam keadaan yang demikian itu, tinilar lagja kalbu (hati ditinggalkan), semua kosong, sepoi, zaman mutlak gaib, tak ada daratan, tak ada lautan, tak ada gelap, tak ada terang. Meminjam pendapat Iqbal, bahwa hubungan mistik rapat sekali dengan alam azali telah mengesankan akan adanya pengertian tentang tidak realnya waktu yang bersambung… (Muhammad Iqbal telah membahas secara terperinci sifat pengalaman mistik. Menurutnya ada lima cirinya: 1. Pengalaman tersebut bersifat langsung, 2. Pengalaman mistik tak dapat di uraikan, 3. Suasana mistik merupakan satu penggabungan yang dapat dengan pribadi yang serba maha, 4. Pengalaman itu lebih bersifat perasaan daripada pikiran, 5. Berhubungan dengan alam azali (Iqbal, 1981:18-22). Dan yang ada hanya wahyu jatmika di alam gaib, tempat suhul, yang ada hanya jumbuh nora sidji nora loro. Pupuh 49-58 di bawah ini menggambarkan apa yang telah diuraikan di atas sebagai berikut:

49. amapanaken djoenoen
pasang wirid isbandiahipoen
satariah djalalah bardjah amoepid
pratingkahe timpoeh wioeng
tyas napas kantjeng tan dompo

50. noelja tjoel dikiripoen
lapal la moedjoeda ilalahoe
kang pinesti datoe wadjiboelwoedjoedi
winih napi isbatipoen
pinatoe tyas woes anggatok

51. anggoejer kepala noet
oebeding napi lan isbatipin
derah ing lam kang akir wit poeserneki
tinatik ngeri mondoewoer
lapal ilaha angengo

52. nganan poendak kang loehoer
angleresi lapal illa nenggoeh
pendjadjahe kang dria mring napi gaib
ilalah isbat gaiboe
ing soesoe kiwa kang ngisor

53. nakirahe woes broekoet
lapal la ilaha olalahoe
winot seket kalimah senapas nenggih
senapas malih motipoen
ilalah tri atoes manggon

54. anoelja lapal hoe hoe
senapas landoeng winotan sewoe
pemantjade tyas lepas lantaran dikir
kewala moeng wrananipoen
moeni woes yan ana raos

55. woes wenang sedajekoe
nadyan a a e e i i oe oe
sepadane sedengah-dengah kang oeni
oenine poenikoe soewoeng
sami lawan orong-orong

56. ing sanalika ngrikoe
tjoploking satoe lan rimbagipoen
dewe-dewe badan boedine tan toenggil
nis mikrad soehoel panekoel
badan kantoen lir gelodog

57. tinilar lagja kalboe
jektining napi poenikoe soewoeng
komplang njenjed djamaning moetelak haib
woes tan ana darat laoet
padang peteng woes kawios

58. pan amoeng ingkang modjoed
wahja djatmika djronoing gaiboe
pan ing kono soehoele denira moepid
tan pae-pinae djoemboeh
nora sidji nora loro (Centhini, I-II:262)

Ungkapan ing kono soehoele denera moepid tan paaepinae djoemhoe nora sidji nora loro mencerminkan manunggaling kawula gusti, atau dalam istilah lain Tuhan diibaratkan sebagai dalang yang memainkan wayangnya di belakang kelir. Bayangan yang ada dalam kelir itu lah manusia.

Ungkapan seperti itu sering digunakan oleh para tokoh sufi seperti Ibnu Arabi, Jili atau Rumi. Kiasan ini berkaitan dengan objek dan bayangannya. Al-Hak disebut sebagai objek yang bayangannya terpantul dalam cermin atau kelir yang berbeda-beda. Ungkapan yang dipakai dalam pustaka Centhini atau dalam Wirid Hidayat Jati dan karya suluk lainnya yang ada di Jawa disebabkan oleh besarnya pengaruh kitab Al-Insan Kamil, karya Abdul Karim al-Jili pada mistik Islam di Jawa. (Di dalam Centhini memang menyebut kitab Insan Kamil. Centhini, jilid I-II, hlm 231. Di dalam Centhini I-II, hlm. 223, pupuh 73, Centhini III-IV, hlm. 177, pupuh 196). Namun dalam keterangan lain Seh Amongraga menyadarkan istrinya bahwa manunggaling kawula gusti itu sulit dimengerti dan mohal, “hal ini perlu kau sadari yayi, tiada gusti, tiada kawula, ya gusti sekaligus kawula, gusti yang bersifat kawula dan kawula yang bersifat gusti. Mohal yayi, bagaimana, dua jadi satu yang gaib, tiada satu tiada pisah, tiada dua tiada satu, tidak sulit tetapi juga tidak mudah dimengerti, dua menjadi satu, bisa silit bisa mudah dimengerti, wujud Tuhan juga wujud kita.” Hal ini terungkap dalam pupuh 47-48:

47. woejoed makal djatineka
basa makal ikoe kaji
patemon kaoela goesti
ikoe makal namanira
datan gusti ia kaoela
goestik kang sipat kaoela
kaoela kang sipat gusti

48. jaji ia ikoe makal
gaibing roroning toenggal
nora toenggal nora pisah
tan kekalih tan sadjoega
nora ewoeh nora gampang
loro-loroning atoenggal
ia ewoeh ia gampang
ananing hjang woedjoed kita (Centhini, III-IV:28).

Ungkapan tersebut memberi kesan sebagai rumusan tentang transendensi dan imanensi, yang pada hakekatnya juga bersifat tunggal, tetapi juga tan tunggal, loro tetapi juga tan loro, apa yang dikenal sebagai imanensi dan transendensi.

Memperhatikan perkembangan problem tersebut sepanjang pemikrian filsafat dapat diambil sau kesimpulan, inti permasalahannya adalah di sekitar adanya Tuhan, sifat-Nya, tanpa mengurangi kemahaesaan Tuhan itu sendiri.

Uraian itu harus pula memberikan penjelasan tentang hubungan adanya manusia dan dunia, sifat manusia dan dunia, dengan adanya kemungkinan terjadinya hubungan antara manusia dan dunia itu dengan Tuhan, tanpa mengingkari ajaran tentang hakikat dan kodrat manusia itu sendiri.

Konsep transendensi menunjuk kepada Tuhan yang maha esa dan maha mutlak mengatasi segala sesuatu. Konsep imanensi menunjuk kepada hubungan dan kehadiran Tuhan dalam dunia dan manusia. Pendekatan ini dapat bertitik tolak dari transendensi untuk kemudian dijabarkan sampai kepada wilayah imanensi. Akan tetapi timbul masalah, apakan transendensi itu dijabarkan oleh pengetahuan manusia yang terbatas? Pendekatan ini biasanya bertitik tolak dari manusia, untuk selanjutnya sampai kepada Tuhan yang maha transenden, akan tetapi masalahnya, apakah mungkin manusia membuat loncatan dari kategori imanensi memasuki kategori transendensi, dari kategori keterbatasan memasuki kategori yang tidak terbatas?

Jawaban yang diberikan selalu tidak memuaskan, mungkin jawaban yang diberikan selalu memakai logika paradoks yang dalam logika dikenal dengan principum negation berjalan seiring dengan principium identitatis, seperti dalam Centhini, “tunggal, tapi juga tan tungggal, loro tapi juga tan loro”. Kalau sudah demikian biasanya sang mistikus lalu membuat loncatan untuk penyatuan dan peleburan ke dalam Tuhan. Dan loncatan untuyk penyatuan dan peleburan ke dalam Tuhan. Dan loncatan itu telah diperagakan oleh Seh Amongraga dalam centhini, yaitu dengan dzikir yang dihubungkan dengan pengaturan pernafasan.

Model dzikir dengan pengaturan pernafasan seperti dalam Centhini terdapat di Sumatera, yaitu yang diajarkan oleh Abdus Somad Al-Palimbani. Menurut Al-Palimbani, bahwa orang yang sedang berdzikir itu terkadang berlaku atas lidahnya itu: Allah, Allah, Allah, atau Hu, Hu, Hu, atau La, La, La atau A, A, A atau Ah, Ah, Ah atau Hi, Hi, Hi, atau dengan tiada huruf atau ia menggetar, karena telah ghalib atas dzikir itu (Quzwain, 1985:125). Kemudian ia menerangkan caranya sebagai berikut:

1.    Duduk menghadap kiblat seperti duduk di dalam sembahyang, lalu menarik ucapan lailaha dari atas pusat dengan niat menafikan barang yang lain daripada Allah dari dalam hati, sedangkan ilallah diucapkan dengan niat menyampaikannya ke dalam hati sanubari, sambil menggerakkanb kepala ke kiri dengan mengingatkan maknanya.

2.    Duduk seperti tersebut diatas sambil mengingat kebesaran Tuhan, tenggelam di dalam keagungan dan keindahan-Nya serta memandang syaikh pada permulaan memasuki dzikir yang dimulai dari tangan kiri sambil menundukkan kepala dan mengingat kehinaan diri serta ketergantungannya kepada Tuhan; kata la ditarik dari lutut kiri ke lutut kanan dn dinaikkan ke bahu kanan dengan lafal ilaha sambil mengangkat kepala ke arah itu, lalu dipukulkan ke hati dengan lafal illallah; sedangkan pada permulaan dzikir itu pada lutut kiri diangkatkan makna la ma’buda illallah, pada lutut kanan la maqsuda illallah (tiada yang dituju selain Allah) pada bahu kanan la maujuda illallah dan pada hati la matluba illallah.

Pada akhir dzikir dilanjutkan kata hu illallah sambil menahan nafas menantikan al-faidul ilahi seperti tersebut tadi (Quzwain, 1985:125).

Tampaknya cara dzikir yang terdapat dalam Centhini dan apa yang diajarkan oleh Al-Palimbani ada kemiripan, seperti dalam pengucapan lafal dan cara duduk. Namun juga ada perbedaan yang cukup mencolok, seperti dalam Centhini cara bertawassul tidak disebut. Demikian juga dalam Centhini lafal yang inti pada awal permulaan adalah la maujuda illallah dengan konsentrasi penuh kepada zat yang wajib wujud; sedang model Al Palimbani, konsentrasi penuh kepda makna la-ilaha ilallah terdiri atas tiga tingkatan:

1.    la ma’buda illallah
2.    la matluba illallah
3.    la maujuda illallah

Satu lagi yang tidak dilakukan oleh Al Palimbani adalah klasifikasi napas sebagaimana dalam Centhini. Al Palimbani hanya menyebut napas (yang keluar dari hidung). Dalam Centhini nafas diklasifikasikan menjadi napas, anapas, tanapas dan nupus, yang masing-masing berbeda. Penjelasan Seh Amongraga adalah bahwa nafas yang keluar dari mulut kita ini, anapas adalah nafas yang keluar dari mulut kita ini, anapas adalah nafas yang keluar dari telinga kita, tanapas dan nupus adalah nafas yang keluar dari mata dan hidung (Centhini, III-IV:26). Penjelasan lain yang berkaitan dengan klasifikasi napas adalah dikaitkan dengan asal rukuk (dalam shalat). Di sini Seh Amongraga memberikan penjelasan secara simbolis kepada istrinya Niken Tembanglaras yang berkaitan dengan gerak lahiriah salat sebagai berikut:

1.    Berdirinya salat berasal dari geni, yaitu geni atau api yang mempunyai empat sifat, roh ilapi, roh nurani dan rahmani (doedoe geni ingkang moerob mati ingkat sifat patang prekara, ilapi sedjatine, roh rahmani, ikoe noerani lan roh raekani) (Centhini, I-II:190).

2.    Rukuk berasal dari angin, bukan angin biasa atau angin ribut, tetapi angin yang mempunyai empat sifat, napas, anapas, tanapas dan nupus. Nupus adalah ru’ya, ru’ya adalah benih hidup, yang hidup salatmu, yayi. Pupuh 7:

8. roekoek ikoe angsal saking angin
doedoe angin barat lesoes badjra
doedoe kang goemrebeg kije
le angin poenikoe
kang sipat kawan prekawis
napas anapas tanapas
ping pate noepoes
noepoes wiwinihing roehjat
roehjat ikoe apan wiwinihing oerip
wong oerip salatira (Centhini, I-II:199)

3.    Sujud berasal dari warih, warih yang mempunyai empat sifat, yaitu roh robani, roh nabati, roh hewani dan roh jasmani. (Centhini, I-II:199).

4.    Duduk shalat dari bumi. Nah disini Seh Amongraga sudah macam-macam lebih jauh. Bumi yang mempunyai empat sifat yaitu wadi, madi, mani dan manikem. Manikem adalah benih keabadian yang tidak berubah, yaitu salat kita (salat daim) (Simuh, 1983:332-4; Centhini, I-II:58).

Di bagian lain berbagai istilah seperti wadi, madi, mani dan manikem mendasari pandangan kosmologi Seh Amongraga. Di dalam serat Wirid Hidayat Jati istilah tersebut berkaitan dengan konsep martabat tujuh (Simuh, 1988:332-4).

Keterangan yang cukup terperinci tentang dzikir yang dihubungkan dengan pengaturan pernapasan dan latihannya disampaikan Amongraga kepada istrinya, sebagai berikut:

1.    Memberi keterangan tentang tata cara untuk bersatu dengan Tuhan, supaya mudah dan terbiasa, maka perlu belajar tentang empat hal.

2.    Empat hal tersebut adalah syari’at wirid, tarekat wirid, hakekat wirid dan ma’rifat wirid, dan itu wajib diketahui yayi.

3.    Syariat wirid adalah mengucapkan sahadat tiada Tuhan selain Allah dengan mengikuti keluarnya nafas, tanazub mukaranah dengan berkata dalam hati: la ilaha illallah, yang menjadikan segala sesuatu. Demikian seharusnya ciptaanmu yayi, tak boleh diselipi dengan kata apapun.

4.    Tarekat wirid adalah mengucap lafal illallah, illallah mengikuti anapas yang keluar masuk, tanazub mukaranah, katanya di dalam hati, bahwa hanya Allah lah yang aku sembah. Demikian seharusnya yayi, tidak boleh tidak, dan jangan diselipi pikiran yang lain.

5.    Hakikat wirid adalah mengucapkan lafal Allah, Allah, mengikuti tanafas yang keluar masuk, tanazub mukaranah, kata hatimaknawi, angandel njataning Allah, aku percaya kepada kenyataan Allah, demikian seharusnya ciptaanmu, tak boleh diselipkan pikiran yang lain.

6.    Ma’rifat wirid mengucapkan lafal Hu, Hu, Hu mengikuti keluarnya nupus, tanazub mukaranah, kata hati sirri, “Allah adalah hidup yang kekal”, demikian tak boleh tidak yayi. Lihat pupuh 25-30 di bawah ini.

25. lah kawroehana denira
moenggoeh lakoene kang bengat
koedoe pinrih lobok lanjah
lanjahe koedoe anetah
saking patang prekaranja
sarengat ing wiridira
lawan larekating wirid
miwah kakekating wirid

26. toewin makripating wirid
ikoe jaji wroehanira
sarengating wirid ika
neboet sawidji kalimah
pan la ilaha illalah
noet pandjing wektoening papas
tanasoebing moekaranah
ngling ati sanoebari

27. ja la ilah ilalah
pan ora nana Pangeran
anging Allah ingkang esa
kang dadeken sedaja
koedoe mengkono tjiptanja
tan kena keselan basa
ing dalem sadjroning tjipta
dening tarekating wiri

28. lapal ilalah ilalah
noet anpas kang mandjing medal
tanasoebing moekaranah
pamoewoesing ati poead
anging Allah kang soen sembah
pan mengkono tan kenora
jaji jwa kanti kaselan
lian osik kang kadyeka

29. dene kakekating wiridlapalira Allah-Allah
noet tanapas mandjing medal
tanasoebing moekaranah
oenining ati maknawi
angandel njataning Allah
koedoe mengkono kang tjipta
tan kena kaselan lian

30. dene makripating wirid
hoe hoe hoe lapalira
pan anoet wetoening noepoes
tanasoebing moekaranah
pakmoewoesing ati siri
Allah pan oeripe langgeng
mengkono tan kena nora
ana dene napas ika (Centhini, III-IV:26)

Dari berbagai keterangan tersebut, jelas sekali bahwa dzikir dan pengaturan pernapasan sebagai alat untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan mendapat perhatian yang cukup luas oleh Seh Amongraga. Pengaturan napas, anapas, tanapas dan nupus tampaknya mendapat perhatian juga di dalam Wirid Hidayat Jati. Di dalam Wirid Hidayat Jati terkumpul di Baitul Makmur, diciptakan kembali menjadi nukat gaib (Simuh, 1988:551). Baik dalam Centhini maupun dalam Wirid Hidayat Jati maupun dzikir yang dianjurkan oleh Al-Palimbani sama-sama memperhatikan gerak anggota jasmani yang harus diselaraskan dengan batin dalam menghayati makna lafal la ilaha illallah. Tampaknya, tata cara menekung (dalam Wirid Hidayat Jati), merupakan perpaduan dari wirid yang disertai dengan mengatur jalannya pernafasan (Simuh, 1988:553).

Adanya dzikir yang dihubungkan dengan pengaturan pernafasan, baik di kalangan tarekat maupun di dalam berbagai ajaran suluk banyak dihubungkan dengan pengaruh Hindu maupun Budha. H.M. Rasyidi berpendapat bahwa cara menekung model Wirid Hidayat Jati banyak dipengaruhi oleh yoga. Demikian juga unsur seks yang mendapat perhatian, baik di dalam Centhini, Gatoloco, Darmogandul maupun Suluk Seh Siti Jenar mungkin mendapat pengaruh dari tantrisme maupun maithuna.

Dzikir dalam bentuknya yang sudah berkembang biasanya dihubungkan dengan jenis pengaturan nafas. Sahl mengemukakan gagasan bahwa “napas dihitung” setiap napas yang keluar tanpa mengingat Dia adalah mati, tetapi setiap napas yang keluar dengan mengingat Tuhan adalah hidup dan berhubungan dengan Dia” (Schimmel, 1981:173). Tak dapat ditentukan kapan tepatnya berbagai metode pengaturan napas diterima dalam aliran tasawuf, tetapi semua yang telah melakukan dzikir dalam tradisi agama apapun, apakah dengan do’a Yesus yang dilakukan oleh para rahib Yunani atau dengan nama Amida Butsu oleh para penganut Budhisme Amida, mengetahui bahwa konsentrasi tanpa pengaturan napas nyaris tak mungkin. Jami melestarikan ajaran gurunya sendiri dalam tradisi awal aliran Naqsyabandiyah. Khwaja ‘Attar berkata: “tujuan berdzikir ialah agar tidak banyak bicara; dengan satu tarikan nafas diucapkan tiga kali la ilaha illallah, dimulai dari sisi kanan di bawa turun ke hati, dan mengucapkan Muhammad Rasul Allah dari sisi kiri (Schimmel, 1981:173). Ulangan sembilan kali atau delapan belas kali dalam satu tarikan nafas juga mungkin. Dalam akhir abad pertengahan, khususnya di Afganistan dan India, dilakukan habs-i dam yaitu menahan nafas untuk waktu yang lama. Teknik yang menimbulkan pertentangan ini mungkin mengungkapkan pengaruh dari pada sufi pertama India (Schimmel, 1981:173).

“Sha’rani, yang dengan baik menafsirkan tasawwuf di Timur Tengah dalam abad ke-16, menguraikan tentang tujuh jenis dzikir: dhikr al-lisan, dengan lidah, dhikr an-nafs, yang tidak terdengar, tetapi berdiri atas gerak dan rasa di dalam, dhikr al qalb, dengan hati, apabila hati merenungkan keindahan dan keagungan Tuhan di dalam dirinya; dhikr ar-ruh, bila pelaku mistik yang bersemadi mengamati cahaya sifat-sifat; dhikr as-sir; dhikr al-khafiy; dhikr rahasia, artinya penglihatan cahaya keindahan daripada kesauan sejati; dan akhirnya dhikr akhfa al-khafi, rahasia segala rahasia, yaitu penglihatan realitas kebenaran mutlak (haqq al-yaqin)” (Schimmel, 1981:173).

Tradisi Naqstabandi mengajarkan dzikir lima lataif, yaitu titik-titik halus dalam batin yang harus dijadikan pusat dzikir sampai seluruh ujudnya berubah bentuk. Penggambaran tentang pelaksanaan teori ini pada akhir abad XVIII diberikan oleh Mir Dard. Ia menggambarkan Dhikr Qalbi yang bertempat di dada sebelah kiri dan diucapkan dengan cinta dan kerinduan; Dhikr Ruhi, dilakukan di dada sebelah kanan dengan sunyi dan tenang, Dhikr Sirri, yang dilafalkan dalam keakraban, dekat dada sebelah kiri; Dhikr Khafawi yang dilakukan dekat sudut dada sebelah kiri, dan bertujuan mengesampingkan dan mematikan diri, dan Dhikr Akhfawi di tengah-tengah dada, tanda peleburan dan penyatuan. Dzikir lalu diteruskan ke otak dalam kepasrahan sempurna (dhikr nafsi’ dengan nafs qaddisa, yaitu jiwa yang disucikan) dan akhirnya meresapi segenap wujud, badan dan jiwa. Pada saat itu manusia mencapai dzikir dan damai yang sempurna – itu adalah Dhikr Sulthani. Seperti juga sufi yang lain, Dard berkukuh bahwa untuk itu dituntut latihan terus menerus; dzikir adalah obat untuk jiwa dan dokter harus memperoleh ketrampilannya dengan berbuat dan bukan dari buku (Schimmel, 1981:175).

Satu hal yang menjadi catatan disini berhubungan dengan jalan mistik yang ditempuh atau yang diwejangkan Seh Amongraga kepada istrinya, yaitu tujuan yang hendak dicapai. Seperti telah disebutkan terdahulu bahwa di dalam Centhini sebagaimana yang diwejangkan oleh Seh Amongraga, salat, dzikir dan pengaturan pernafasan sebagai sarana untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan yang dalam Centhini disebut panakoel. Namun penjelasan tentang fana dan baqa dalam berma’rifat dengan Tuhan sebagal hal dalam Centhini tidak jelas. Oleh karena itu ada kesan bawa konsep kunci dalam ajaran tasawwuf seperti hal dan maqam tidak dikaji secara serius oleh para pengarang Centhini.

D.    Peranan Akhir Seh Amongraga dan Misi Pengarang Centhini

Untuk melengkapi tulisan ini akan dikemukakan peranan akhir Seh Amongraga dan misi yang diemban oleh para pengarang Centhini.

Seh Amongraga pada tahap akhir pengembaraannya digambarkan oleh pengarang Centhini sebagai orang yang menyimpang, mengajarkan ilmu sejati dan sebagai petapa yang mencari kekuatan gaib, untuk membalas dendam kepada rezim Sultan Agung atas kekalahan Giri. Di sini peranan Seh Amongraga menjadi orang yang tidak saleh lagi, selalu mengganggu stabilitas kerajaan Mataram dan merongrong kewibawaannya. Karena itu akhirnya dihukum mati dengan dilemparkan ke Laut Selatan dan hal ini dilakukan oleh Tumenggung Wiraguna atas perintah Sultan Agung (Soebardi, 1975:40).

Dengan demikian peranan Seh Amongraga bertentangan dengan yang telah dikemukakan terlebih dahulu. Peranan akhir Seh Amongraga mirip dengan Seh Siti Jenar dan Sunan Panggung dan Ki Bebeluk. Para tokoh ini semuanya dieksekusi. Yang pertama dihubungkan dengan kerajaan Mataram, yang kedua dihubungkan dengan masa kerajaan Giri, yang ketiga dihubungkan dengan masa kerajaan Demak, dan yang terakhir dihubungkan dengan masa kerajaan Pajang.

Peranan Seh Amongraga tahap akhir yang mengajarkan ilmu sejati, menurut S. Soebardi diwarisi dari konsep dasar pustaka Centhini yang asli, yang ditulis untuk menggambarkan Seh Amongraga sebagai pengikut tradisi Seh Siti Jenar (Soebardi, 1975:40). Dengan menempatkan Seh Amongraga pada masa Sultan Agung, barangkali penulis Centhini akan mempertahankan kelangsungan tradisi Seh Siti Jenar dan Giri.

Ada pun masuknya unsur Islam (murni) ke dalam pustaka Centhini merupakan indikasi maksud penulis Centhini untuk memperlihatkan simpati dari kraton terhadap Islam yang murni yang mementingkan syari’at (Soebardi, 1975:40).

Sikap istana terhadap syariat perlu dimengerti dalam konteks tradisi Jawa. Syariat seperti yang telah diwejangkan oleh Seh Amongraga adalah sebagai wadah sakelir yang merupakan bungkus sistem kepercayaandan bukan merupakan wiji nugraha (inti). Dari sudut tradisi Jawaisme, perubahan wadah dengan menyatakan doro seorang mukmin yang menjunjung syariat tidak menimbulkan halangan asal orang yang bersangkutan tetap memelihara Jawanya dalam usaha mencapai ma’rifat yang dalam bahasa Jawanya disebut pamoring kawulo gusti.

Dengan demikian Seh Amongraga ditampilkan secara simbolis oleh pengarang Centhini sebagai seorang aristokrat yang menganut faham kehidupan agama yang sinkretis. Sikap untuk mendamaikan dua agama yang berbeda tampaknya telah mengacu pujangga kraton semenjak Yasadipura I di bagian abad XVIII untuk dijadikan tema pokok dalam literatur kraton. Ataukah hal ini merupakan indikasi penting dari penguasa pada waktu itu dan pujangganya berkaitan dengan merosotnya wibawa kraton yang menjadi kenyataan di akhir abad ke XVIII? Mungkin hal ini bisa menjadi proyek penelitian yang menarik.


E.    Kesimpulan dan Penutup

Setelah menyajikan uraian dalam tulisan ini perlu kiranya untuk diambil kesimpulan sebagai berikut:

Pustaka Centhini asalnya termasuk sastra suluk. Inti ajarannya adalah wejangan Seh Amongraga untuk mencapai “kesempurnaan hidup” yaitu bersatunya hamba dengan Tuhan. Penjelasan dan wejangan tentang Seh Amongraga dalam bentuk dialog, yang masing-masing topik dibawakan secara sederhana dan dengan cara yang tidak teratur dan tidak sistematis.

Susunan jalan menuju hidup sempurna (syariat dan tarekat sebagai wadah sakelir, dan hakikat bersama ma’rifat sebagai wiji nugraha) seperti yang diwejangkan oleh Seh Amongraga bukan merupakan sesuatu yang baru, sebab problem tersebut sudah disinggung dalam primbon abad XVI maupun oleh Hamzah Fanzuri.

Salat dan dzikir serta pengaturan pernafasan dalam pustaka Centhini sebagaimana yang diajarkan Seh Amongraga kepada istrinya menjadi sarana untuk mendapat kesatuan dengan Tuhan. Pengucapan lafal nafi isbat harus bertepatan dengan pengaturan pernafasan, yaitu napas, anapas, tanapas dan nupus. Namun kesatuan hamba dengan Tuhan yang merupakan konsep fana (panoel) dalam pustaka Centhini merupakan hal tidak jelas.

Ada kesan bahwa dzikir yang dihubungkan dengan pengaturan pernafasan merupakan indikasi atas semua yang universal dalam laku mistik, sebagaimana mistik sebagai arus kerohanian yang mengalir dalam semua agama.

Peranan ganda yang dimainkan oleh Seh Amongraga yang diberikan pengarang Centhini sebenarnya mengandung misi untuk menyelaraskan agama dan tradisi jawa, yaitu tradisi yang bermuara dari Seh Siti Jenar, Sunan Panggung, Ke Bebeluk dan Seh Amongraga dengan Islam murni yang legalistik.

Demikian seluruh kesimpulan dalam makalah ini, akhirnya tidak ada jeleknya jika makalah ini ditutup dengan mengutip kalimat sebagai berikut: “Muhammad telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku yang telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi”. Inilah kata-kata yang telah diucapkan oleh Abdul Qudus, seorang sufi besar Islam di Gonggah. Dalam semua rangkaian sumber sufi, agaknya sukarlah kita bisa mendapat kata-kata yang dalam satu kalimat saja dapat menyimpulkan sebuah tanggapan yang begitu tajam tentang perbedaan psikologi antara kesadaran rasul dan dunia mistik. Mistik sudah tidak ingin kembali lagi dari suasana tentramnya pengalaman tunggal itu, dan kalau pun kembali tidak memberi arti yang besar bagi umat manusia. Tetapi kembalinya nabi memberi arti kreatif ia kembali akan menyisipkan diri dalam kancah zaman, dengan maksud hendak mengawasi kekuatan sejarah dan dengan itu pula ia mau menciptakan suatu dunia ide baru.

http://kandjengpangerankaryonagoro.blogspot.com/