Senin, 29 Agustus 2011

> Kesadaran Spiritual

Kata boleh sama tapi cita rasa akan maknanya bisa berbeda.
Sebutan boleh sama tapi imajinasi terhadap yang disebut bisa berbeda.

Ketika disebut kata Bulan Purnama, anak saya membayangkan itu pemandangan yang bagus. Tapi ketika saya yang mendengar kata Bulan Purnama, maka refleks saya menerawang ada apa disana dan siapa yang menciptakannya.

“Tuhan itu Maha Esa”

Banyak yang mengucapkannya demikian.
Tapi imajinasi akan Tuhan yang Maha Esa itu tidaklah sama.
Ada yang membayangkan Tuhan itu duduk sendiri di balik langit.
Ada yang membayangkan Tuhan itu terbang sendiri melayang kemana-mana mengintip manusia. Bahkan ada juga yang membayangkan Tuhan itu menyelimuti alam semesta seperti bola raksasa yang membungkus segalanya.

Dengan kata lain, imajinasi manusia tentang Tuhan belum tentu sama. Karena imajinasi itu personal. Sangat pribadi. Dan imajinasi itu dibentuk oleh banyak hal. Misalnya, pengalaman hidup, kecerdasan intelektual, dan seterusnya. Baik yang digali sendiri maupun yang dipinjam dari imajinasi orang lain.

Akan tetapi efeknya secara psikologis sangat tidak sederhana.
Ketika Tuhan dibayangkan sebagai hakim yang galak, yang selalu siap siaga memegang palu ditangan, maka prilaku manusia yang membayangkan Tuhan seperti ini akan berbeda dengan yang membayangkan Tuhan adalah sosok yang selalu tersenyum arif melihat segala tingkah polah manusia.

Dalam kacamata psikologi, citra diri adalah sesuatu yang maha penting. Citra diri negatif akan cendrung membuat seseorang memandang segala sesuatu secara negatif. Begitu juga sebaliknya. Dan secara berantai kemudian, citra diri akan membentuk prilaku. Dan prilaku akan membentuk kebiasaan. Dan ujung-ujungnya adalah hasil. Apakah seseorang akan berhasil, bahagia, atau gagal dan frustasi dalam hidupnya.

Dan imajinasi tentang Tuhan pun juga merupakan pantulan dari citra diri seseorang. Seorang yang defensif, akan membayangkan Tuhan serba mengatur, serba pemarah, bahkan pendendam. Sedang seorang dengan citra diri positif, akan membayangkan Tuhan penuh kearifan, bijaksana, pemaaf dan penuh pengertian. Sehingga sikap positifnya akan semakin dikukuhkan. Dan itulah yang menjadi mata rantai integrasi pribadi yang sehat untuk perkembangan kepribadian.

Dengan kata lain, dalam kaca mata psikologi, meyakini adanya Tuhan bukan serta merta membawa manfaat positif bagi seseorang secara berbanding lurus. Bahkan pada batas tertentu, keyakinan akan Tuhan bisa menjadi racun. Misalnya ketika Tuhan dipahami sebagai Agen yang selalu mengintip setiap detail perbuatan manusia dengan cerewet, yang setiap perbuatannya langsung dikecam Tuhan, diancam dengan dosa dan api neraka. Sehingga secara psikologis tertanam aura kecemasan dalam dirinya.

Secara bertahap, lama-lama mengendap di alam bawah sadar. Dan itu menjadi lapisan dasar dari kesadaran. Dengan aura kesadaran itulah dia memandang dan menjalani segala sesuatu dalam hidup. Dan itu tidak akan bisa berubah sebelum yang bersangkutan merubah kesadarannya. Itu sebabnya begitu susah diskusi soal keyakinan dengan orang-orang tertentu. Itu sebabnya begitu susah mencegah seseorang yang ngotot tidak mau berdamai dengan orang yang bebeda keyakinan dengannya. Itu sebabnya begitu susahnya mencegah orang-orang fanatik yang ingin menjadi teroris.

Lalu mungkinkah hal itu diubah?
Tentu saja bisa. Tapi dengan apa?

Hanya bisa dengan paradigma berpikir baru. Atau dikenal dengan istilah cetak biru kepribadian dan cuci otak, untuk membentuk kesadaran baru dan kemudian menggantikan kesadaran lama.