Selasa, 09 Agustus 2011

> Pencerahan

Pencerahan adalah suatu kata yang menyegarkan. Menggairahkan. Optimistik. Vitalitastik. Dan entah apalagi istilahnya asal adrenalin hidup bisa lancar mengalir seiring denyut nadi kehidupan. Sejalan dengan mekanisme hukum alam. Tapi

Ketika agama dipahami sebagai berhala tua yang disemir lalu dipajang di langit untuk disembah, maka agama akan berubah menjadi racun sontoloyo. Pembunuh gairah hidup. Mengingkari akal dan menumpulkan kepekaan hati.

Pencerahan, menurut saya, adalah lawan dari tabir. Dan keduanya bukanlah barang mati. Keduanya hidup saling bertempur dalam dialektika kehidupan. Jika hari ini ada pencerahan, maka setahun kemudian mungkin yang disebut pencerahan itu telah ditutup lagi oleh tabir baru yang bernama usang. Jadul. Ketinggalan zaman.

Agama, sejauh yang saya pahami, adalah pelembagaan iman dalam satu komunitas yang seiman. Pelembagaan dari suatu kelompok yang menganut sebuah kitab suci. Akan tetapi ketika agama yang dipahami sudah melampaui fungsinya, maka ia telah menjadi berhala, menjadi sesembahan yang memberangus pembebasan. Dimana iman, kitab suci, sejatinya datang untuk membebaskan manusia dari tirani, dari cengkaraman mitos dan tahyul, dari belengggu hawa nafsu, dari belenggu kepicikan, dari tabir sempit pandangan. Dari kultus dan dogmatisme. Iman datang untuk membebaskan manusia dari menyembah apa saja selain Tuhan. Bukan menyembah para Nabi, para leluhur, para syeh, para ulama, tradisi dan apa saja.

Agama hanyalah bungkus dari iman. Ibarat kepala, agama hanya topi. Jika kepala tumbuh menjadi besar, maka topilah yang akan dimodifikasi. Bukan kepala yang dicincang. Tapi dalam prakteknya, tidak jarang posisi agama sudah terbalik. Agama seakan-akan sudah menjadi isi. Tidak boleh disentuh apalagi dipahat ulang. Akibatnya agama mengkorup nilai-nilai iman. Maka terjadilah kebuntuan, stagnan, jumud. Umat beragama bersikeras menarik kehidupan hari ini ke sekian abad silam. Agar cara hidup umat beragama hari ini kembali ke cara hidup seperti di zaman agama itu dicanangkan di zaman para Nabi. Sebuah nostalgia psikologis.

Andai agama dipahami demikian, tidak akan ada para pembaharu agama di sepanjang jejak sejarah. Tidak akan ada para mufasir, faqih, teolog, cendikiawan dan para ulama yang selalu estafet seiring perjalanan waktu. Tidak akan ada mazhab Maliki jika imam Malik tidak merekonstruksi pandangan gurunya imam Hanafi. Tidak akan ada mazhab Hanbali jika iman Ibnu bin Hanbal tidak merekonstruksi pandangan gurunya imam Syafii. Tidak aka ada Ibnu Taymiah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Hassan Al Banna, dan seterusnya jika masing masing mereka tidak menata ulang pemahaman agama dari gurunya masing-masing.

Iman tidak perlu diperbarui, karena iman sudah Absolut Universal. Sebuah penghambaan pada Realitas Absolut, Unlimited Power, atau Tuhan. Tapi iman hanya perlu dihidupkan, dibangkitkan agar semakin peka dan menggetarkan dalam hati dan pikiran. Tapi agama, tetap harus diperbarui seiring perkembangan zaman. Jika tidak, agama hanya akan menjadi barang aneh dalam kehidupan sehari-hari. Seperti minyak dalam air. Tidak pernah bisa melebur inklud dalam keseharian umatnya. Tidak pernah menjadi garam dalam sebuah masakan.

Umat beragama akan selalu berada dalam dua ketegangan ini. Iman yang Absolut dalam diri pribadi, dan agama yang relatif kondisional di medan sosial. Hablum minan nas dan hablum minallah. Fanatik (jika istilah ini yang akan digunakan) ke dalam diri pribadi, dan toleran dengan sesama manusia lain dalam kehidupan sosial.

Tapi jika agama masih dianggap sebagai sesuatu yang Absolut, yang tidak boleh dijamah, yang selalu menjadi sebuah TABU, maka pencerahan agama akan tiarap digulung zaman. Jika itu terus berlangsung bukan tidak mungkin di suatu zaman nanti, manusia akan mengatakan: AGAMA TELAH MATI!