Sabtu, 06 Agustus 2011

> Ken Dedes

WAHAI Dewata Agung pencipta keindahan seluruh isi dunia, pemberi keelokan pada semua yang terpilih, pemilik segala cipta-rasa-karya-karsa, penitah atas kebaikan-keburukan, siang-malam, cahaya-keredupan, air dan api, kesejukan dan bara.

Dari cahaya yang berlimpah atas kemurahan titahmu, kau pancarkan kemilau sinar apakah di permukaan air itu? Cahaya yang mengalahkan, sinar yang meredupkan, perbawa yang menggetarkan. Yang kebeningan air di kolam buatan pun tertaklukkan.

Dari kaki Tuan Putri yang tengah bermain-main dengan kecipak air kolam di pinggiran Padang Karautan ini, aura kewanitaan macam apakah yang kau limpahkah untuk seorang perempuan yang membawa pancaran keindahan dan kemuliaan?

Wahai dewa yang mencipta dan mengilhami.

Wahai Tuan Putri Panawijen.

Wahai putri Empu Purwa.

Wahai Tuan Putri Ken Dedes.

Aku adalah lelaki yang melanglang jagat melintas semua kesengkarutan dan kemuliaan dunia, memungutnya, melahap isinya, mengunyahnya, dan memuntahkannya.

Lintasan kenikmatan macam apa lagikah yang belum pernah teraih dalam perjalanan menantang kehidupan? Semua reguk air surga, rengkuh cinta para jelmaan bidadari dari aneka kasta, dendang tembang kenikmatan dengan semua puncak kebrutalan. Semua, tak bersisa.

Tak berbilang lagi aku mendapati betis indah, tetapi kaki Ken Dedes menjadi yang terindah.

Tak berbilang lagi aku mendapati perempuan dengan segala kesempurnaannya, tetapi Ken Dedes tak bisa diperbandingkan.

Duhai, kaki yang terayun-ayun lembut di kebeningan kolam buatan.

Cahaya putih macam apakah yang memantulkan warna merbawani itu? Tak biasa, dan tak pernah ada betis yang bercahaya di sepanjang pengetahuan dari perjalananku melanglang dunia.

Tahukah kamu, wahai perempuan Panawijen, dari ceruk taman di sela-sela rerimbun dedaunan ini dada kelelakianku dahsyat menggemuruh. Tak mampu lagi aku mengukur diri, seorang abdi berani mengagumi bagian tubuh yang tergolong wadi dari tuan putrinya, seorang hamba yang berangan-angan tentang keindahan permaisuri bendaranya. Tak kuasa aku menahan serapahku kepada Tunggul Ametung. Dengan kekuasaan apa pun, tak pantas dibiarkan dia mendapatkan kesempurnaanmu, Ken Dedes.

Tahukah kamu, wahai keelokan semesta jagat Tumapel, aku tak peduli apa kata dewata tentang makna betis bercahaya itu: perempuan yang menjadi kekasih para dewa, pemilik gua garba yang akan menurunkan ksatria pinunjul yang menguasai Tanah Jawa.

"Tubuh yang memancarkan cahaya terang itu, Arok, dia titisan Dewi Uma, dari gua garbanya akan lahir putra perkasa." Diakah perempuan itu, wahai Bapa Pendeta Lohgawe?

Kaukah perempuan terpilih itu, Ken Dedes?

Aku tak peduli, Pendeta Lohgawe pernah mengatakan perempuan pemilik betis bercahaya itu ditakdirkan bersanding dengan lelaki titisan Dewa Brahma, maka lahirlah anak-anak penguasa jagat. Aku tak peduli, siapa lelaki itu, tetapi aku tak pernah siap menerima kenyataan andai lelaki itu adalah Tunggul Ametung.

Aku tak peduli siapa pun lelaki itu, apakah dia menjadi penguasa jagat atau apa, karena yang aku pedulikan bukanlah kekuasaan. Kamu lebih menggetarkan dari semua angan tentang kekuasaan, karena jagat seisinya takkan punya makna kecuali karena kau mewakilkan semua keelokan di sepanjang langlang buana, memusat pada dirimu.

Kaukah perempuan terpilih itu, Ken Dedes? Dan kaukah titisan Brahma itu, Tunggul Ametung? Lalu akukah itu, wahai Ken Dedes, lelaki yang akan mengubah takdir dengan menyanding pemilik gua garba utama, dan menurunkan trah terpilih di jagat Jawa?

Aku tak peduli dengan semua itu.

Wahai Dewata yang Agung.

Kaki yang terayun-ayun di kebeningan kolam buatan di tepi Padang Karautan itu lebih penting dari semua takdir dewata tentang dampar kencana, tentang kekuasaan, tentang tahta. Bukan karena ramalan para pendeta, karena perempuan itu telah menjelmakan rasa menjadi gelora terpenting dari semuanya. Cipta, rasa, karsa, cinta!

Ken Dedes, aku harus mendapatkanmu, dengan cara apa saja!

Persetan dengan kekuasaanmu, wahai Tunggul Ametung!

Kekuasaan bukanlah cita-cita yang memberi pesona, tak berbanding dengan kekuatan rasa. Dan, kalau kau tahu, rasa itu menyatu ke dalam pusat keindahan dan daya hidup Tumapel: hanya ada dia, hanya ada satu nama, hanya ada satu wanita utama.

Tetapi janganlah kau merasa menjadi lelaki paling beruntung dengan mendapatkan Ken Dedes sebagai pelengkap kemuliaanmu, apalagi untuk menjadi pancadan meraih kekuasaan yang lebih luas, andai kau tahu tanda-tanda perempuan itu sebagai titisan Dewi Uma. Aku tak pernah peduli apakah akan kau taklukkan Kediri dan kau dirikan sebuah negara baru dengan titah dewata karena kau memiliki seorang permaisuri yang menjadi syarat utama mengantar ke puncak kejayaan sejarah Jawa.

Tidak, aku tak akan membiarkan itu. Aku tidak kemaruk untuk menjadi lelaki pilihan para dewa dan tertitahkan menjadi penguasa atas seisi jagat Jawa.

Tidak, aku tak akan membelukarkan niat kecuali hanya untuk mendapatkan pemilik betis yang bercahaya itu, kecantikan yang paripurna itu, keperempuanan yang luar biasa itu. Inilah persoalan hati, ketertambatan seorang lelaki bebas dan bekas penjahat paling ditakuti di Padang Karautan yang menggetarkan seluruh penduduk Tumapel.

Lewat Ken Dedes aku akan membuktikan bukan sebagai lelaki yang tak punya hati, dari perjalanan sebagai iblis yang membunuh tanpa perasaan, memerkosa tanpa beban, merampok tanpa pertimbangan, membakar perkampungan tanpa penyesalan. Ken Dedes mempertautkan perasaanku yang mati sejak remaja ke dalam sebuah kenyataan tentang hidup dan kehidupan. Hanya tentang hidup dan ketenteraman. Hanya tentang pengakuan akan kenyamanan. Sama sekali bukan karena tujuan kemaruk dan kesadaran nikmatnya kekuasaan.

Kamu tahu Tuan Putri, betapa hari demi hari hati ini makin mengeras ke dalam tekad. Kecemburuanku kepada Tunggul Ametung makin merambat ke ubun-ubun, dan aku tak akan pernah bisa membiarkan lelaki itu mereguk kemuliaan bersama Ken Dedes, mencerap habis madunya dengan segala ketamakan penguasa yang telah membawa paksa perempuan paling indah itu dari pertapaan ayahandanya di Panawijen.

Biarlah aku mengakhiri perjalanan keiblisan itu di sini, di istana, bukan di hutan Karautan dengan merampas dan menggeleparkan hak-hak mereka yang terancam ketakutan. Biarlah aku ucapkan mukti atau mati kepada aura perempuan yang telah total menaklukkan semua jejak petualanganku itu, biarlah aku tantang mukti atau mati lelaki penguasa yang telah menerbitkan kecemburuan tak berbatas itu. Persoalan dan tindakanku nanti biarlah dicatat sebagai pemberontakan seorang abdi kepada penguasanya, tanpa mereka pernah tahu betapa pergolakan hati menguasai semuanya ketimbang urusan kecil kekuasaan.

Betapa rendah kemuliaan kekuasaan itu bagi hatiku yang telah memilih Ken Dedes sebagai tujuan, bukan sebagai pancadan yang dilimpahkan dewata lewat seorang perempuan yang dikaruniai cahaya pada betisnya. Aura yang menjadi pertanda wanita utama, yang dari gua garbanya telah diramal bakal tertitipkan putra perkasa yang diberkahi dewata untuk duduk di singgasana tanah Jawa.

Wahai Dewata yang Agung.

Dewata pun akan ikut merasakan bersama getar seisi alam, betapa terbanting hati ini setiap kali mencuri pandang kepada Tuan Putri, yang dalam naluri pengembaraan liarku telah membalas dengan menyelipkan sepandang dua pandang perhatian, apakah hanya sebagai hamba keraton yang direndahkan ataukah pengakuan diam-diam sebagai lelaki yang cukup memiliki kepantasan untuk berangan-angan.

"Kamu gila, Arok," suara itu sering mengusik, tapi kekuatan hati lebih menyeretku ke dalam dahsyatnya pusaran perasaan. Inikah yang disebut cinta? Inikah perasaan yang sekilas-selintas sering aku cerap dalam pengembaraan dari satu kejahatan ke kejahatan yang lain, dari satu kekacauan ke lain kekacauan, dari satu keonaran ke lain keonaran?

"Angan-anganmu terlalu melenceng, Arok," suara itu sering mengusik, tapi kekuatan hati lebih menyeretku ke dalam dahsyatnya pusaran tekad. Inikah yang dinamakan cinta? Inikah perasaan yang sekilas-selintas muncul seperti biasanya ketika aku menemukan keelokan perempuan, daya asmara yang mencengkeram sesaat lalu butuh penglepasan, memuncaki segala cipta-rasa-karsa dan sesudah itu kembali hilang dalam kewajaran?

Akan aku buktikan tidak sedang gila. Aku akan membuktikan tidak sekadar berangan-angan, karena selalu ada jalan untuk merunutkan akal menjadi kenyataan. Selalu ada cahaya untuk menerangi kegelapan. Akalku adalah mendapatkan Ken Dedes dengan caraku, menyingkirkan penghalang dengan caraku, menemukan cinta dengan caraku, mengabadikan rasa dengan caraku. Cahayaku adalah akal untuk meraih angan-angan...

Wahai perempuan dengan cahaya yang memancar dari betis indahnya.

Wahai pesona yang menjaga keutuhan nilai keperempuanan Ken Dedes.

Tak akan kubiarkan Tunggul Ametung mendapatkan semua itu dalam perjalanan kehidupannya, sebagai pelengkap kelelakiannya, kekuasaan, dan cita-citanya...

Wahai Dewata Agung.

Betapa jiwaku menggeletar setiap kali menemukan Tuan Putri yang dalam liarnya pengembaraanku seperti menjawab dengan mempertautkan pandang, dan aku dikembalikan ke masa-masa pergolakan ketika Pendeta Lohgawe berkata-kata penuh sasmita seolah-olah kepada dirinya sendiri, "Lelaki kekasih Dewa Brahma, yang dari ubun-ubunnya memancar sinar samar tetapi menghanyutkan..."

Itukah makna yang kutemukan lewat pandangan-pandangan sekilas Tuan Putri, wahai Bapa Pendeta? Titisan Dewa Brahma dipertemukan dengan perempuan pilihan Dewi Uma?

Akukah lelaki penjelmaan Dewa Brahma itu?

"Kamu tidak tahu diri, Ken Arok," suara itu kembali mencegatku, tetapi adakah cinta harus dibatasi dengan pagar tahu diri? Adakah cinta hanya boleh diungkapkan oleh mereka yang tersekat dalam keberimbangan kasta?

Tekadku menggumpal, niatku telah menebal.

Wahai Dewata Agung

Wahai Bapa Lohgawe

Wahai Ken Dedes

Wahai Tunggul Ametung.

Sambutlah langkahku, tunggu kridaku.

Janganlah sejarah kelak menyalahpahami semua yang kudapatkan. Biarlah para pujangga menuliskan di atas daun-daun lontar untuk generasi mendatang: tentang seorang lelaki bekas penjahat yang betahun-tahun menerbitkan ketakutan dan menjadi buron kerajaan, lalu mengabdi keraton, lalu dengan caranya sendiri mendapatkan Tuan Putri Ken Dedes.

Hanya itu. Aku tak pernah bicara soal tahta Tumapel, tentang cita-cita meraih kemuliaan kekuasaan, tentang gegayuhan sebagai penguasa tak terkira di jagat Jawa.

Aku, Ken Arok, hanya memperjuangkan hak hati atas cinta. Dan, cinta itu menemukan muara kepada seorang perempuan dengan betis bercahaya, dengan kecantikan yang tiada tara.

Aku, Ken Arok, tak peduli apakah dewata menitahkan perempuan dengan pesona luar biasa dan penuh daya asmara itu harus berpasa
ngan dengan titisan Brahma, apakah dia mewujud dalam raga Tunggul Ametung, apakah dia menyemayam ke dalam jiwa Ken Arok.

Hanya itu. Janganlah kelak sejarah mencatat secara berlebihan dan menyimpang tentang kekuatan daya asmaraku.

Aku, Ken Arok, siap memulai semuanya...