Jumat, 21 Oktober 2011

> Lebih Baik menyembah pohon dari pada mengidolakan Tuhan

Dahulu orang tidak mengerti bagaimana caranya untuk menyembah Tuhan, tapi mereka tahu Bahwa Tuhan itu ada tapi tak tahu ada dimana, karena Tuhan tiada bentuk dan rupa. Lalu mereka mencari-cari, dengan hati yang masih lugu. Mereka beranggapan kemungkinan Tuhan berada dibalik pohon-pohon besar atau gunung yang paling tinggi dan diatas langit. Maka Menyembahlah mereka dengan segala ketulusan kepada pohon besar itu yang dalam hati mereka anggap itu adalah perwujudan Tuhan. Atau pula yang memenggadah keatas langit untuk menyembah dan memberi penghormatan kepada Tuhan.
Tapi mereka sungguh melakukannya penuh hikmat, dengan memakai pakaian yang terbaik dan sepenuh hati dan jiwa. Namun kita yang kepintaran menganggap mereka menyembah berhala. Tetapi tanpa sadar kita yang hidup dijaman sekarang justru lebih menyembah berhala yang bernama uang!

Kita yang menganggap diri beragama dan percaya Tuhan, menganggap orang lain menyembah berhala, seberapakah ketulusan yang kita lakukan dalam menyembah Tuhan? Tak jarang disaat ke tempat ibadah masih bisa memakai baju seadanya, tapi kalau menghadap boss pakaiannya sungguh kerennya.
Saat beribadah, dering handphone saut menyahut, tak jarang dengan suara berbisik masih sempatkan bicara soal bisnis. Saat mengikuti ibadah, otak kita masih bisa berkeliaran kemana-mana. Masih sempat menggosip dan dipenuhi pikiran kotor. Tak ada malu sedikit pun juga. Selesai berpuja bakti sudah timbul kebencian lagi. Itulah yang terjadi pada diri sendiri. Tapi tak perlu malu untuk mengakuinya saat ini. Simbol-simbol agama memenuhi tubuh kita. Kalau Tuhan ada fotonya, pasti setiap kamar kita ada mengantungnya .

Sekarang ini kita hanya sekedar mengidolakan Tuhan, bukan dengan sungguh-sungguh percaya dan menyembahnya lagi. Ini terbukti dari perbuatan kita yang sering memalukan Tuhan. Nama Tuhan dan ajaran-ajaran Nabinya hanya jadi pajangan dan bacaan tanpa tahu maknanya. Hanya jadi pembicaraan tanpa ada dalam pelaksanaan. Kalaupun dilaksanakan, dengan cara yang salah dan ditutupi dengan pembenaran. Buktinya adalah, Tuhan harus terpaksa terus menurunkan bencana-bencana untuk mengingatkan kesalahan-kesalahan kita.
Dan itu terjadi lagi dan lagi, kenapa belum sadar juga? Yang ada kita masih sibuk untuk saling menyalahkan.

Tuhan, maafkan saya, karena saya termasuk salah satu pelakunya. Masih adakah kesempatan untuk merubahnya?