Senin, 01 Juli 2013

Kajian Karyongoro Dalam Paradigma Ajaran Tassawuf

Persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini
adalah krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dominasi rasionalisme, empirisisme, dan positivisme ternyata membawa manusia
kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas jaman dan
karena itu spiritualisme menjadi suatu anatema bagi kehidupan modern. Seyyed
Hosein Nasr menyayangkan lahirnya keadaan ini sebagai the plight of modern
men, nestapa orang-orang modern (Nasr, 1987). Keadaan ini merupakan
kelanjutan dari apa yang telah berkembang di Eropah pada akhir abad
pertengahan sebagai reaksi terhadap jaman sebelumnya di mana doktrin agama
(Nasrani) yang dirumuskan oleh gereja mendominasi semua aspek kehidupan,
sehingga mengakibatkan bangsa Barat tetap berada pada jaman kegelapan.
Lahirnya jaman modern di Eropah serta merta masuk ke dunia Islam, dan begitu
kuatnya pengaruh itu sehingga krisis yang sama juga hampir dialami oleh
beberapa bagian dunia Islam (Cox: 181-190) yang memilih strategi pembangunan
sekular dan karena itu menjauhkan semangat agama dari proses modernisasi.

Sekalipun krisis spiritualitas menjadi ciri peradaban modern, dan modernitas
itu telah memasuki dunia Islam, masyarakat Islam tetap menyimpan potensi
untuk menghindari krisis itu. Sebabnya ialah sebagian besar dunia Islam
belum berada pada tahap perkembangan kemajuan negara-negara Barat. Keadaan
ini sangat menguntungkan karena memiliki kesempatan untuk belajar dari
pengalaman mereka dan membangun strategi pembangunan yang mampu mengambil
aspek-aspek positif dari peradaban Barat dan sekaligus menghilangkan
aspek-aspek negatifnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertahankan
dasar-dasar spiritualisme Islam agar tetap terjaga kehidupan yang seimbang
(ummatan wasathan).

Dalam sejarah Islam terdapat khazanah spiritualisme yang sangat berharga,
yakni sufisme. Ia berkembang mengikuti dialektika jaman sejak Nabi Muhammad
saw sampai sekarang baik dalam bentuk yang sederhana dan ortodoks, maupun
yang elaborate dan heterodoks. Perkembangan sufisme mencerminkan ragamnya
pemahaman terhadap konsep akhlaq dalam kehidupan sosial dan ihsan dalam
kehidupan spiritual.

Jika dilihat dalam konteks sejarah, ragamnya pemahaman itu muncul dalam
beberapa fase perkembangan. Pada awal Islam, terutama periode Makkah, begitu
jelas al-Qur'an menekankan pentingnya spirirualisme itu. Tetapi hal ini
paralel dengan orientasi kesadaran profetik, di mana pengalaman spiritual
tidak hanya ditujukan bagi spiritualisme itu sendiri, tetapi bermakna bagi
pembangunan etika yang menggerakkan sejarah kehidupan umat Islam. Dalam
tahap selanjutnya, spiritualitas itu muncul dalam bentuk kehidupan zuhd
ketika umat Islam menikmati kemewahan dengan terciptanya imperium yang luas.

Kehidupan zuhd menjadi reaksi terhadap kehidupan yang sekular dan sikap
penguasa dinasti Umayyah di istana mereka, yang kebanyakan bersikap kontras
terhadap kesalehan dan kesederhanaan Khalifah yang Empat. Selama dua abad
sejak kelahiran Islam, tasawuf merupakan fenomena individual yang spontan.
Ia menjadi ciri dari mereka yang dikenal dengan sebutan zuhhad (orang-orang
zuhud), nussak (ahli ibadah), qurra' (pembaca al-Qur'an), qushshash (tukang
kisah) dan bukka' (penangis). Mereka menjauhkan diri dari hingar bingar
kemewahan duniawi dan ketegangan politik di masanya. Setelah itu, ketika
cara hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu, istilah sufi secara
pelan-pelan mengantikan nama zuhhad, nussak dan lain-lain. Muncullah
beberapa nama besar sufi, seperti Ibrahim ibn Adham (w. 174/790), Rabi'ah
al-'Adawiyyah (w. 185/801), dan lain-lain. (Rahman: 132). Kemudian, muncul
organisasi sufi yang ditunjukkan kepada pertemuan yang informal dan longgar
untuk diskusi agama, dan latihan spiritual, yang disebut halqah. Pada masa
ini mucul para sufi, seperti Sahl al-Tustari (w. 283/896) dan al-Junayd
al-Baghdadi (w. 297./910). Pembacaan dzikir bisa dilaksanakan di mana saja,
termasuk masjid. Keadaan ini berlangsung sampai dengan abad ke-5/ke-11.

Sejak abad ke-6/ke-12, praktek yang simpel ini berkembang menjadi konsep
spiritual yang elaborate dan terorganisasi dalam bentuk tarekat (thariqah).
Organisasi ini memiliki hirarki kepemimpinan, inisiasi atau baiat, formula
dzikir dan silsilah yang diyakini sampai kepada shahabat Nabi. Jadi, tasawuf
yang semula menjadi amalan individual atau pemikiran spekulatif sekarang
menjadi terstruktur dan kemudian berkembang secara massal. Pasca abad
ke-6/ke-12 dunia Islam didominasi oleh tarekat yang memainkan peran besar
dalam kehidupan sosial dan politik (Hodgson: 204).

Dunia Islam pasca abad ke-6/ke-12 ditandai dengan lahirnya tarekat-tarekat
yang kemudian menjadi jaringan internasional yang pengikutnya bebas
lalu-lalang melintasi batas-batas kekuasaan dinasti. Pada akhir abad itu
muncul tarekat Qadiriyyah yang dinisbahkan kepada Abd al-Qadir al-Jilani (w.
561/1166). Ia menjadi salah satu tarekat yang paling kuat dan dikenal dengan
kesalehan dan humanitarianismenya. Berdiri di Baghdad, ia berkembang ke
barat di Afrika Utara dan kemudian Afrika Hitam, ke timur sejauh Indochina
dan ke utara di Turki. Sedikit lebih kecil dari tarekat itu adalah
Suhrawardiyyah, yang berkembang dari ajaran tasawuf 'Umar al-Suhrawardi,
yang meninggal dekat Zanjan, Persia, pada tahun 632/1236. Tarekat ini
ditemukan di Afghanistan dan anak benua India.

Sekitar akhir abad ke-8/ke-14 tarekat ini memberikan inspirasi terhadap
lahirnya tarekat Khalwathiyyah, yang didirikan di Persia oleh 'Umar
al-Khalwathi (w. 800/1398). Ia berkembang di Turki dan selama abad
ke-12/ke-18 masuk ke Mesir dan Timur Tengah. Sejaman dengan 'Abd al-Qadir
al-Jilani, di kota Bashrah, Iraq, Ahmad al-Rifa'i (w. 578/1182), mendirikan
tarekat Rifa'iyyah. Ia berkembang ke Mesir, Turki dan beberapa bagian Asia
Tenggara. Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 656/1258) juga melahirkan tarekat
yang berpengaruh di Sudan Timur. Tarekat ini pada abad ke-9/ke-15
direformasi dalam bentuk tarekat Jazuliyyah di Marokko. Ajaran-ajaran
spiritual Ahmad al-Tijani (w. 1230/1815) di Fez juga membuahkan tarekat
Tijaniyyah yang berkembang di Aljazair, Marokko dan Afrika Barat.

Ahmad Yasawi (w. 562/1167) mendirikan Yasawiyyah di Turki. Tarekat ini
berpengaruh di Turkestan Barat, dan dari tarekat induk itu lahir tarekat
Bektasyiyyah, yang dikembangkan oleh Hajji Bektasy. Ia berkembang di
Anatolia. Tarekat lain yang berkembang dari Asia Tengah ke Turki dan wilayah
Islam timur adalah Naqsyabandiyyah yang didirkan pada abad ke-8/ke-14 di
Bukhara oleh Baha' al-Din Naqsyaband (w. 791/1389). Naqsyabandiyyah
berkembang di India, Cina dan Kepulauan Nusantara. Di India ia diperkenalkan
oleh Baqi Billah pada abd ke-10/ke-16 dan dikembangkan oleh salah seorang
muridnya Ahmad Sirhindi pada abd ke-11/ke-17 yang dikenal dengan tarekat
mujaddidiyyah karena pikiran-pikirannya yang reformatif terhadap tarekat
itu. Oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1878), yang tinggal dan wafat di
kota suci Makkah, ajaran Naqsyabandiyyah digabung dengan Qadiriyyah dan
dibawa oleh murid-muridnya ke Indonesia (van Bruinessen: 89-92).