Senin, 08 Juli 2013

SEJARAH RAMADHAN

Sejarah Ramadhan

Ramadan, bulan ke-9 kalender Islam, dan ibadah puasa selama 30 hari di pagi dan siang hari, memiliki akar dari budaya paganisme di India dan Timur Tengah. Kebiasaan puasa untuk menghormati bulan, yang dilakukan di berbagai ritual oleh bangsa Timur penyembah bulan. Ibn al-Nadim dan Shahrastani menyebut al-Jandrikinieh, sekte India yang mulai puasa saat bulan menghilang, dan mengakhiri puasa dengan perayaan besar saat bulan sabit muncul kembali. [1]

Sementara itu, praktik puasa untuk menyembah dewa bulan juga dilakukan dalam budaya timur tengah, dalam hal ini bangsa Sabean/Sabiin.  Bangsa ini merupakan bangsa pagan Timur Tengah, dikenal dalam dua kelompok, yakni Sabiin Mandaean, dan Sabiin Harranian. Kaum Mandaean hidup di Iraq di abad ke-2 SM. Sama seperti yang masih mereka lakukan sampai sekarang, mereka menyembah berbagai dewa. Dewa² mereka terbagi dalam empat kategori: “kehidupan pertama,” “kehidupan kedua,” “kehidupan ketiga” dan kehidupan keempat.” Dewa² kuno termasuk dalam kategori “kehidupan pertama.” Mereka memanggil dewa² yang lalu menciptakan dewa² “kehidupan kedua” dan seterusnya.

Kaum Harranian atau Sabiin dari kawasan Harran, menyembah Sin, dewa bulan, sebagai dewa utama, tapi mereka juga menyembah planet² dan berbagai dewa lainnya. Bangsa Sabiin berhubungan dengan Ahnaf/Hanif, kelompok orang² Arab yang diikuti Muhammad sebelum menjadi nabi. Ahnaf mencari pengetahuan dengan cara pergi ke Iraq utara, tempat tinggal masyarakat Mandaean. Mereka juga mengunjungi kota Harran di daerah al-Jazirah di Syria utara, dekat perbatasan antara Syria, Iraq, dan Asia Minor.

Di Mekah, kelompok Ahnaf/Hanif disebut sebagai kaum Sabiin karena kepercayaan yang mereka anut. Setelah Muhammad mengaku sebagai nabi, dia disebut sebagai orang Sabiin oleh masyarakat Mekah karena mereka melihat dia melakukan banyak ritual Sabiin, termasuk sholat lima waktu; melakukan gerakan² sembahyang yang sama dengan orang² Mandaean dan Harranian; dan juga berwudhu sebelum sembahyang. Di Qur’an, Muhammad menyebut orang² Sabiin sebagai “para ahli kitab,” sama seperti orang² Yahudi dan Kristen.

Ramadan adalah upacara pagan yang dilakukan oleh orang² Sabiin, baik Harrania maupun Mandaia. Dari tulisan Abu Zanad, penulis Arab dari Iraq yang hidup sekitar tahun 747 M, kita menyimpulkan setidaknya terdapat satu masyarakat Mandaean yang hidup di Iraq utara yang melakukan upacara Ramadan. [2]

Asal-usul Ramadan bermula dari Ritual Tahunan yang dilakukan di kota Harran.

Persamaan antara Ramadan Harran dan Ramadan Islam.

Meskipun puasa Ramadan sudah dilakukan sebelum jaman Islam oleh orang² pagan Jahiliyah, upcara ini awalnya diperkenalkan di Arabia oleh orang² Harranian. Kota Harran terletak di perbatasan antara Syria dan Iraq, sangat dekat ke Asia Minor, yang sekarang adalah Turki. Dewa utama mereka adalah dewa Bulan, dan sewaktu menyembah bulan, mereka berpuasa besar yang berlangsung selama 30 hari. Puasa ini dimulai di tanggal 8 Maret, dan biasanya selesai di tanggal 8 April. Sejarawan Arab, Ibn Hazm, menyatakan puasa ini sebagai puasa Ramadan. [3]

Ibn al-Nadim menulis dalam bukunya, al-Fahrisit, tentang berbagai sekte agama di Timur Tengah. Dia mengungkapkan, kaum Harrania berpuasa selama 30 hari untuk menyembah dewa Sin, yakni sang bulan. Al-Nadim menjelaskan tentang perayaan yang mereka selenggarakan dan korban² yang dipersembahkan pada sang bulan. [4] Sejarawan lain, Ibn Abi Zinah, juga menjelaskan tentang kaum Harranian, dan mengatakan bahwa mereka puasa selama 30 hari, mereka menghadap Yemen saat sholat lima kali sehari. [5] Kita juga tahu bahwa umat Muslim sholat lima kali sehari. Kaum Harranian puasa sebelum matahari terbit sampai matahari terbenam, sama seperti yang dilakukan Muslim di bulan Ramadan. [6] Sejarawan lainnya, Ibn al-Juzi, menjelaskan kaum Harranian puasa di bulan ini. Dia berkata mereka mengakhiri puasa dengan memotong hewan kurban dan berzakat bagi kaum miskin. [7] Hal serupa juga dilakukan umat Muslim setelah selesai puasa.

Akar mithologi akan perayaan Harran bagi bulan dijelaskan dengan menghilangnya bulan setelah bergabung dengan kelompok bintang Pleiades, dalam kumpulan bintang Taurus yang muncul di minggu ketiga bulan Maret. Orang² tersebut sembahyang pada sang bulan, memohon agar bulan kembali muncul di kota Harran, tapi bulan menolak kembali. Hal inilah yang membuat mereka lalu berpuasa di bulan itu. Sang bulan tidak berjanji untuk kembali ke Harran, tapi berjanji untuk kembali ke Deyr Kadi, daerah keramat dekat salah satu pintu gerbang kota Harran. Maka setelah satu bulan, para penyembah dewa bulan Sin, pergi ke Deyr Kadi untuk merayakan kemunculan kembali sang bulan. [8] Menurut Ibn al-Nadim, kaum Harranian menyebut perayaan ini sebagai al-Fitri الفطر , yakni nama yang sama bagi perayaan umat Muslim setelah puasa Ramadan. [9] Selain puasa Ramadan, kaum Harranian juga bersholat lima kali sehari. Sebelum sholat, mereka melakukan wudhu. [10] Hal ini pula yang diserap Muhammad ke dalam Islam.

Kebiasaan puasa Ramadan menyebar dari kaum Harranian kepada masyarakat Arabia. Hal ini kemungkinan mulai terjadi setelah Nabonidus, raja Babylonia, menjajah Arabia utara di sekitar tahun 552 SM, sewaktu dia tinggal di kota Teima. Nabonidus berasal dari kota Harran. Dia adalah penyembah fanatik dewa bulan Sin, dan ibunya bahkan pendeta agama Sin. Nabonidus tak sepaham dengan para pendeta Babylonia yang menganggap dewa Marduk sebagai kepala para dewa Babylonia. Nabonidus bertekad menyebarkan kepercayaan bahwa Sin sang dewa bulan adalah kepala para dewa. Karena itulah dia menyuruh putranya mengurus Babylonia dan dia lalu hidup di Teima, Arabia Utara.

Di jaman pra-Islam, Ramadan menjadi ritual Arab pagan dan dipraktekkan oleh bangsa Arab pagan, dengan tatacara upacara dan sifat yang sama seperti Ramadan Islam.

Ramadan dikenal dan dipraktekkan oleh bangsa Arab pagan sebelum jaman Islam. Al-Masudi mengatakan bahwa nama Ramadan berasal dari panasnya udara di bulan tersebut. [11]

Di jaman pra-Islam, Jahiliyah, bangsa pagan Arab telah berpuasa dengan cara yang sama seperti Muslim berpuasa, seperti yang diperintahkan Muhammad. Cara Arab pagan puasa termasuk tidak menelan makanan, minuman, dan tidak melakukan hubungan sexual – sama seperti Islam. Mereka berpuasa dengan berdiam diri, tidak berbicara, baik dalam waktu sehari maupun seminggu, atau lebih lama lagi. [12] Qur’an menunjukkan puasa dengan cara yang sama di Sura 19, ketika Allah memerintahkan perawan Maria berkata dia berpuasa bagi tuhan, yang berarti dia tak bicara dengan siapapun. [13] Kebiasaan bangsa Arab yang bersikap diam saat puasa tampak jelas pengaruhnya dalam Qur’an. Tertulis bahwa Abu Bakr mendekati seorang wanita diantara umat pagan di Medina. Dia mendapatkan wanita itu sedang berpuasa, termasuk puasa bicara. [14] Puasa adalah hal yang serius bagi bangsa Arab, diperkuat dengan aturan resmi yang menetapkan hukuman bagi siapapun yang gagal puasa bicara. Ramadan dalam Islam merupakan kelanjutan dari puasa jenis ini.

Muhammad memasukkan berbagai ritual agama dari dua suku Medina yang mendukungnya menaklukkan bangsa Arab di bawah Islam. Salah satu ritual tersebut adalah Ramadan.

Tampaknya Ramadan dipraktekkan di berbagai kota di Arabia utara di mana Nabonidus, raja Harran dari Babylonia, berkuasa. Salah satu kota yang dikuasainya adalah Yathrib, yang kemudian berganti nama menjadi al-Medina. Muhammad memerintahkan puasa Ramadan, juga ritual sholat menghadap Mekah dan bukannya Yerusalem, setelah dia hijrah ke al-Medina, di mana suku² Arab disitu juga terbiasa sholat menghadap Mekah dan juga berpuasa Ramadan. [15] Muhammad menyesuaikan aturan Islamnya agar sesuai dengan ritual dan kebiasaan agama suku² Aws dan Khazraj, kedua suku Medina yang mendukung Muhammad mengobarkan perang melawan bangsa Arab. Salah satu upacara mereka adalah berkumpul untuk sembahyang di hari Jum’at. Muhammad menetapkan Jum’at sebagai hari Islam.

[1] Ibn Al Nadim, Al-Fahrisit, hal. 348
[2] Abdel Allah ibn Zakwan Abi al-Zanad. Lihat Ibn Qutaybah, op. cit.hal. 204; Dikutip oleh Sinasi Gunduz, The Knowledge of Life, Oxford University, 1994, hal. 25
[3] Ibn Hazm, I, hal. 34; dikutip oleh Sinasi Gunduz, hal. 167-168
[4] Ibn Al-Nadim, Al-Fahrisit, hal. 324-325
[5] Dikutip oleh Rushdi Ilia’n, Al Saebiun Harraniyen Wa Mandaeyn, Bagdad, 1976, hal. 33
[6] Dikutip dari sejarawan Arabia oleh M.A. Al Hamed, Saebat Harran Wa Ikhwan Al Safa, Damascus, 1998, hal. 57
[7] Ibn Al Juzi , Talbis Iblis , dipersiapkan oleh M. Ali, Kher, hal. 84; Kutipan oleh M.A. Al Hamed, Saebat Harran Wa Ikhwan Al Safa, Damascus, 1998, hal. 57
[8] Dodge, B., The Sabians of Harran, hal. 78
[9] Ibn Al Nadim, al-Fahrisit, hal. 319
[10] Ibn Al Nadim, al-Fahrisit, hal. 319
[11] Masudi, Muruj Al-Thaheb, 2, hal. 213
[12] Jawad Ali, al-Mufassal, vi, hal. 342
[13] al-Allusi, Ruh’ al-Maani 16; hal. 56 ; Tafsir al-Tabari, 16, hal. 56
[14] Qastallani Ahmad ibn Muhammed, Irshad al-Sari, 6: 175; Ibn Hagar, al-Isabah 4:315
[15] Al Masudi, Muruj Al-Thaheb, 2, hal. 295