”E…eh,” Syekh Siti Jenar menjaga keseimbangan.
“Dimas, mengapa berlaku demikian padanya?” tatap Pangeran Bayat.
“Maaf, Kakang. Dia terlalu angkuh dan selalu mencela kita. Arti nya melawan Pejabat Negara. Tidak sepantasnya bagi rakyat jelata melawan Pejabat.”
“Ternyata kisanak telah dilenakan dengan pakaian kebesaran, Pangeran.” sungging Syekh Siti Jenar. “Tidakah antara si miskin dan si kaya, pejabat atau pun rakyat semuanya sama di depan hukum?”
“Siapa bilang?” geram Pangeran Modang. “Andika selain penghianat Agama dan Negara juga berani mencela setiap ucapan saya. Tidak sadarkah derajat andika dan saya berbeda. Andika hanya rakyat jelata, saya pejabat Negara. Mestikah saya hormat terhadap andika?”
“Benar…benar kisanak telah dibutakan gemerlapnya pakaian kebesaran dan singgasana jabatan.” sungging Syekh Siti Jenar, ”Kisanak telah lupa tentang asal muasal sendiri, apalagi hakikat hidup. Lantas tidakah ingat bahwa Allah menilai manusia bukan karena parasnya yang cantik, bukan karena jabatannya, bukan karena miskinnya, tetapi orang yang paling mulia dihadapanNya hanyalah nilai ketakwaannya? Dunia, jabatan, kekuasaan, serta segala yang kisanak miliki tidak akan pernah menolong dan membantu ketika kita ber…”
“Diam!” bungkam Pageran Modang, “Tidak..semestinya andika menggurui saya.” mukanya merah padam, matanya menyala terbakar marah. Kepalan tangannya menghantam lambung.
“Akhhh…” jerit lirih Syek Siti Jenar, merunduk.
“Rupanya andika harus mendapat pelajaran!” ketusnya.
Bersambung…….