Ki Chantulo, Ki Donoboyo beradu tatap, lalu menunduk. Kembali melempar tatapannya ke muka Kebo Kenongo. “
Bukankah Ki Ageng sendiri bergelar Ki Ageng Pengging 2? Adipati Pengging yang berada dibawah kekuasaan Negeri Demak Bintoro. Tidaklah merasa gusar, takut kehilangan kekuasaan?”
“Mengapa andika bertanya demikian? Bukankah setelah saya bertemu dengan guru tidak tertarik lagi menjadi penguasa. Saya memilih berbaur dengan masyarakat, terutama para petani. Karena seperti saya uraikan tadi, kekuasaan itu terkadang menyeret-nyeret pada pertentangan batin. Saya lebih merasakan nikmatnya hidup ketika tidak terlalu kenyang, tidak merasa berkuasa….”
“Bukankah kekuasaan itu harapan banyak orang?”
“Ketika saya berkuasa terkadang tidak mengganggap sama dengan orang lain. Saya merasa terbebani ketika orang mengagung-agungkan, padahal perbuatan mereka itu mungkin saja tidak sejalan dengan batinnya. Mereka menghormati saya karena punya kekuasaan, meski tidak semuanya. Bayangkan ketika saya terlarut dalam pujian, artinya itulah kelengahan dan kelemahan. Bayangkan pula ketika saya sudah tidak lagi memiliki kekuasaan….”
“Belum tentu orang mengagung-agungkan? Namun tidaklah demikian, Ki. Bukankah guru kita meski pun tidak memiliki kekuasaan tetapi banyak orang yang menaruh hormat….bahkan wibawanya hampir melampaui Dewan Wali, sebagaimana halnya Ki Ageng, meski tidak lagi memegang kekuasaan orang yang mengenal tetap menaruh hormat.”
“Tadi sudah saya katakan, bukankah ada orang yang bisa terangkat dengan sendirinya dari bawah. Sebaliknya orang tetap berada di atas karena kerabat penguasa, yang lebih menyedihkan lagi, penguasa yang terjungkal dan dihinakan…” Kebo Kenongo menuruni bukit, “Bukankah manusia itu lebih menyukai kepura-puraan, ketimbang yang sesungguhnya?”
Bersambung…..