“O…” hela Syekh Siti Jenar, “…teramat mudah menghilangkan nyawa orang dengan jalan dipenggal. Mestikah hukum penggal dilak ukan demi menghilangkan nyawa orang?”
”Jangan salah arti, Syekh!” ujar Pangeran Modang, “Hukum penggal dilakukan bukan untuk menghilangkan nyawa orang! Ingatlah, pemenggalan dilakukan demi tegaknya hukum!”
“Bukankah pada akhirnya tetap untuk menghilangkan nyawa orang? Yang kisanak anggap sebagai musuh Negara?”
“…tidak…”
“Mengapa tidak? Bukankah setelah orang dipenggal dan lehernya putus akan mati? Itu sebuah pembunuhan, yang tidak memiliki rasa kemanusian sama sekali. Apa bedanya kisanak dengan menghargai binatang ternak yang disembelih?”
”Apa bedanya seorang penjahat seperti andika dengan hewan sembel ihan? Bukankah tidak lebih rendah perbuatan andika dari binatang sembelihan?”
“Kisanakah yang menentukan rendah dan terhormatnya derajat manusia?”
“Ini sudah menjadi ketentuan hukum…” Pangeran Modang mengerutkan keningnya, lalu lengan bajunya mengusap keringat yang mulai meleleh dari dahinya. “…hingga derjat andika dianggap setingkat dengan binatang sembelihan. Maka hukum penggal sugah semestinya…”
“Pangeran,” desis Sunan Geseng. ”Tidakah perkataan Pangeran terlalu berlebihan? Bukankah pengadilan nanti yang akan menentukan di depan sidang para wali dan Gusti Sinuhun?”
”Ah, tapi…” Pangeran Modang tampak pucat. “Bukankah sepantasnya, Kanjeng Sunan. Jika Syekh Siti Jenar diberi sedikit penjelasan…maksud saya supaya tersadar akan kesalahan dan dosa-dosanya. Sebelum hukum dijatuhkan dia mau bertobat…”
“Hahahaha….” Syekh Siti Jenar terkekeh, “….Pangeran perkataan kisanak berlebihan…”
“Diam, Syekh!” Pangeran Modang merah padam, lalu memukul pundak Syekh Siti Jenar hingga terhuyung.
Bersambung……