Jumat, 30 September 2011

> Jilbab Pakaian yang Merusak Agama Islam

Benarkah jilbab sesuatu yang Islami?

Masih teringat bagi saya sekitar 15 tahun yang lalu, bagaimana reputasi jilbab masih anggun bagi umat Islam, sehingga lazim terjadi untuk menebak baik tidaknya seorang wanita bisa langsung ditakar dengan jilbab. Wanita berjilbab cendrung dapat dipercayai. Begitu seorang laki-laki muslim mencari jodoh, rata-rata orang tua menasehati agar mereka mencari wanita yang berjilbab. Saya pun sebelum menikah juga sempat dinasehati nenek saya demikian. Singkatnya jilbab adalah sebuah lambang kebaikan bahkan keimanan seoarang wanita Islam.

Meskipun demikan, kenapa begitu susahnya untuk menganjurkan semua wanita Islam untuk memakai jilbab, apalagi dikalangan remaja? Begitu mahalnya kesadaran memakai jilbab ini, maka jika terlihat seorang wanita yang baru memakai jilbab, maka itu adalah sebuah pemandangan yang menajubkan, sehingga muncul banyak pertanyaan: Kenapa ia telah memakai jilbab? Ada apa gerangan?

Saat itu, memang tidak mudah bagi seorang perempuan memutuskan untuk memakai jilbab, karena konsekuensinya cukup banyak dan saling terkait, lebih dari sekedar menukar pakaian biasa. Karena tidak mudahnya, maka sebelum memakai jilbab seorang perempuan akan berpikir berulang kali dalam waktu yang cukup lama sampai akhirnya memutuskan akan memakai jilbab. Karena waktu itu jilbab dianggap umat Islam sebagai simbol kesadaran, simbol rahmat dan hidayah Tuhan, karena memang tidak semua wanita tergerak hatinya untuk memakai jilbab.

Sebelum seorang wanita beralih memakai jilbab maka ia tetap dinilai sebagai seorang muslimah yang belum sadar. Tetapi sebaliknya bila ia sudah memakai jilbab maka spontan alam bawah sadar umat Islam meyakini bahwa ia telah menjadi muslimah yang sadar dan baik, meskipun satu dua diantara mereka juga ada yang menggunakan jilbab sebagai kedok. Tetapi rata-rata wanita yang memakai jilbab saat itu biasanya memang berprilaku sebagai wanita yang feminim sebagaimana gambaran wanita ideal dalam pandangan Islam konvensional. Singkatnya, jilbab waktu itu diyakini bukan sekedar pakaian biasa, melainkan sebuah pakaian yang menyandang sakralitas keagamaan.

Dan kini, tampakanya jilbab sedang mencapai kejayaannya. Jilbab sedang mengalami revolusi besar-besaran, baik dari segi jumlah maupun statusnya. Dimana-mana hari ini ditemui umumnya wanita Islam sudah memakai jilbab. Di kalangan remaja wanita yang dulunya enggan memakai jilbab, karena dulu dianggap kolot dan kampungan, kini trendnya justru sudah terbalik. Justru tidak memakai jilbab dianggap tidak gaul.

Beberapa sekolah, mulai tingkat SD sampai SLTA telah menganjurkan bahkan ada yang mewajibkan murid-murid wanitanya memakai jilbab. Boleh diakatakan apa yang diinginkan orang-orang dahulu sudah tercapai, yaitu bagaiamana suatu saat nanti semua wanita muslim hendaknya memakai jilbab.

Tatapi pertanyannya kemudian adalah benarkah harapan itu sudah terpenuhi sesuai harapan mereka? Sesuai visi atau nilai-nilai moral yang terkandung dibalik jilbab tersebut? Adakah korelasi jilbab dengan agama atau keimanan? Atau hanya sekedar trend busana masa kini?

Tidak mudah untuk menjawab semua pertanyaan ini.
Tapi kalau ditanyakan pada saya, buka jilbab anda.
Saya suka transparant. (Sssstttt …. Ini khusus untuk orang dewasa).
Hati-hati memahami tulisan ini, jangan sampai terpeleset!

Rabu, 28 September 2011

> Agama Saya adalah Agama Bebas

"Agama, bagi saya adalah kesadaran bathin.

Kesadaran spiritual pada dunia dalam.

Dunia yang tidak membutuhkan angka dan puja puji.

Dunia sunyi dalam diri yang tercerahkan.

Yang tak terusik oleh lumpur dan peluru ancaman apapun.

Karena sejatinya, agama, jika ingin dianggap kredibel

Harus tumbuh diatas kebebasan spiritual,

Bukan dengan peluru gombalisme dan ancaman."

(Sabda: Karyonagoro)

> Hadiri..

Hadiri Sarasehan Nasional dan Kearifan Lokal,
Tajuk "Gugah Guyah Gugur Gugat Syekh Siti Jenar" di Balai Pertemuan TMII, tgl 7 januari 2012 jam 19.00 WIB, pembicara Prof Dr Simuh, Prof Dr Munir Mulkan, Kandjeng Pangeran Karyonagoro. [Contack Wedy[Trans TV] +6281808182182]

Senin, 26 September 2011

> Saya Memilih Diskusi Dengan Setan dari pada Teroris

Dua jam yang lalu saya telah meliput hasil wawancara Diskusi Soal Teroris Dengan Setan. Maka kali ini saya justru akan meliput hasil wawancara dengan seorang hamba Tuhan tentang kenapa mereka lebih suka diskusi dengan setan. Berikut petikannya:

Saya:
Selamat sore mas. Senang sekali anda bisa hadir di sini. Kita langsung saja pada pokok persoalan. Akhir-akhir ini kan lagi marak disksusi soal teroris. Baik di masjidil taklim, kampus, dan di berbagai media berita dan penyiaran. Nah, tapi kenapa justru anda diskusi soal teroris lebih tertarik dengan setan?



Hamba Tuhan:

Ya karena saya sudah bosan dengan cara pandang biasa yang sudut pandangnya itu-itu saja.

Saya:
Maksud anda?



Hamba Tuhan:

Isinya sudah sering saya dengar sejak saya belajar mengaji sewaktu di TK, sampai saat saya hampir mati seperti sekarang ini.

Saya:
Bukankah agama itu tidak pernah berubah sepanjang masa?



Hamba Tuhan:

Hakikatnya iya. Tapi cara memandang dan menghayatinya kan bisa berkembang sesuai perkembangan zaman.

Saya:
Maksudnya?



Hamba Tuhan:

Sebagai contoh saja. Dulu Nabi Muhammad kemana-kemana kan menggunakan onta. Terus memakan korma. Nah, apa anda harus meniru semua itu secara harfiah?

Saya:
Tidak. Terus apa hubungannya dengan teroris?



Hamba Tuhan:

Ya sama. Dulu Nabi terpaksa berperang melawan kaum kafir Quraisy karena umat Islam terancam. Karena mereka diganggu. Nah, kalau sekarang tidak ada yang mengganggu anda dalam beribadah kenapa anda masih berperang? Yang anda sebut dengan jihad itu?

Saya:
Ya tapi kemaskiatan kan semakin meraja lela sekarang mas?



Hamba Tuhan:

Penyelesaiannya kan tidak harus dengan perang fisik. Itu kan perang hukum rimba. Perangnya masyarakat primitif. Padahal kita mengaku sudah modern. Bahkan sudah postmodern. Itu kan sama dengan membunuh seekor tikus dengan cara membakar rumah.

Saya:
Okey saya sudah paham maksud anda. Tapia apa hubungannya dengan ketertarikan anda diskusi dengan setan?



Hamba Tuhan:

Ya karena pandangan yang sangat harfiah seperti itu. Pandangan yang selalu membabi buta. Sedikit-sedikit bilang iman. Cinta Islam. Membela Islam Sedikit-sedikit jihad. Sedikit-sedikit haram, kafir, jihad. Sebentar-sebentar Allahu Akbar. Tapi maknanya omong kosong. Nuansa perenungan spiritualnya gersang.

Saya:
Jadi?



Hamba Tuhan:

Saya sudah bosan dengan diskusi yang sok suci seperti itu. Bunyinya sangat harum tapi prakteknya busuk. Teorinya muluk tapi amalannya?

Saya:
Hm .. okey okey. Berarti di situ ya kata kuncinya. Tapi bukankah setan itu mahkluk Tuhan yang paling munafik?



Hamba Tuhan:

Untuk menggoda kita memang. Ia berlagak baik, berlagak suci dihadapan kita. Tapi itu ia sengaja untuk menggelincirkan kita. Tapi mereka mengaku dengan terang pada Tuhan bahwa ia membangkang. Dan dia minta izin dan waktu pada Tuhan untuk menggoda manusia sampai akhir zaman. Dan Tuhan mengabulkan permintaan mereka itu.

Saya:
(terdiam)



Hamba Tuhan:

Tapi apa yang terjhadi pada kita? Makanan haram berlabel halal. Niat busuk dengan retorika yang memukau. Ceramah ria berjubah iman.

Saya:
Lho? Anda ini terlalu ekstreem saya rasa. Apa anda bisa tahu isi hati orang?



Hamba Tuhan:

Ya dari setanlah saya tahu. Ia yang memberi tahu bahwa hati kita sudah ditipunya. Dari dialah saya belajar bahwa apa yang terbetik di hati kita yang paling dalam. Dia katakan rata-rata kita munafik. Jadi malaikat tidak dan jadi setan pun juga tidak. Maka tidak jelas lagi siapa yang benar-banar beriman dan siapa yang kafir. Siapa yang benar-benar baik dan siapa yang benar-benar jahat. Jadi sudah amburadul. Sudah blur. Sudah chaos. Makanya segalanya menjadi begini.

Saya:
Hmm ..begitu toh maksudnya. Jadi solusinya?



Hamba Tuhan:

Sudah saatnya kita belajar dari musuh ketimbang belajar dari teman yang diam-diam ternyata seorang pengkhianat. Seorang penjilat. Seorang musuh dalam selimut.

Saya:
Itu yang anda artikan lebih baik berteman dengan setan dari pada dengan manusia?



Hamba Tuhan:

Itu hanya kesimpulan anda. Ini metaforis. Bahasa kiasan. Anda bisa pahami tidak?

Saya:
Maaf saya takut salah mengambil kesimpulan. Makanya saya minta penegasan anda.



Hamba Tuhan:

Makanya anda gunakan nalar. Dan belajar berjiwa sportif seperti pengakuan setan pada Tuhan.

Saya:
Maksudnya?



Hamba Tuhan:

Benturkan kepala anda ke layar monitor

Minggu, 25 September 2011

> Ibadah Haji Bukan Ajaran Islam

Maaf jika anda sangat kaget membaca judul tulisan ini. Saya pun menulisnya juga dengan perasaan berdebar-debar. Takut akan anda marahi. Takut anda akan mengamuk kesetanan.

Tapi ceritanya begini.

Jauh sebelum Islam muncul, bangsa Arab sudah terbiasa berdatangan ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji setiap tahun. Dan waktunya juga pada bulan Dzulhijjah.

Ritual-ritual haji yang mereka lakukan saat itu sama dengan apa yang dilakukan umat Islam hingga hari ini. Mulai dari ihram, membawa hewan kurban, wukuf di Arafah, menuju Muzdalifah, bertolak ke Mina, tawaf, mencium Hajar Aswad sampai dengan Sa’i.

Nah, begitu Islam datang, kebiasaan ibadah Haji bangsa Arab ini langsung diwarisi oleh umat Islam. Persis dengan segala tata cara dan persitilahannya. Hanya saja ada sedikit revisi misalnya Islam tidak melakukan thawaf dengan telanjang. Walaupun alasan bangsa Arab melakukannya dengan telanjang bukan karena kebejatan moral mereka. Tapi dalam persepsi mereka, mereka malu untuk mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad dengan memakai baju yang mereka pakai pernah digunakan untuk berbuat dosa.

Jadi haji itu bukanlah ibadah umat Islam. Tapi adalah ibadah warisan dari bangsa Arab pra Islam, atau yang dikenal dengan sebutan masyarakat Arab Jahiliyah.

Nah, apakah anda terkejut?
Jika jawab anda iya berarti kita sama. Saya juga terkejut pertama kali membaca hasil kajian sejarah Islam ini oleh Kalil Abdul Karim, dalam bukunya yang berjudul Syariah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan (terjemahan Bahasa Indonesia). Dia adalah seorang Pemikir Islam Kontemporer asal Mesir.

Meskipun sempat terkaget-kaget, saya tidak sanggup untuk membantahnya. Karena saya belum hidup saat peristiwa itu terjadi. Dan saya pun juga belum pernah melakukan penelitian akan hal itu. Nah, sekarang tinggal giliran anda untuk menyikapinya. Silahkan. Tapi hati-hati, jangan sampai ngawur.

Jumat, 23 September 2011

> Aku Iki Urip

Panengeraning Dina Kiyamat . Bebukane amratelakake kang dadi Panengeraning dina Kiyamat, tegesing Kiyamat, jumeneng, kasebut ing gisor iki.

1. Panengeran Kang Dingin.

Kang dingin, yen wis asring uninga kang ora katonton, tanda kurang satuan, ing kono panggonane anyaketi tapa brata anyenyuda pakareman, anetepana panggalih : trima, rila,, temen, utama, mungguh utama iku dumunung ana ing sabar darana.

2. Panengeran Kang Kapindo

Kang kapindo, yen wis asring mireng kang kapiyarsa, kaya ta, mireng rerasaning jin setan, sato kewan, tanda kurang setengah taun, ing kono panggonaning kurmat sapanunggalane anglakoni panggaweyan becik, kinantenan angati-ati marang uripe dewe.

3. Panengeran Kang Kaping Telu.

Kang kaping telu, yen wis salin ing paningale, kaya ta, ing sasi Muharram, Shafar, andulu langit katon abang; Mulud, Rabiul Akhir, srengenge katon ireng; Jumadilawal, Jumadilakhir, rembulan katon ireng; Rejeb, Ruwah, banyu katon abang; Pasa Syawal, wewayangane dewe katon loro; Zulkaedah, Besar, geni katon ireng; kabeh iku tanda kurang rong sasi, ing kono panggonaning wasiyat karo riwayat, tegese amemeling karo wewarah, kinantenan taberi asesuci.

4. Panengeran Kang Kaping Pat.

Kang kaping pat, yen dariji panungguling asta dibekuk, kapetelake dalah epek-epeke, dariji manis kaangkat, yen wis kaangkat anjunjung dariji manise mau, tanda kurang patang puluh dina, ing kono panggonaning afiyat, tegese pangapura. Iya iku anenuwun pangapura marang Pangerane, saha banjur angapura marang kang pada kaluputan, utawa aminta pangapura marang kang pada rumasa kalarakake atine.

5. Panengeran Kang Kaping Lima.

Kang kaping lima, yen asta kawawas ing netra loro darijine wis katon kalong, ugel-ugele wis katon pedot, tanda kurang sasasi, ing kono panggonaning amatrapake pikukuhing ngelmu kasampurnan kaya kang kasebut ing ngisor iki :

a. Iman, tegese angandel, kang diandel kudrate, tegesing kudrat : kuwasa.

b. Tauhid, tegese muhung sawiji, tegese pasrah marang iradate, tegesing iradat : karsa.

c. Makrifat, tegese waskita, kang diwaskitani ngelmune iya iku anguningani dununging Dzat, sifat, asma, afngal, tegesing Dzat : kanta, sifat : rupa, asma : aran, afngal : pakreti.

d. Islam, tegese slamet, kang slamet iku chayate, tegesing khayat : urip, dumunung ana ing sifat jalal, jamal, kahar, kamal, tegesing jalal : agung, kang agung iku Dzate, dening anglimputi ing alam kabeh, tegesing jamal : elok, kang elok iku sifate, dening dudu lanang dudu wadon, dudu wandu, sarta ora arah ora enggon, tanpa warna tanpa rupa, tegesing kahar : wisesa, kang wisesa iku asmane, dening ora nama sapa-sapa, tesegesing kamal : sampurna, kang sampurna iku afngale, dening bisa gumelar pada sanalika pakretine, saka kawasa tanpa sangsaya.

Mungguh dununge mangkene, iman dumunung ana ing eneng, tauhid, dumunung ana ing ening, makrifat dumunung ana ing awas, islam dumunung ana ing eling.

6. Panengeran kang Kaping Nem.

Kang kaping nem, yen wis asring katonton warnane dewe, tanda kurang satengah sasi, ing kono panggonaning Pamuja, aneges karsane Kang Kawasa, patrape ing saben apangkat arep sare, Pamujane kasebut ing ngisor iki :

“Ana pujaningsun sawiji, Dzat iya Dzatingsun, sifate iya sifatingsun, asmane iya asmaningsun, afngale iya afngalingsun, Ingsun puja ing patemon tunggal sakahananingsun, samprna kalawan kudratingsun”.

Ing nalika iku ciniptaa kang pinuja tunggal, kaya ta Bapa, Biyung, Kaki, Nini, Garwa, Putra, Wayah, sapadane kang dadi pelenging cipta bisaan anunggal ing jaman kalanggengan.

7. Panengeran Kang Kaping Pitu.

Kang kaping pitu, yen wis rumasa larakasandang, tegese ora arep apa-apa, tanda kurang pendak dina, ing kono panggonaning tobat, patrape manawa lagi wungu sare, kasebut ing ngisor iki :

“Ingsun analangsa maring Dzatingsun dewe, regeting jisimingsun, gorohing atiningsun, serenge ing napsuningsun, laline ing uripingsun salawas-lawase, ing mangko Ingsun ruwat sampurna ing sadosaningsun kabeh kalawan kudratingsun”.

8. Panengeran Kang Kaping wolu.

Kang kaping wolu, yen wis karasa gerah uyang saranduning sarira ing jaba jero kabeh, terkadang asring andadekana wetuning sesuker tinja taun, kara tinja kalong, utawa cacing kalung karo cacing tembaga, ing wekasan pucuking parji karasa anyep, andadekake teranging nutfah, iku tanda wis parek ing dina Kiyamat, amung kurang ing saantara dina, ing kono waktuning Dajal laknat katon arep agawe arubiru, marang kahanan kita, iya iku pangonaning katekan rancana saka sadulur papat, kalima pancer dumunung ana ing badan kita dewe, panangkise anapekena rahsaning jati wisesa, tegese angenirake angen-angen, banjur karuwata kaya ing ngisor iki :

“Ingsun angruwat kadangingsun papat kalima pancer kang dumunung ana ing badaningsun dewe. Mar marti Kakang Kawah Adi Ari-ari Getih Puser, sakehing kadangingsun kang ora katon, lan kang ora karawatan, utawa kadangingsun kang metu saka marga hina lan ora metu saka ing marga hina, sarta kadangingsun kang metu bareng sadina kabeh pada sampurna nirmala waluya ing kahanan jati, dening kudratingsun”.

Nuli asaksiya kalayan Dzat kita dewe, kaya asahid marang wahananing sanak kita, iya iku kahananing dumadi kang gumelar ing alam dunya, wis kasebut ing ngarep ana wekasaning wewejangan.

9. Panengeran Kang Kaping Sanga Utawa kang Wekasan.

Kang kaping sanga, yen ketek ana ugel-uegeling asta wis ora ana, andadekake oncate pramananing kanaka, sarta pramananing tingal wis sepen, andadekake rupeking pandulu rengating alis, utawa garebeging talingan wis meneng, andadekake pengeng sanalika, ing wekasan garing-gingen kang sarira banjur kambu gandaning sawa, iku tanda wis muncad ing dina Kiyamat, jumeneng kalayan pribadine, ing kono panggonaning anucekake sakehing anasir, tegesing anasir : bangsa, iya iku bangsaning khak kang dumunung ana ing Dzat, sifat, asma, afngal, kaya ta : anasir badan asal saka ing bumi , geni, angin, banyu, iku kaciptaa suci mulya mulih marang asale, saampurnaa anunggal kalayan anasiring roh, kang sumende ana kahananing wujud, ngelmu, nur, suhud;

a. Tegese wujud : wahana, iya iku getih, amarga getih iku dadi kanyatahaning roh

b. Tegese ngelmu : paningal, iya iku paningaling netra balaka, amarga paningal iku dadi pamawasing roh

c. Tegese nur : cahya, iya iku cahya kang anglimputi ing sarira, amarga cahya iku dadi pratandaning roh

d. Tegese suhud : saksi, iya iku napas, amarga napas iku dadi saksining roh.

Dene enggone anucekake kasebut ing sajroning cipta mengkene :

“Ingsun anucekake sakalaliring anairingsun kang abangsa jasmani, suci mulya sampurna anunggal kalawan sakaliring anasiringsun kang abangsa rochani, nirmala waluya ing kahanan jati dening kudratingsun”.

Yen wis mangkono, nuli Nur Muhammad tumimbul, gumilang-gilang ana ing ana ing wadana, tanda bakal binuka kijabing Pangeran, meh katone sakehing cahya, ing kono panggonaning ngawinake badan karo nyawa, kasebut ing sajroning cipta mangkene :

“Allah kang kinawin, winalenan dening Rasul, pangulune Muhammad, saksine malaekat papat, iya iku Ingsun kang angawin badaningsun, winalenan dening Rahsaningsun, kaunggahake dening cahyaningsun, sinaksenan dening malaekatingsun papat, Jabrail, iya iku pangucapingsun, Mikali, pangambuningsun, Israfil, paningalingsun, Ijraril, pamiyarsaningsun, srikawine sampurna saka ing kudratingsun”.

Nuli anyiptaa sangkan paraning Tanazultarki, kasebut ing ngisor iki :

“Ingsun mancad saka alam Insan Kamil, tumeka maring alam Ajsam, nuli tumeka maring alam Misal, nuli tumeka maring alam Arwah, nuli tumeka maring alam Wachidiyat, nuli tumeka maring alam Wahdat, nuli tumeka maring alam Achadiyat, nuli tumeka maring alam Insan Kamil maneh, sampurna padang terawangan saka ing kudratingsun”.

Nuli anyiptaa ing pambirat asaling cahya sawiji-wiji kasampurnakake saka kudrat kita, supaya aja nganti kalimputan dening cahya kang andadekake durgamaning sangkan paran, mangkana pambirate ing sajroning cipta :

“Cahya ireng kadadeyaning napsu Luwamah sumurup maring cahya abang, cahya abang kadadeyaning napsu Amarah sumurup maring cahya kang kuning, cahya kuning kadadeyaning napsu Sufiyah sumurup maring cahya kang putih, cahya putih kadadeyaning napsu Mutmainah sumurup maring cahya kang amancawarna, cahya kang amancawarnakadadeyaning pramana sumurup maring Dzating cahyaningsun awening mancur mancarong gumilang tanpa wewanyangan, byar sampurna padang terawangan, ora ana katon apa-apa, kabeh-kabeh pada kalimputan dening Dzatingsun saka ing kudratingsun”.

Ing nalika iku upama ana karasa apa-apa ing badane, angusapa puser kaping telu (3), upama angrasa liwung kaya mendem, angusapa dada kaping telu (3), upama angrasa arip arep sare, angusapa batuk kaping telu (3), upama angrasa arep lali, angusapa embun-embun kaping telu (3), banjur tata-tata dandan kaya ing ngisor iki ptrape :

1. Wiwit asidakep suku tunggal anutupi babahan nawa sanga, dirijining asta pada antuk ing selaning dariji kaya angapu-rancang, jempol diadu pada jempol, banjur tumumpang ing dada, dibener sesipatane lawan tengahing dada, salonjoring sikil awit jempol sikil katemokake pada jempol sikil dipapak, polok ketemokake pada polok digatuk, dengkul katemokake pada dengkul dirapet, palanangan sapalandungane sinipat karo jempol sikil aja nganti katindihan.

2. Nuli amawas pucuking grana, disipat ing dada tumeka ing puser, ing palanangan, ing jempol sikil, banjur angeningake cipta.

3. Nuli angeremake netra kang alon, angingkemake lambe kang adamis, untu gatuka pada untu kang rata, ilat katekuk manduwur kapadalake ing cetak, banjur pasrah analangsa ing Dzate dewe.

4. Nuli amegeng napas ing sanalika banjur anyipta matrapake panjenenganing Dzat, wiwit angumpulake kawula gusti mangkene :

“Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, anglimputi ing kawulaningsun tunggal dadi sakahanan, sampurna saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegenging napas tinurunake metu ing grana kang alon aja nganti kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta maha sucekake ing Dzat kita kaya mangkene :

“Ingsun Dzat Kang Maha Suci Kang Asifat Langgeng, kang amurba amisesa kang kawasa, kang sampurna nirmala waluya ing jisimingsun kalawan kudratingsu”. Ing kono pamegengeng napas katurunake metu ing grana maneh, kang alon aja nganti kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta angrakit karatoning Dzat kita kang amaha mulya kaya mangkene :

“Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu Agung, kang amurba amisesa kang kawasa andadekake ing karatoningsun kang agung kang maha mulya, Ingsun wengku sampurna sakapraboningsun, jangkep saisen-isening karatoningsun, pepak sabalaningsun kabeh ora ana kang kekurangan, byar gumelar dadi saciptaningsun, ana sasedyaningsun, teka sakarsa-karsaningsun kabeh, saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta angracut ing jisim kita kaya mangkene :

“Jisimingsun kang kari ana ing alam dunya, yen wis ana jaman karamat kang amaha mulya, wulu kulit daging getih balung sungsum sapanunggalane kabeh, asale saka ing cahya muliha maring cahya, sampurna bali Ingsun maneh, saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta anarik marang para akrab sapanduwur sapangisor kang wis pada ngajal, kasampurnakake kaya mangkene :

“Jaganingsun sapanduwur sapangisor kabeh, kang pada mulih ing jaman karamating alame dewe-dewe pada suci mulya samprnaa kaya Ingsun saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta angukud gumelaring alam dunya kasampurnakake kabeh kaya mangkene :

“Ingsun andadekake alam dunya saisen-isene kabeh iki, yen wis tutug ing wewangene, Ingsun kukud mulih mulya samprna dadi sawiji kalawan kahananingsun maneh saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta ambabar marang tedak turune kang pada kari kaya mangkene :

“Tusasingsun kang maksih pada kari ana ing alam dunya kabeh, pada nemuwa suka bungah sugih singgih aja ana kang kekurangan, rahayu salameta sapanduwure sapangisore saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta amasang pangasihan marang para tumitah kabeh kaya mangkene :

“Sakehing titahingsun kabeh, kang pada andulu kang pada karungu pada asih welasa marang Ingsun saka ing kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Yen wis sareh, amegeng napas maneh ing sanalika banjur anyipta amasang kamayan marang para mahkluk kang pada angarubiru, utawa ora angendahake marang jisim kita kaya mangkene :

“Sakehing mahklukingsun kabeh, kang ora angendahake maringsun, pada kaprabawa ing kamayan dening kudratingsun”. Ing kono pamegeng napas tinurunake metu ing grana maneh, kang alon aja kasusu.

Dene enggone amatrapake panjenenganing Dzat kabeh mau yen karingkes dadi sawiji ana pratingkahe, wiwit pamegenging napas amung sapisan bae, ing sanalika amatrapake kaya mangkene :

“Sakaliring cahya kabeh pada kalimputan dening Dzatingsun, iya Ingsun Dzating Gusti Kang Asifat Esa, iya Ingsun Dzat Kang Maha Suci asifat Langgeng, iya Ingsun Dzat Kang Maha Luhur Kang Jumeneng Ratu agung, kang amurba amisesa kang kawasa angracud jisimingsun, anarik jaganingsun, angukud jagadingsun, amababar turasingsun, amasang pangasihan marang titahingsun, amasang kamayan marang mahklukingsun kabeh sampurna saka ing kudratingsun”. Banjur kaciptaa ing sasurasane, sarta pamegenging napas tinurunake metu ing grana kang alon aja nganti kasusu.

Mungguh cancude ing sajroning amegeng napas mau uger enget ing cipta bae, patrape kabeh iku iya wis kacakup, sabab yen sajroning jaman karamatullah ing tembe waktuning makam ijabah, tegese panggonan katarima, apa saciptane dadi, amarga sirnaning mudah kari wajah, mudah iku Dzating kawula, wajah iku Dzating Gusti Kang Asifat Langgeng.

Yen wis mankono, maras kita tumangkep ing ati, andadekake seseke ing napas, ing kono banjur anarika napas saka kiwa mubeng anengen, saka tengen mubeng ngiwa, kakumpulake dadi sawiji ana ing lintang johar akhir, iya iku puser, katarik manduwur bener kang sareh, leren tinata ana ing maligening Bait al Muharram, iya iku dada, banjur anyipta cancuding amatrapake panjenenganing, dienget aja nganti tumpang suh kumpuling napas, tanapas, anpas, nupus, napas iku tetalining jisim, dumunung ana ing ati suweda, tegese woting ati, wahanane dadi angin kang metu saka badan wae, tanapas, iku tetalining ati, dumunung ana ing puser, wahanane dadi angin kang manjing marang badan bae, anpas iku tetalining roh, dumunung ana ing jejantung, wahanane angin kang tetep ana ing jero bae, nupus iku tetalining rahsa, dumunung ana ing puat kang aputih, iya iku ana ing woding jejantung, wahanane dadi angin kang metu angiwa anengen saka badan, pakartine anglimputi sakaliring jasmani rochani.

Yen wus kumpul dadi sawiji, napas, tanapas, anpas, nupus, mau banjur katarik manduwur kang alon, leren tinata ana ing maligening Bait al Makmur iya iku ing sirah, ing kaciptaa licin dadi nukat gaib, tegese saliring jasmani kaciptaa luluh dadi banyu, nuli kaciptaa luyut dadi nyawa, nuli kaciptaa lenyep dadi rahsa, nuli kaciptaa layat dadi cahya gumilang tanpa wewayangan ing kahanan kita kang sajati.

Yen wis mangkono, erah kita parad banjur karasa walikaten salir anggaotaning sarira kabeh andadekake : netra bawur, talingan pengleh, grana mingkup, lidah mangkeret, ing wekasan cahya surem, swara sirna, ora bisa aingali, miyarsa, angganda, amirasa, amung kari cipta bae, amarga wis kinukud tataning sarengat, tarekat, hakekat, makrifat :

* Sarengat iku lakuning badan, dununge ing lesan

* Tarekat lakuning ati, dununge ing grana

* Hakekat lakuning nyawa, dununge ing talingan

* Makrifat lakuning rahsa, dununge ing netra, mula sejatining sarengat iku lesan, tarekat : grana, hakekat : talingan, makrifat netra, kaupamakake bawure kaca wirangi, utawa esating banyu zamzam, nuli pamiyarsaning talingan, kaupamakake rentahing godong sajaratilmuntaha, utawa kangsrahing hajar al aswad, nuli panggandaning grana, kaupamakake guguring wukir ikrap, utawa rubuhing ardi tursina, nuli pamirasaning lesan, kaupamakake bubrahing wot siratalmustakim, utawa rusaking ka’batullah, ing kono banjur karasa nikmat saliring anggaotaning sarira kabeh, angluwihi nikmating sanggama ing nalika metokake rahsa, amarga awit binuka kijabing Pangeran, waktuning sirnaning warana banjur katoning jaman karamatullah, tegese jaman kamulyaning Allah, pangrasane ing dalem adam kukumi tekane sakehing cahya kang pada anglimputi ing Dzating karaton, ing nalika iku amung amustiya pepuntoning tekad kang santosa, kaya ngibarating aksara Alif kang ajabar jer apes, unine : A, I, U, tegese : Aku Iki Urip, banjuranyipta brangta ing Dzat, supaya aja kengetan marang kang keri kabeh.

- Kandjeng Pangeran Karyonagoro

Kamis, 22 September 2011

> Ibrahim itu Seorang Atheis

Apakah anda mengira Nabi Ibrahim itu seorang yang beriman secara tiba-tiba? Turun ploh dari langit begitu saja, lalu kemudian dia langsung mengakui, menyambah dan taat pada Tuhan? Anda keliru. Ibrahim itu seorang Atheis.

Ada banyak model paham Atheis lho bro, sebagaimana juga banyak aliran dalam Islam. Termasuk juga pada Kristen. Tapi saya tidak hafal. (Karena metode menghafal itu tidak bagus, bisa merusak ingatan. Makin rajin menghafal makin tumpul pemahaman)

Ada Atheisme filosofis. Yaitu tidak meyakini Tuhan berdasarkan proses penalaran atau dengan menggunakan metode filsafat, seperti yang terjadi pada Fuerbach, Nietzsche, Sartre, Betrand Russel dan lain-lain.

Kemudian ada Atheisme Psikologis, yaitu tidak meyakini adanya Tuhan melalui penghayatan ilmu jiwa atau psikologi. Tuhan diyakini hanya semacam proyeksi dari rasa sakit psikologis, sehingga manusia membutuhkan sosok yang adi kodrati sebagai tempat berlindung kegelisahan psikisnya. Persis seorang anak yang merintih meminta perlindungan pada ayahnya. Inilah yang dilakukan Sigmud Freud dan kritiknya pada agama Kristen tentang konsep Tuhan Bapa.

Dan ada Atheisme Naturalistik, yaitu Atheis yang berangkat dari fenomena alam. Berbagai objek dan gejala alam diteliti dan dicermati. Tapi ternyata tidak ditemukan dimensi Ketuhanan pada berbagai gejala alam selain hanya mekanisme hukum alam yang natural. Alami dan sudah berjalan sendirnya. Dan tidak ditemukan suatu “X “yang memicu segala proses terjadinya fenomena alam. Inilah yang terjadi pada para Ilmuwan alam, seperti pada Darwin.

Oya sebelum melangkah, perlu saya tegaskan bahwa penggunaan kata Ibrahim berbeda dengan Nabi Ibrahim. Kata Ibrahim mengacu pada zaman sebelum dia menerima wahyu dari Tuhan. Sedangakan kata Nabi Ibrahim berarti pada pasca Kenabiannya.


Baik, sekarang mari kita cermati beberapa ayat Alquran di bawah ini:



“Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar(hanif), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

(QS: surat al-An’am, ayat 76-79)


Nah, dari keeempat ayat tersebut, secara simbolis tampak proses perjalanan Ibrahim dalam mencari Tuhan. Dia berangkat dari mencermati gejala alam. Dia mencari satu sosok yang mengatasi keagungan alam atau jagat raya. Pertama dia melihat bintang yang jauh dan berkedip-kedip indah. Sehingga terbetik dalam pikirannya itulah Tuhan. Tapi begitu cahaya bintang itu hilang, dia mulai ragu. Kenapa Tuhan bisa hilang? Sementara objek-objek alam lainnya masih ada. Tidak mungkin. Tuhan tidak mungkin lebih kecil, tidak mungkin Tuhan kalah permanen dan bisa tenggelam diantara objek-objek alam.

Di lain waktu kemudian dia melihat bulan. Indah dan terlihat lebih besar dari bintang. Ibrahim terkesima. Dan keraguannya pada bintang bergeser dan terjawab pada sosok Bulan. “Inilah Tuhan. Jauh lebih besar dari bintang. Maka pantas dia jadi Tuhan.” Tapi bulan pun akhirnya juga tenggelam ke peraduannya. Maka Ibrahim kembali lagi menjadi ragu. Mana mungkin Tuhan tenggelam. Namanya juga Tuhan. Masak kalau sama obek-objek alam lainnya.

Akhirnya Ibrahim melihat Matahari. Lagi-lagi Ibrahim terkesima. Cahayanya lebih terang dan tajam. Menerangi langit dan bumi. “Tidak salah lagi ini pasti Tuhan. Ini yang terbesar dari bintang dan bulan. Lebih perkasa dan berpengaruh kehadirannya. Terbukti dari ukuran, ketajaman dan penyebaran cahayanya.” Tapi giliran matahari tenggelam di ufuk senja, lagi-lagi Ibrahim kecewa. “Tuhan tidak mungkin tenggelam. Ah….”

Nah, apa yang terjadi pada Ibrahim?

Lebih kurang sama dengan apa yang dialami para ilmuwan ketika meneliti gejala alam. Hanya saja Ibrahim tidak menggunakan mikroskop. Tidak menggunakan teropong bintang. Tidak berada dalam labor kimia dan fisika. Tapi hanya dengan menggunakan mata telanjang.

Tapi pada intinya prosesnya sama. Pintu masuk Ibrahim mencari Tuhan melalui fenomena alam. Dan setiap fase itu ditolaknya. Bermula dari yakin pada satu model keyakinan (Bintang) kemudian dia tolak. Dia bunuh keyakinannya pada Bintang. Kemudian bergeser dan berpindah meyakini Bulan. Tapi akhirnya juga dia tolak. Sampai kemudian berakhir pada Matahari. Maka lengkap sudah Ibrahim membunuh tuhan-tuhan palsu disetiap fase keyakinannya.

Ini mengintakan saya pada konsep pembunuhan tuhan-tuhan palsu pada Nietzsche. Mengingatkan saya pada konsep Dekonstruksi Derida. Dimana manusia pada awal pencariannya meruntuhkan segala model keyakinannya. Meruntuhkan konstruk-konstruk pikiran. Dan diujung segala dekonstruksisasi itu adalah nihil. Kosong. Tak ada lagi yang diyakini.

Lebih kurang itulah model Atheisme Naturalistik. Tidak ditemukan Tuhan pada gejala alam. Tidak ditemukan Tuhan dengan metode empirisme, seperti yang sangat kental pada Hume.

Sesaat ketika itu Ibrahim mengalami masa transisi dalam pencariannya.
Fase Atheisme Naturalistiknya.

Tapi Ibrahim tidak berhenti. Dia meloncat secara metafisis dan meyakini pasti ada sesuatu dibalik segala yang ada. Pati ada sesuatu dibalik segala objek-objek alam. Dibalik segala gejala alam. Ibaratnya Ibrahim hijrah dari seorang empirisis menuju seorang spiritualis. Dari metode empiris ke metode spekulasi metafisis.

Ini mengingatkan saya pada Pascal, seorang ilmuwan dan pemikir Prancis Abad-17. Dia menyatakan bahwa ketika pengalaman demi pengalaman macet. Ketika penalaran demi penalaran macet. Ketika pertanyaan-pertanyaan terakhir macet dan terus menerus gagal, maka disaat itulah manusia harus meloncat ke iman. Dan loncatan itu bersifat irrasiaonal (sebagian menyebutnya supra rasional). Dan proses ini tidak lagi dengan mengunakan rasio akal pikiran. Tapi adalah dengan logika hati.

Lebih kurang itulah yang terjadi pada Ibrahim dalam pencariannya akan Tuhan.

Hmm …oke,
Cuma ada satu pertanyaan buat anda. Kenapa untuk menjelaskan Ibrahim saja anda harus mengutip sekian pengalamn dan pemikiran dari tokoh-tokoh di luar agama Islam?

Ya bagi saya itulah suatu bukti bahwa Roh Tuhan, spirit Universal itu tidak memihak. Tidak peduli siapapun manusianya. Mulai dari Sidarta (Buddha), Musa, Daud, Ibrahim, Yesus, Muhammad, Plato, Augustinus, Pascal, Nietzsche dan anda semua, adalah medan penubuhan jejak Tuhan yang tersebar di muka bumi. Sepanjang waktu dan sepanjang masa. Asal semua manusia mau membuka diri pada panggilan Sang Ada. Pada sapaan Tuhan. Melalui jalan apa saja. Dan setiap jalan adalah pintu, tarekat, cara, metode untuk mencari dan mengenal Tuhan. Meminjam istilah Filsafat Perennial, pada hakikatnya pada diri manusia itu sudah inklud semacam chip di hati dan pikirannya. Sebagai radar pemancar sinyal spiritual dari Tuhan. Dan hanya manusia-manusia yang mau membuka dirilah yang akan mendapatkannya.

Itulah sebabnya bagi saya saling cross referensi dari berbagai pengalaman spiritual para Nabi dan pemikir menjadi mungkin. Karena kenyataannya Tuhan tidak menumpuk hidayah dan petunjukNya hanya pada satu zaman, pada suatu masa apalagi hanya pada seorang Ibrahim atau Muhammad saja misalnya. Karena Tuhan itu bukanlah milik satu golongan. Apalagi milik satu orang. Tapi Tuhan adalah milik kita semua. Milik semua manusia.

Nah, lebih kurang begitulah penafsiran saya.
Bagaimana menurut anda

Rabu, 21 September 2011

> Setan Setan Pembela Al Quran

Saudara-saudara ….

Seperti biasa,saya kembali menyatakan sikap untuk kita semua terhadap isu seputar pembakaran Alquran. Dan hari ini penekanan saya lebih pada sosok pribadi para pembela Alquran,khususnya mereka yang terlibat diskusi panas di sini.

Kita juga mencintai Alquran. Firman Tuhan,tapi ….

Saudara bisa saksikan di setiap halaman yang mengulas soal isu ini. Lebih banyak setan pembela Alquran dari pada yang menegakkan ajaran Alquran itu sendiri.

Kenapa saya katakan setan pembela Alquran?

Saudara kan tahu,sosok sempurna yang mengamalkan ajaran Alquran adalah Nabi Muhammad. Sehingga ketika ada sahabat beliau yang bertanya pada Aisyah seperti apa akhlaknya. Aisyah menjawab ya seperti Alquran.

Apa artinya jawaban Aisyah?

Seakan identik kepribadian Nabi dengan semangat ajaran dari Alquran. Yaitu akhlaknya. Dan saudara harus camkan. Misi belia diutus Tuhan ke muka bumi ini adalah untuk merubah aklak manusia. Itu beliau nyatakan. Soal urusan dunia? Soal tehnologi? (pertanyaan untuk zaman sekarang). Beliau katakan:“Anda lebih tau urusan duniamu”.

Apa artinya?

Nabi bukan seorang ilmuwan. Bukan seorang pemikir. Bukan seorang tehnokrat. Bukan seorang ini dan itu. Tapi beliau uswatun hasanah. Contoh yang menjadi suri teladan.

Suri teladan soal apa?

Ya apalagi kalau bukan soal akhlak. Soal bagaimana agar kita benar-benar menjadi sosok manusia yang mulia. Dan itu beliau buktikan dalam sepanjang sejarah hidupnya. Dari beliau kecil sampai mati. Tidak terhitung jumlahnya kaum kafir menangis dan berlutut di bawah ajarannya karena tersentuh oleh pribadinya. Oleh akhlaknya. Dan di atas itulah ia berjuang menegakkan Islam. Membangun masyarakat Alqurani. Tapi ….

Apa yang terjadi di sini?

Sekian banyak pengunjung yang mengaku sebagai pembela Alquran di sini,akhlaknya lebih setan dari iblis! Tidak tergambar sama sekali akhlak Alquran dalam kata-katanya. Anda bisa baca sendiri di setiap komentar yang berjejer di bawah halaman tulisan yang selabel dengan halaman ini.

Bisakah Alquran dibela dengan marah? Dengan kesurupan? Dengan amukan. Dengan arogansi. Dengan kampaye. Dengan slogan?

Satu lagi saudara …
Umumnya yang menggugat Universitas ini,tidak mau menunjukkan diri. Mereka anonim!

Apa artinya prilaku mereka dengan anonim?

Mereka tidak mau bertanggung jawab. Mereka sosok yang suka berbisik di balik layar. Sehingga siapa yang dibisikkannya tidak bisa mengenal dirinya.

Jika yakin dengan kebenaran yang disampaikan,kenapa mereka harus sembunyi? Kenapa mereka harus takut? Tapi katanya mereka berjihad? Kenapa diskusi saja sudah sembunyi?

Tahukah saudara siapa yang paling terkenal dengan sikap seperti ini?
Siapa lagi kalu bukan setan. Sampai hari ini saya belum pernah melihat wajah setan. Tapi setiap saat ia selalu mengintip saya. Mengalir dalam darah saya,untuk selalu berbisik dan menggoda saya agar tergelincir dari kebenaran.

Nah saudara-saudara,
Begitula prilaku mereka terhadap blog ini. Mereka geram,mereka gatal,dan mereka ingin terlibat. Ingin menujukkan bahwa mereka cinta pada Alquran. Cinta pada Islam. Dan mereka ingin membela sejadi-jadinya. Dengan sebegitu kerasnya terhadap kita di sini. Karena menurut mereka kita di sini menghujat Alquran. Tapi mereka lupa,yang mereka lakukan dengan cara-cara anonim,bahasa yang menembak dan menghakimi keimanan orang lain,tanpa argumentasi kecuali hanya emosi,itu namanya apa?

Tapi mereka lupa saudara-saudara….
Mesin pencatat amal yang digunakan Tuhan bukanlah robot Alexa dan Google PR,yang bisa kita rekayasa. Tapi sama sekali tidak ada yang bisa menandingi keakuratannya. Sehebat dan secerdas apapun mahklukNya,tidak ada yang bisa menandingi apalagi menipunya,dan …lebih-lebih lagi pura-pura beriman dan sok suci.

Apa alat yang digunakan Tuhan untuk kita di bumi?

Rabalah hati saudara ..
Di situlah alarm Tuhan bekerja!

> Hakekat Islam Bagi Saya

Tentu saja tulisan ini pendapat saya. Bukan fatwa!

Islam, saya pahami sebagai keselamatan. Dan keselamatan itu impian setiap manusia, bahkan segala mahkluk di alam semesta. Sedang medium dari keselamatan itu adalah mekanisme hukum alam yang berlaku Universal. Tidak pandang bulu. Siapapun akan ditimpa hukum alam tanpa terkecuali. Contoh yang paling gamblang adalah MATI. Setiap orang akhirnya mati. Para Nabi dan orang-orang yang dianggap suci pun akhirnya juga mati. Bagi saya ini petanda bahwa hukum alam tidak memihak. Adil sesuai kondisinya masing-masing.

Begitu juga untuk keselamatan. Siapapun yang menyerempet bahaya, maka jelas akan diluluhlantakkan oleh bencana hukum alam. Dan siapa yang bisa beradaptasi, menyelaraskan diri dengan segala perangkat hukum alam, baik yang bersifat fisis maupun yang bersifat psikologis, akan selamat. Tidak bisa dibantah, hasilnya setimpal dengan usaha dan kondisi yang mensyaratkannya. Dengan kata lain, apa yang dialami dan diterima manusia adalah akumulasi total dari kehendak, usaha dan kondisi lingkungannya.

Itulah Islam bagi saya. Dan itulah yang disebut sebagai rahmatan lil alamin. Rahmat bagi semesta alam. Melampaui ruang dan waktu. Abadi sepanjang masa. Hanya orang tolol yang tidak akan mengaminkan mekanisme hukum alam. Paling tidak, jadul dengan cakrawala ilmu pengetahuan.

Karena itu, mengaminkan, mengatakan YA terhadap hidup, dengan segala dinamikanya, bahkan dengan segala carut marutnya, adalah sebuah sikap Islami dalam pengertian yang sesungguhnya. Bahwa manusia, tidak punya pilihan untuk menolak realitas yang tak pernah bisa dibantah. Dengan cahaya kesadaran itulah kesabaran otentik bisa tumbuh mendasar dalam diri manusia. Bahwa dia, tak bisa hidup diluar realitas. Bahwa manusia tidak bisa menggadaikan penerimaannya terhadap kenyataan dengan ilusi dan utopia yang dibangunnya secara imajiner.

Dengan kata lain, akhirnya manusia harus kembali pada dirinya. Menerima segenap kenyataan yang ada pada dirinya. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan segala tantangan dan evolusi kosmis yang mengitari hidupnya. Segala doa, segala jeritan dan tangisan, akhirnya harus mendarat pada sikap menerima kenyataan sambil tersenyum: “Memang inilah hidup!” Bukan mencari perlindungan pada dunia lain. Pada Nabi, Yesus, Buddha, Bapa, Tuhan dan segala sosok eksternal diluar kediriannya. Selagi manusia menjual dirinya demi sesuatu diluar dirinya, maka dia akan masuk jurang psikologis yang dalam, yang pada akhirnya akan dibungkam oleh sikap kultusisme, dogmatisme, tahyul, mitos dan indoktrinasi diri. Semua itu, tanpa disadari akhirnya akan menghabisi kedirian manusia. Dan itu, meski dihayati sebagai ketaatan, bagi saya, hanya sebuah tipuan. Tipuan yang dibangun secara bertahap sejak masa kanak-kanak. Baik secara pribadi maupun secara sosial dari masa ke masa.

Dan itu bagi saya bukan Islam, tapi tahyul dan klenik.
Kitab Suci, nabi, Yesus, Buddha, Bapa, Tuhan dan seterusnya menjadi antidot, menjadi placebo, obat penenang psikologis dari rasa kegamangan psikologis yang terlunta-lunta. Padahal, hukum alam, sudah built in dalam segenap evolusi kehidupan. Siapa yang menyetubuhinya, dengan segala kesadarannya, dengan usaha tanpa tedeng aling-aling, akan merasakan bahwa segalanya ada mekanisme alamiahnya. Manusia tidak perlu menjerit dan menghamba pada juru selamat dan Tuhan imajiner. Karena jalan itu, jalan keselamatan itu adalah sekuler! Jalan itu alamiah. Jalan itu ada disetiap sudut muka bumi. Titah alam semesta melalui mekenisme hukum alam. Dan siapa yang selaras dengannya akan selamat. Tinggal soal, siapkah manusia untuk menjalaninya, tanpa tangis dan rengekan pada dunia lain yang ilusif dan utopis.

Itulah hakikat Islam bagi saya!
Sekularisme.
Diluar itu, bagi saya hanya Islam Sloganisme!
Lebih tepatnya, Islam Ritualisme.

Dan ingat!
Ini penghayatan saya pribadi.
Dilarang meniru adegan berbahaya ini tanpa mentor spiritual anda.

Selasa, 20 September 2011

> Yang Nekat Clik Akan Dapat Rejeki Masuk Neraka

Aku melarangmu menggambar wajah utusanKu, karena Aku tak ingin kalian menyembahnya. Ia adalah manusia dan aku tak ingin kalian memuja manusia, saudaramu yang sejajar.
Aku tak mau kalian meniru2 wajahnya, meniru cara berpakaiannya, meniru gaya bicaranya.
Karena itu hanya akan membuat kalian melupakan bagimana mencontoh akhlaknya dan keluhurannya.
Biarlah wujudnya tetap tak terbayangkan, agar kalian dapat mengenal sifat2Ku dengan meneladani perilakunya.

Tetapi kalian jadikan kata2 petunjuk dariKu sebagai candu
Menidurkan akal kalian dalam kebekuan
Membakar nafsu kalian untuk saling menghakimi
Membangkitkan kesombongan dalam kepastian kalian akan sebuah kebenaran.

Kalian sebut namaKu dalam pekik amarah
Kalian sebut jalanKu dalam menyebar petaka

Maka mulai hari ini, Aku cabut ajaranKu
Kubiarkan kalian berjalan dalam kegelapan
Karena seperti dalam terangKu, kalian mengikuti kegelapan
Maka dalam kegelapan kalian akan menemukan cahayaKu

Biarlah dalam kebimbangan kalian belajar bertanya
Bukannya sibuk mempertanyakan orang lain.
Biarlah dalam kegelapan kalian belajar saling berpegangan tangan
Daripada dalam cahaya kalian saling menumpahkan darah
Biarlah dalam keraguan kalian belajar kerendahan hati
Daripada dalam kepastian hati kalian menjadi dipenuhi keangkuhan

Semua ini harus Kulakukan
Karena Aku masih mencintai kalian

Dan siapakah Aku? Akulah yang selalu kalian sebut, tapi yang juga kalian sudah lupakan, Rahayu

> Saya Pilih Neraka

Apakah anda termasuk orang yang mengidam-idamkan sorga? Dan bersigigih menghindari neraka? Jika iya maka selamat untuk anda. Sukses untuk anda. Pastikan anda benar-benar akan masuk sorga. Jangan tiru impian ngawur orang kafir di bawah ini.

Saya:
Mas kafir, kenapa ya anda tidak ingin masuk sorga?

Kafir:
Pertama sorga itu sudah antri mas. Tidak akan nyaman lagi. Pasti akan sumpek.

Saya:
Lho kenapa anda bilang begitu?

Kafir:
Ya karena yang mengincar sorga sangat banyak saya lihat. Jadi pasti akan berdesak-desakan di pintu sorga.

Saya:
Alasan lain msaih ada mas?

Kafir:
Itu kan baru yang pertama mas. Yang paling tidak nyamannya gini mas.
Calon-calon penghuni sorga itu banyak yang seram mas..hi..

Saya:
Lho bukankah yang akan masuk sorga itu orang beriman?

Kafir:
Ya makanya. Saya lihat teman-teman saya yang mengincar sorga galak-galak mas. Main hujat main caci maki. Nama saya ini dulu kan bukan kafir mas. Mereka yang ganti. Sudah 3 kali ganti nih mas. Pertama nama asli saya kan Afkir. Terus mereka ganti dengan Sesat. Kemudian Jahannam. Terakhir baru Kafir. Ini sudah permanen katanya sampai untuk hari kiamat. Tidak perlu diupdate lagi.

Saya:
Lho kok bisa-bisa seenaknya mereka begitu?

Kafir:
Ya sama tahulah mas. Kelakuan saya kata mereka memang sesat dan kafir mas. Jadi sejak mereka panggil saya kafir ya baik di KTP dan segala surat menyurat nama saya juga saya ganti dengan Kafir. Kolom agama juga saya isi dengan agama Kafir. Tapi karena saya dulu pernah kuliah S3. Maka saya lengkapi nama saya menjadi
DR. Kafir Neraka, SPd.

Saya:
Anda ini kok aneh ya. Memangnya anda kira di neraka itu enak?

Kafir:
Ya mendingan mas ngumpul di sana sama setan. Wong saya di dunia ini sudah biasa kok bergaul dengan setan. Kalau dengan calon penghuni sorga saya gak pandai bergaul dengan mereka. Saya jadi bahan hujatan terus. Dikotbahi terus. Dan disetiap ujung kotbahnya selalu saya diancam dengan neraka. Nah, seandainya saya juga memilih masuk sorga, dan nanti juga ketemu dengan mereka di sana, tentu mereka juga akan melakukan hal yang sama di sana. Apa lagi di sana Tuhan juga sudah bisa dilihat. Pasti Tuhan juga akan dihasut mereka untuk menjelek-jelekkan saya. Oya kalau boleh tahu mas sendiri rencananya mau milih kemana sih?

Saya:
Ya sama! 

> Dear: Abang Teroris

Dear Abang Teroris,
Hehe, sebelumnya saya bingung mau manggil Om atau Abang, biar lebih akrab panggil Abang aja kali ya, mendingan mana daripada ‘Tante’??hayoo !, hehe, semoga abang nggak keberatan.
Seperti pada kebanyakan surat, saya mau tanya kabar abang dulu neh, semoga abang sehat walafiat, dan dalam lindungan Tuhan YME.

Gini nih bang, saya tuh kagum banget ama abang, bisa-bisanya abang ngubrak-abrik negara kita ini. Betapa tidak, setelah bosen ama bom yang besar, abang pandai berinovasi dengan bom yang kecil, kreatif!!, super sekali, abang bisa bayangkan wajah-wajah ketakutan orang-orang negeri ini, haha x__x. Kalau begini, saya udah ‘agak’ enak ngerjain tetangga, tinggal beli amplop, masukin buku yang nggak kepake, cantumin nama ama no Hp palsu, lemparin deh ke teras tetangga, pasti Polisi datang, TV Berita pada ngeliput, dan saya dengan bebas majang muka saya di Tipi, haha…
Kali-kali aja ada tawaran jadi Artis, orang2 jakarta udah nyoba cara beginian, dan berhasil, masak saya ngga bisa?? hehe x_x. Kalau saya jadi artis mahh, bakal saya kasi royalty ke abang, sebagai inspirator,hehe… Tapi masalahnya, abang nggak mau ngasi alamat asli, no hp nggak aktif, wuah kagak bisa juga donk.

Ada lagi nih, abang tuh pasti jago Kimia kan?? Kalau ada kesempatan, saya ingin mengundang abang mengajar di sekolah saya, mau nggak?? Kebetulan sekolah kami lagi membutuhkan guru yang ber jam terbang tinggi seperti abang, daripada jadi teroris mulu, ajarin aja kami cara membuat bom buku, biar waktu ngerakit, ehh bisa sambil membaca, menambah wawasan…ya kan? Jujur saya orang yang kurang suka membaca buku. Saya tuh hanya suka baca buku yang ‘menantang’ kayak bukunya abang, bisa meledak…haha…unik, sampe-sampe tangan pak dodi (bukan tetangga saya) patah, mungkin kalau saya yang baca….ledakannya bisa membuat wajah saya yang ganteng ini jadi tambah ganteng, iya nggak?? Paling tidak, jerawatnya berkurang dikit, hehe.

Bicara soal buku, abang memang orang yang patut dicontoh, bayangin bang!! Orang-orang sebaya saya aja jarangg baca buku, nah… Abang yang kayaknya dah mulai ‘uzur’ hobinya baca buku, haha unik… Malah, karena kebanyakan koleksi, abang kirim ke orang-orang dengan GRATIS!! wueleh…benar-benar orang berhati mulia, kalau abang berminat mengirim ke rumah saya boleh-boleh aja, tapi…yaa itu tadi, takut banyak yg nawarin jadi ‘artis’, hehe.

Ada 1 hal yang mengganjal hati saya nih bang, ‘kata orang-orang’ (perhatikan tanda petik ya bang) teroris itu kejam, jah*nam, l*knat, jah*t, de el el.. Kalau emang bener yah saya cuma kasi saran, kebetulan saya pernah denger dari sebuah lagu,

“buat abang-abang teroris, sering-seringlah mendengar lagu ‘cinta’, biar romantis, sayang ama anak dan istri”

Buat yang punya lagu, maaf… Saya kutip dikit, hehe.

Terima kasih bang, udah buat kami kuatir, terima kasih membuat jantung kami berdetak lebih cepat, sebab kata Dr. Trondolo (tetangga saya, kapan2 saya kenalin) jantung yang berdetak lebih cepat, tanda orang sehat..hehe..

Sekian bang, Jangan lupa berdoa disana..wasssuuuu!

> Percoyo Tanpo Waton

Orang Islam mengatakan...:
* Assalamualaika warahmatullahi wabarakatuh, apapun agama anda, semoga Tuhan saya mengampuni anda........

Tapi anda wajib untuk tidak percaya pengakuan saya ini.
Karena itu anda harus melihat buktinya DISINI.

Nah, apa yang menjadi persoalan bagi saya terhadap komentar tersebut?
Ya apalagi kalau bukan satu pertanyaan yang indah:

Sejak Kapan Umat Islam Mengontrak Tuhan?

Seolah-olah Tuhan itu milik mereka. Atau seolah-olah ada banyak Tuhan di langit. Lalu Tuhan yang dia punya marah pada saya dan dia mendo’akan agar Tuhan miliknya mau mengampuni saya.

Lalu bagaimana sikap saya?

Sok tahu!
Begitu yakinnya dia tentang Tuhan. Seolah-olah Tuhan adalah teman akrabnya sama makan bakso. Lalu asal ada yang macam-macam, Tuhan kenalannya siap tempur untuk menbackupnya. Seolah-olah Tuhan sudah dikontraknya dan Tuhan itu harus patuh mengikuti do’anya, untuk orang lain yang berbeda pandangan dan keyakinan dengannya.

Lalu bagaimana pandangan saya tentang Tuhan?
Atau Tuhan itu milik siapa?

Bagi saya Tuhan itu ibarat udara. Dia netral tidak memihak. Siapapun bisa dan bebas menghirupnya. Atau tidak menghirupnya sama sekali juga terserah. Tapi yang jelas, Tuhan selalu ada dan ingklude di setiap zarah, di setiap partikel atau atom alam smesta.

Tuhan adalah ROH Kosmik. Tak ada satu titik pun yang lepas dari lingkupan Tuhan. Karena itu tak ada manusia manapun yang lepas dan terkunci dari kasih Tuhan. Semuanya, hidup dan hadir di dunia ini atas Kasih Tuhan.

Itulah yang membuat saya bingung jika ada umat Islam yang begitu lantang mengatakan bahwa Tuhan seakan-akan miliknya. Kasus yang saya kutip di atas hanya salah satu contoh. Tapi bukan satu-satunya kasus. Tapi masih buaaanyak umat Islam yang begitu yakin mengklaim bahwa Tuhan seoalah-olah adalah milik mereka. Dan cendrung mengklaim bahwa pemahaman merekalah yang benar tentang Tuhan.

Lalu bagaimana dengan agama lain?
Ah ... biasanya juga tidak jauh beda.
Kecuali sebagian umatnya yang sudah menggunakan otak 

> Makna Mim dan Ain Dalam Manunggaling Kawula Gusti

APA MAKNA MIIM DAN AIN DALAM MANUNGGALING KAWULA GUSTI sehingga dapat menemukan Tuhan dan bertemu dengan Nya dan Mengapa ketika mencari Tuhan dibalik huruf alif dan nun maka tidak bisa bertemu dengan Nya?

Tafsir Miim (numerology Arabiyah):

Huruf miim merupakan muhammad rosulillah atau Ahmad, yang merupakan pintu menuju Ahad yang merupakan wahdaniyah Allah. Perbedaan antara Ahad dan Ahmad adalah huruf arab Miim (muhammad rosulillah penutup jalur risalah dan kenabian).

Miim juga berarti malakuti / keagungan / penguasaan atas seluruh langit bumi, ayat Kursi merupakan ayat yang mengandung banyak huruf miim didalamya.

Huruf miim bernilai 40, 40 hari khalwat dengan ikhlas dengan mengamalkan surat al ikhlas dan ayat Kursi (ayat yang banyak mengandung huruf miim /sujud jadi sujud adalah cara menggapai keagungan). Juga surat al ikhlas di awali dengan qulhuwa allohu ahad. Jadi perwujudan ahad di dunia adalah ahmad, ketika manusia menjadi ahmad maka merupakan tajalli/ penampakan sang Mahakuasa dalam diri manusia. Sekali lagi bedakan Ahmad dan Ahad terletak huruf miim.

Huruf miim membentuk, posisi sujud dalam solat, sujud merupakan posisi kedekatan dengan Allah, bahkan sujud merupakan simbol dari wahdaniyah Allah. Metode untuk mendekat (muqorrobin/ kewalian) kepada Tuhan yang paling cepat adalah dengan sujud yang lama dalam Sholat. Hadits qudsi Allah berfirman : Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada Ku dengan hal hal yg fardhu- 17 rokaat, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yg sunnah- 34 rokaat qobliyah dan bakdiyah- baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk mendengar, dan matanya yg ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yg ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yg ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya. (shahih Bukhari hadits no.6137).

Tafsir Ain,Yaa,Sin,Nuun,Aliif (numerology Arabiyah):

Huruf ain bermakna sayidina Ali bin Abu tholib merupakan pintu gerbang keilmuan. Sesuai hadits Nabi yang menyatakan bahwa Muhammad rosulluloh adalah gudang ilmu dan Sayidina Ali adalah pintunya. Huruf ayn membentuk posisi rukuk dalam sujud, dalam riwayat asbabun nuzul quran ada ayat yang berkenaan dengan Ali bin abu thalib, yaitu orang yang rukuk kemudian dalam posisi rukuk dalam solat melakukan sedekah berupa cincin. Inilah ayat quran itu: Walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan mereka yang beriman yang menegakkan salat, membayar zakat seraya rukuk. (QS. al-M`idah: 55).

Kunci sholat yang merupakan adab tatakrama/ kepasrahaan total ila allohu ada di rukuk/ huruf ain, sujud/ huruf miim adalah kedekatan (muqorobin- fana asma dan tajalli asma), barangsiapa tidak tahu adab ( rukuknya) maka tidak layak untuk dekat (muqorobin).

Huruf Ain bernilai 70.sedang huruf Ya bernilai 10 dan huruf Sin bernilai 60. jadi secara matematis yaitu 70(ain)= yaa(10)+sin(60) jadi Ya + Seen = Ain merupakan Quran dalam surat 36 adalah surat Ya Seen. ayat ke 58 dari surat Yasin adalah Salaamun Qawlam Mir Rabbir Raheem. Jadi 5+8=13, posisi huruf ke 13 dalam abjad Arab adalah huruf Miim/ Sujud. Jadi untuk mengerti Ain/ rukuk kita harus mengerti tafsir huruf Yaa dan Tafsir huruf Sin. Dengan mengerti Yaa dan Sin kita akan sampai kepada Sayidina Ali bin Abu Tholib.

Kyai Kholil Bangkalan, salah seorang pencetak kyai besar Nahdlatul Ulama, selama perjalanan pesantren Keboncandi, Pasuruan-Sidogiri kyai kholil Bangkalan sewaktu muda selalu membaca YaSin, hingga khatam berkali-kali.

Huruf Ya adalah akhir dari abjad Arab and Alif awal dari abjad Arab. Huruf Ya/ hamba memimpin / cenderung ke arah Alif / Allah. Huwal Awwalu wa Hu wal Akhiru.

* Rincian huruf Awwalu :

* Alif(1)+waw(6)+lam(30)=37-3+7=10,(Ya=10),

* 10 -1+0=1-pertama.

* Rincian huruf Akhiru :: Alif(1)+Kho(600)+Ro(200)= 801-8+0 +1= 9 – terakhir adalah 9, angka 9 dalam numerology arab adalah huruf Ta yang bermakna penyucian atau Tahara / penyucian dan bulan ke 9 dalam Arab / Qomariah adalah bulan ramadhon yaitu bulan puasa.

Penyucian kalbu dari kecintan diri dan dunia merupakan tingkat awal penyucian untuk bersuluk kepada Allah. Sesungguhnya kotoran maknawi terbesar yang tidak bisa disucikan meskipun dengan tujuh lautan dan para nabi pun tidak mampu menghilangkannya adalah kotoran kejahilan ganda (pura-pura tahu padahal tidak tahu). Kekeruhan ini mungkin akan memadamkan cahaya petunjuk dan meredupkan api kerinduan yang merupakan buraq untuk bermikraj mencapai berbagai maqom spiritual.

Dan Alif(1)+ Ta(9)=10- (Ya=10=hamba) , nilai huruf (Ya=10), jadi seorang Hamba yaitu simbol Ya harus melakukan Puasa / penyucian jiwa/ tazkiyah nafs simbol (Ta=9) untuk Alloh semata simbol (Alif=1) atau Hamba harus sabar dengan KetentuanNya atau nrimo ing pandum, karena hasil puasa Lillah Billah menjadikan orang sabar atau innalloha maashobirin (Sesungguhnya Alloh bersama (MA terdiri huruf miim dan ain lihat al Baqarah:153 ) orang yang sabar. Lihat bersama adalah Ma yaitu maasshobirin. Disini terungkap rahasia mim dan ayn yaitu MA seperti yang diucapkan oleh Husain bin Mansur al Hallaj. jadi Sabar adalah kunci menemukan Tuhan. Para mufassir menafsirkan sabar dengan melakukan puasa. Pahala puasa hanya Allah yang tahu. Artinya Hak menilai puasa langsung di tangan Allah bukan di tangan para malaikat. Sabda Rosullulloh saw Puasa yang dilakukan khusus untuk-Ku/ puasa Lillah Billah dan cukuplah Aku sebagai pahalanya.

Mempelajari Ilmu Ketuhanan akan menjadikan orang bersabar, seperti dialog Nabi Musa as dan Nabi Khidr as yaitu Bagaimana kamu dapat sabar terhadap persoalan yang kamu sama sekali belum memiliki pengetahuan yang cukup tentangNya (QS 18:68). Barangsiapa menghadapi kesengsaraan dengan hati terbuka, menunjukkan kesabaran dengan penuh ketenangan dan martabat, termasuk dalam golongan orang terpilih dan bagian untuknya adalah Berikanlah kabar gembira (keberhasilan dan kejayaan) kepada orang yang sabar (QS 2:155),

Dalam Islam, kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri disebut sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan. Ketika belajar orang ini tekun. Ia berhasil mengatasi berbagai gangguan dan tidak memperturutkan emosi-nya.

Gabungan rincian Awwalu dan Akhiru adalah Seorang Hamba (Ya=10=hamba) karena Akhiru(9)+ Awwalu (1)=10- (Ya=10=hamba), jadi seorang Hamba menampung Asma Allah yang lengkap dan memiliki potensi untuk menampakkan sifat ketuhanan.

Huruf Sin bernilai 60 dalam numerology Arab, merupakan simbol dari sirr Muhammad, sirr adalah rahasia ketuhanan yang disimpan dalam diri manusia sebagai hamba. Huruf sin dalam INSAN. huruf alif nya adalah Allah, huruf sin adalah rahasia / sirr ketuhanan, 2 huruf nun adalah simbol hukum dunia dan akhirat yang merupakan representasi /perwakilan kitab suci al Quran.

Huruf Yaa/ simbol Hamba digunakan untuk memanggil seseorang atau menarik perhatian sesorang. Ya adalah simbol seorang Hamba menyembah dan menyebut Tuhannya Ya Allah Ya Robbi dll.Yaa juga digunakan oleh Allah memanggil Hambanya.Ya juga berarti simbol antara yang disembah dan menyembah, tetapi posisi Ya=10 / hamba selalu cenderung kepada Alif=1 atau Allah karena Allah sebagai Awwalu, dalam ilmu huruf,

Alif(1)+waw(6)+lam(30)=37-3+7=10 adalah Yaa menyatu dengan Alif (10-1+0=1) atau dibalik Yaa ada Alif atau di dalam Manusia ada Tuhan atau istilah Wahdatul Wujud nya Ibnu Arobi yaitu antara penyembah dan yang disembah itu sama tapi tidak serupa atau menurut istilah ajaran Syekh Siti Jenar, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. PERSAMAAN antara manusia dan Allah. Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw.: Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diriNya sendiri. Lebih jauh lagi Allah telah berfirman: Hambaku mendekat kepadaKu sehingga Aku menjadikannya sahabatKu. Aku pun menjadi telinganya, matanya dan lidahnya. Juga Allah berfirman kepada Musa as.: Aku pernah sakit tapi engkau tidak menjengukku! Musa menjawab: Ya Allah, Engkau adalah Rabb langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit? Allah berfirman: Salah seorang hambaKu sakit; dan dengan menjenguknya berarti engkau telah mengunjungiKu. Memang ini adalah suatu masalah yang agak berbahaya untuk diperbincangkan, karena hal ini berada di balik pemahaman orang-orang awam. Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung dalam membicarakan soal ini dan percaya pada inkarnasi dan kersekutuan dengan Allah.

Tafsir huruf Nun dan Alif- Pencari Tuhan dibalik huruf alif dan nun maka tidak bisa bertemu dengan Nya:

Bernilai 50 dalam numerology Arab.

Tafsir huruf INSAN, memiliki 2 huruf nun merupakan simbol alam dunia/ jasad dan alam akhirat/ ruh/ jiwa. Ruh yang disucikan akan memperoleh Nur/ surga sedangkan Ruh yang dikotori akan memperoleh Nar/ neraka.

Tafsir Alif dan Nun: Penggambaran Simbolis Huruf dan Alif Nun merupakan lambang sebuah perahu (syariat) dan sebuah Jiwa / individu /personal mengarungi lautan / medan ujian, kayuh / sampan (membentuk huruf Alif) kiri kanan adalah wilayah pilihan manusia (sunnatulloh adalah qadha qadar baik buruk) yang telah ditetapkan oleh Allah arti simbol Alif. Individu yang sedang menaiki perahu (simbol Nun), sampan/kayuh adalah alat/ pilihan yang akan mengerakkan jiwanya menuju 3 pilihan yaitu, pertama, arah perahu ke kiri berarti ashabul syimal/ Nun menjadi Naar/ neraka, kedua arah perahu ke kanan berarti ashabul yamin/ Nun menjadi Nur/cahaya, ketiga arah perahu tidak ke kiri dan tidak ke kanan tetapi tengah berarti sabiqunal awwalun/ terdahulu mencapai tujuan ini adalah golongan para pencinta yaitu menyembah karena kerinduan ingin bertemu dengan sang Khaliq ini adalah jawaban isyarah tersembunyi dari Husain bin Manshur al Hallaj- yaitu para nabi :

Dengan simbol miim (arti bathinnya adalah sujud) yaitu Muhammad saw dan ain (arti bathinnya adalah rukuk) yaitu sayidina Ali bin Abuthalib.

Huruf Nun Mengingatkan Kita juga kepada Zunnun/ Nabi Yunus as yang naik perahu di tengah lautan dan ditelan Ikan karena meninggalkan Kaum nya sebelum ada perintah dari ALLAH.

Zikir Zunnun / N.Yunus doa keselamatan menghadapi medan ujian : wa dzan nuni idz dzahaba mughadziban fa dhanna an lan naqdiro alayhi fa nada fid dhulumati an laila antan subhanaka inni kuntu minadolimin fastajabna lahu wa najjaynahu minal ghammi wa kadzalika nunjil mukminina (Anbiya :87-88).

Kesimpulan:
Tafsir Yaa Sin akan membuka rahasia huruf `MA yaitu miim dan ain seperti yang dikatakan oleh Husain bin Mansur al Hallaj:

Quran dalam surat 36 adalah surat Ya Seen. ayat ke 58 dari surat Yasin adalah Salaamun Qawlam Mir Rabbir Raheem.

Rahasia Ketuhanan ada dalam diri manusia, agar manusia mampu menampakkan atau men-tajallikan Ketuhanan dalam dirinya maka perintah solat (Rukuk, Sujud) adalah sarana Manunggaling Kawula Gusti dan sodaqoh ( menebarkan hasil usaha kebenaran/ pengabdian masyarakat/ agen perubahan/ social agent) kepada sesama makhluk Tuhan (kesalehan sosial) yang merupakan perwujudan dari Salaamun Qawlam Mir Rabbir Raheem

Tafsir Yaa Sin adalah simbol manusia sempurna yaitu hamba yang mampu menampung rahasia Allah dan didalam sirr itu seorang penyembah dan disembah bertemu dan berdialog, ibarat sebuah pohon lengkap dengan pokoknya, cabangnya dan puncaknya. Imam al Baqir berkata: Maukah kamu akau beritahu pokok-pokok Islam, cabang dan puncaknya dan pintu kebaikan? Sulaiman bin Khalid berkata: Tentu, lalu jawab Imam al Baqir: Pokoknya adalah sholat, cabangnya adalah zakat, dan puncaknya adalah membela kaum tertindas dan menegakkan keadilan

Tafsir Rukuk/Huruf Ain

Etika rukuk adalah meninggikan maqam rububiyah Nya yang agung, mulia dan merendahkan maqam ubudiyah seorang hamba yang lemah, faqir dan hina. Rukuk adalah awal ketundukkan dan sujud adalah puncaknya.Yang melakukan rukuk dengan sempurna dan benar akan menemukan keselarasan pada sujud. Imam Shadiq berkata rukuk yang benar kepada Allah adalah menghiasi dengan cahaya keindahan asma Nya. Rukuk adalah yang pertama dan sujud adalah yang kedua. Dalam rukuk ada adab penghambaan dan dalam sujud ada kedekatan/Qurb dengan Zat yang disembah. Simbol rukuk adalah hamba dengan hati tunduk kepada Allah, merasa hina dan takut di bawah kekuasaan-Nya. Merendahkan anggota badan karena gelisah dan takut tidak memperoleh manfaat rukuk.

Tafsir Sujud/Huruf Mim

Sujud merupakan puncak ketundukan dan puncak kekhusyukan seorang hamba, sebaik-baik wasilah taqarrub ila Allah, sebaik-baik posisi untuk mencapai cahaya-cahaya tajalli Asma Allah dan maqam Qurb dengan Nya. N. Saw bersabda : lamakanlah sujudmu, sebab tiada amal yang lebih berat dan paling tak disukai oleh syetan saat melihat anak Adam sedang sujud, karena dia telah diperintahakan sujud dan dia tidak patuh. Sujud merupakan sebab mendekatnya hamba dengan sang Kholik. Wahai orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan solat, sesungguhnya Allah bersama orang yang sabar (al Baqarah:153).

Tafsir Salam / Huruf Yaa Sin

Salam adalah salah satu nama Allah. Arti Salam dari sisi Allah adalah keselamatan zat, sifat, perbuatan-Nya. Adapun Zatnya terpelihara dari kelenyapan, perubahan dan dari segala kekurangan. Salam dari sisi Hamba adalah doa,yaitu memohon keselamatan kepada Allah untuk orang yang kita ucapkan salam / selamat dari segala cobaaan dan bencana dunia akhirat. Salam juga berarti ungkapan Kepasrahan / ketundukan kepada Sunnatulloh ( Quran Hadits). Menurut Imam Shadiq salam adalah orang yang melaksanakan perintah Alloh dan melakukan sunnah Rosulillah dengan ikhlas (intinya Ahad dan Ahmad), juga selamat dari bencana dunia dan akhirat. Salam juga bermakna penghormatan kepada hamba yang sholih (assalamu alaina wa ala ibadilahis sholihin) dan malaikat pencatat amal.

Al Futuhat al Makkiyah, Karangan Ibnu Aroby, merujuk empat perjalanan akal dalam bab 69 tentang rahasia rahasia shalat sebagai perjalanan spiritual manusia. Perintah sholat 51 rokaat kepada Nabi Muhammad saw saat isro miroj: Tuhan memerintahkan hambaNya itu supaya setiap Muslim setiap hari sembahyang limapuluh kali. Kemudian untuk umatnya menjadi 17 rokaat wajib di lima waktu dan sisanya 34 rokaat menjadi sunah muakkad- qobliyah dan bakdiya.
> Mulla Shadra dalam bukunya al Asfar al Arbaah mengatakan:

Ketahuilah bahwa para pesuluk diantara orang Arif/ Irfan dan para Wali menempuh empat perjalanan akal :

Perjalanan makhluk kepada kebenaran diskusi metafisika umum (min al khalq ila al Haq).

Pesuluk mempelajari dasar-dasar metafisika umum dan dalilnya.pesuluk cenderung pada kajian semantik dan metafisika dasar terhadap firman Ttuhan dalam Quran.

Perjalanan bersama kebenaran didalam kebenaran- pengalaman metafisika khusus dengan pengalaman pribadi (bi al Haq fi al Haq).

Pesuluk akan melihat sifat dan namaNya yang tertinggi baik nama yang mewujudkan rahmatNya dan murkaNya. Hukum nama nama Allah ini di dalam kejamakannya akan mewujud di dalam diri pesuluk.Hal ini dikenal dengan makam wahidiyah atau tujuh substansi halus (lataif).
Pesuluk akan mengalami rasa takut dan harapan (al khauf wa al raja).

Perjalanan dari Kebenaran menuju makhluk (min al Haq ila al al khalq).

Setelah mengalami fase peniadaan diri,pesuluk menerima karunia Tuhan dan kembali kepada kesadaran diri. Pesuluk menyaksikan penciptaan dan alam kejamakan dalam diri makhluk tetapi dengan mata yang lain, dengan pendengaran yang berbeda. Puncak perjalan ketiga membawa pesuluk menuju kesucian/Wilayah (kewalian).

Perjalanan bersama Kebenaran di dalam makhluk (bi al Haq fi al khalq).

Maqam penetapan hukum dan pembedaan dari baik dan buruk. Ini adalah derajat kenabian, penetapan hukum dan kepemimpinan atas umat manusia yang berhubungan dengan urusan urusan mereka yang beragam dan berbeda-beda serta bagaimana mereka saling berinteraksi satu sama lain. seorang arif tak akan bisa mencapai maqam spiritual tertinggi jika tidak memanifestasikan keimanan-puncak, yang telah diraihnya lewat dua perjalanan pertama, dalam bentuk concern sosial politik untuk mereformasi masyarakat dan membebaskan kaum tertindas dari rantai penindasannya. Tidak lain maqam penetapan hukum (legislatif) atau melibatkan diri dalam kemasyarakatan dan hubungan social, merupakan perwujudan penebaran salam kepada makhluk yaitu Salaamun Qawlam Mir Rabbir Raheem yang merupakan inti tafsir Yaa Sin. Pesanku kita orang timur, berbudayalah dengan kebudayaan leluhurmu, bukan jadi orang timur yang ke arab2an atau Ontaisme yang sok membela Agama Allah, Allah tidak butuh itu, rahayu > Kp Karyonagoro

> Islam Jawa dalam Lingkup Keraton

ISLAM JAWA yang memang dilahirkan oleh tradisi besar KERATON Jawa, walau bagaimanapun tetap menganggap salat sebagai hal yang penting dalam kehidupan manusia. Lebih-lebih pada masa pemerintahan Paku Buwana III, yang memberikan perhatian terhadap kehidupan bergama dan budaya yang berkembang dalam masyarakatnya. Salat tetap dipandang sebagai rukun agama, yang dapat membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, bahkan salat dijadikan sebagai salah satu ngelmu dan laku bagi masyarakat Jawa, khususnya kalangan Islam Kejawen. Ngelmu dan laku bagi masyarakat Islam kejawen merupakan peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang menjadi pedoman hidup manusia (Hariwijaya, 2004:204).

Ngelmu dan laku merupakan spiritualitas masyarakat Jawa, karena ngelmu (ilmu) lebih memiliki nilai mistik, menekankan pada nilai-nilai batin, bukan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada rasionalitas atau empirisme. Spiritualitas masyarakat Jawa dengan corak sufisme berkembang berkat kreatifitas sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir, puasa, dan juga salat, dapat dijumpai dalam berbagai karya sastra pujangga Jawa. Demikian juga apa yang disampaikan oleh Sastrawijaya, yang menjadikan salat sebagai salah satu laku spiritual bagi masyarakat Islam Jawa. Hal yang senada juga diajarkan oleh Mangku Negara IV dalam Serat Wedhatama, sebagaimana tersebut di bawah ini :

“Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya budya pangekese dur angkara”

Artinya:

“Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan”.

Ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat atau ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah atau laku spiritual yang berat (Simuh, 1999). Oleh sebab itu, berdasarkan bait tersebut dapat dipahami bahwa, ilmu batini perlu disertai dengan “laku spiritual” (ngelmu iku kalakone kanthi laku). Keberhasilan pencapaian ilmu batin perlu diawali dengan mengalahkan nafsu jahat (dur angkara) untuk mencapai derajat budi pekerti luhur (akhlak al karimah). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah dengan tapa, yang merupakan salah satu bentuk puasa orang Jawa. Demikian juga halnya dengan salat, menurut Sastrawijaya, bukan hanya sebatas melaksanakan perintah agama tetapi memiliki arti yang jauh lebih dalam daripada itu, yaitu sebagai ngelmu dan laku dalam membersihkan diri untuk mencapai persatuan dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti).

Islam sebagai agama resmi kerajaan, pada masa pemerintahan Paku Buwana III, sebagaimana tercermin dalam berbagai karya para pujangga istananya (khususnya Sastrawijaya) telah menjadi dasar beragama yang kuat, dan juga telah menjadi dasar dari ngelmu dan laku masyarakat Jawa pada umumnya. Ngelmu dan laku masyarakat Jawa yang didasarkan pada ajaran agama dan berpedoman pada ajaran kerohanian telah melahirkan sikap hidup Teo-sentris, Tuhan berada dimana-mana dan bersifat Tunggal (Esa). Jika Tuhan Yang Esa ada dimanapun manusia itu berada, maka manusia berusaha untuk mencari hakekat ketunggalan (ke-esaan) Tuhan itu dengan ngelmu dan laku yang dapat menghantarkan pada penyatuannya dengan Tuhan. Salah satu ajaran Islam yang mengajarkan cara-cara mengabdi atau menyembah kepada Tuhan adalah salat. Salat bukan hanya sebatas identitas orang beragama bagi orang-orang Islam Jawa, tetapi dapat menjadi ngelmu dan laku dalam mencapai penyatuan dengan Tuhan. Dengan pencapaian penghayatan terhadap ngelmu dan laku salat, maka seseorang akan dapat hidup selaras dengan alam (kosmos), baik itu mikro (sesama manusia) maupun makro (alam semesta).

1. Ngelmu dan Laku Usalli

Salat sebagai ngelmu dan laku adalah sebagai bentuk pembinaan hubungan yang harmonis antara seseorang dengan makhluk hidup di sekitarnya. Juga hubungan keluarga dengan masyarakat, hubungan dengan bangsa-bangsa lain, dan bahkan hubungan manusia dengan alam sekelilingnya. Dengan menjadikan salat sebagai Ngelmu dan laku, maka dapat membentuk watak manusia menjadi lebih baik dan mulia menuju kebahagiaan yang sejati. Selain itu, juga dapat membimbing manusia untuk hidup selaras dengan kehendak Tuhan, sehingga dapat menghantarkan rohnya bersatu dengan Yang Maha Kuasa (Tuhan). Kebahagiaan yang mutlak dan abadi, hanya dapat diraih jika roh seseorang dapat mencapai kesatuan dengan Tuhan, kebahagiaan yang diliputi perasaan tenang dan tentram.

Sebagaimana dalam tradisi kapujanggan Jawa, bahwa untuk menjadi pujangga istana haruslah memiliki ilmu dan pengetahuan lahir dan batin (Simuh, 1998; Margana, 2004; Suhandjati, 2004). Demikian juga halnya dengan Sastrawijaya sebagai seorang pujangga Kraton, yang berbekal dengan berbagai ilmu, baik itu ilmu agama sastra, kanuragan dan olah batin. Penghayatan dan pemahaman keagamaan Sastrawijaya jika dilihat dari karya-karyanya dapat digolongkan sebagai seorang sunni, hal ini dapat kita mafhum bahwa Islam yang mampu menerobos dinding kepercayaan istana-istana Jawa adalah Islam yang dibawa oleh kaum sufi sunni. Demikian juga dalam karya-karyanya, menunjukkan adanya ajaran fikih dan tasawuf sunni sunni yang begitu kental. Hal ini dapat kita lihat ketika dia mengajarkan tentang hakekat salat, bahwa salat yang benar itu harus dimulai dengan niat, dan dalam tradisi sunni seseorang yang hendak melaksanakan salat disunnahkan untuk membaca niat salat, usalli (aku niat melaksanakan salat). Berbeda dengan Wahabiah yang mengajarkan bahwa ketika seseorang hendak salat, maka niat cukup hanya didalam hati, tidak perlu mengucapkan usalli.

Dengan menunjukkan adanya niat salat tersebut, berarti Sastrawijaya juga memahami ilmu fikih, dia paham bahwa niat merupakan sarat sahnya salat, dan bahkan menempatkan niat tersebut sesuai dengan porsinya, sesuai ajaran Nabi Muhamad SAW. Sebagaimana sabda Nabi bahwa segala sesuatu itu tergantung pada niatnya (Innama al a’malu bi an niyat). Niat merupakan jantung segala amal ibadah dan tindakan seseorang dalam upayanya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Niat menjadi rukun salat yang pertama karena melandasi tujuan ibadah itu sendiri, niat adalah ruh amal ibadah, sehingga jika tidak benar niatnya maka akan sia-sia amal ibadah seseoranga. Untuk itulah Sastrawijaya menekankan arti pentingnya niat salat, niat (usalli) yang bermula dari kaidah fikih ditafsirkan secara falsafi untuk memperoleh makna terdalam (hakekat) dari kata-kata (lafal) niat sendiri.

Untuk mencapai pemahaman yang benar tentang salat, seseorang harus betul-betul mengetahui ilmu dan cara mengamalkan salat yang benar, sehingga tujuan dari salat itu dapat diraih. Sastrawijaya yang menekankan arti pentingnya niat dalam salat, karena dia mengetahui bahwa inti dari salat itu tergantung dari niatnya. Oleh sebab itu niat dalam salat harus menjadi ngelmu dan laku, sesuatu yang harus dilandaskan pada ilmu pengetahuan (yaitu ilmu hakikat atau ilmu batin), dan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (dijalani dengan mujahadah atau laku spiritual).

Arti pentingnya niat dalam salat yang sangat ditekankan oleh Sastrawijaya dapat dicermati dari uraian Suluk Sajatining Salat bait 1 dan 2 sebagai berikut :

(1) “Kawruhana sira kang sayekti, Rarasane sira dipun-awas, Ngarep wruha wiwitane, Usali kurupipun, Pan sakawan kathahe nenggih, Alip dadi wiwitan, Iya wekasipun, Kekalih dadi wasitah, Esat elam kumpule kawan prakawis”; (2) “Insan kamil jenengira iki, pan kinaryan gentining dattolah, Miwah sipatollah mangke, lan kinarya sireku, kenyatahan sipating Widdhi, tinunggal rasa sira, lan rasa Hyang Ngagung, puniku murading ngiya, Sad puniku tinunggal rupa sireki, lan rupaning Pangeran”.

Artinya :

(1) “Ketahuilah olehmu dengan sungguh-sungguh, berhati-hatilah dalam pembicaraanmu, pertama ketahuilah permulaannya, usali hurufnya, ada empat jumlahnya, Alif yang menjadi permulaannya, dan juga yang terakhir, Keduanya menjadi wasitah, sat lam menjadi tempat berkumpulnya empat perkara”; (2) “Insan Kamil namanya, yang dijadikan sebagai gantinya datollah, dan kemudian sifatollah, dan dijadikan dirimu itu, sebagai kenyataan sifatnya Tuhan yang menjadi satu dengan hakekatmu, dan hakekat Tuhan Yang Maha Agung, itu maksudnya penjabaran dari ‘iya, sedangkan huruf sad itu menjadi wujud atau jasmanimu, dan demikian juga wujud Tuhan”.

Untuk mencapai persatuan dengan Tuhan harus memiliki ilmu, memahami segala apa yang akan diamalkan. Ilmu bukan hanya dalam pembicaraan, tetapi harus dipahami makna dan niat yang yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana niat dalam salat yang dimulai dengan kata Usalli, niat itu bukan hanya sekedar ucapan belaka atau bacaan niat yang tidak memiliki arti apa-apa. Lebih dari itu, niat merupakan langkah awal dan hal yang sangat fundamen untuk mencapai tujuan salat itu sendiri.

Kata Usalli sebagai lafal niyat salat, terdiri dari empat huruf (alif, sad, lam, dan ya atau alif layinah), oleh Sastrawijaya diartikan bahwa huruf Alif yang pertama merupakan perumpamaan manusia, dan huruf alif kedua merupakan perumpamaan Tuhan, yang menghimpit sifat dan dat Tuhan (huruf Sad dan Lam). Sifat dan Dat Tuhan sebenarnya telah ada dan meyatu dalam diri manusia, sebagai sosok insan kamil.

Insan kamil merupakan refleksi sifat-sifat ketuhanan, pengejawantahan Tuhan dalam diri manusia (Insan kamil jenengira iki, pan kinaryan gentining dattolah, Miwah sipatollah mangke). Oleh sebab itu, bagi orang yang betul-betul menghayati salatnya maka dia akan merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya, bahkan ruhnya bersatu dengan Dia. Persatuan hamba dengan Tuhan bukan hanya dalam ruh saja, tetapi juga dalam perilaku atau perbuatan dan dalam sifat-sifatnya (lan kinarya sireku, kenyatahan sipating Widdhi, tinunggal rasa sira, lan rasa Hyang Ngagung). Demikian makna dari huruf ya dari lafal niyat salat (usalli). Adapaun makna dari huruf sad dari lafal niyat salat (usalli), adalah persatuan hamba dengan Tuhan dalam wajah (Sad puniku tinunggal rupa sireki, lan rupaning Pangeran), artinya bahwa wujud manusia itu pada hakekatnya adalah wujud Tuhan itu sendiri.

Konsep ini seperti proses penciptaan Nabi Adam A.S (‘ala suratihi), yang dijabarkan oleh Al Jilli menjadi konsep Insan Kamil, bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT dari gambaran-Nya. Kemudian berkembang pula pemikiran Jabir Ibn Hayyan (seorang pakar kimia pada abad ke-28), yang menyatakan bahwa al Kawn al Shagir (alam kecil; micro cosmos) merupakan pancaran atau refleksi dari al Kawn al Kabir (alam besar; makro kosmos). Dengan demikian, penggunaan kata Insan Kamil ini sebenarnya berasal dari bahasa Arab, bahkan dari pemikiran-pemikiran sufi jauh sebelum Sastrawijaya.

Pada bait ketiga dijelaskan, bahwa makna huruf lam itu menunjukkan adanya hamba (manusia) yang bersama Allah, maka segala tingkah laku dan gerak-geriknya adalah dalam kuasa atau kendali-Nya, karena sukma (ruh) Allah telah masuk ke dalam sukma hamba-Nya.

“Murade lam puniku pan singgih, pan binareng ananing kawula, lawan anane gustine, miwah ing osikipun, lawan nenge kawula iki, agenti lawan sukma, Ing sapolahipun, pangucap parlan den-awas, kurupipun den kena sira nampani, anane dhewekira”

Artinya :

Maksud lam itu sebenarnya, bersamaan dengan adanya kawula, dan adanya Gusti, serta segala gerak-geriknya, dan diamnya kawula ini, berganti dengan jiwa, dalam segala tingkah lakunya, ucapan parlan dihati-hati, hurufnya boleh kamu terima, adanya dirinya.

Kata parlan (Arab: fardhan) dalam niyat salat harus kita cermati, diyakini sebagai bentuk pernyataan seorang hamba yang menerima taklif (beban hukum), karena salat itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.

Salat merupakan sarana seseorang untuk memperbaiki diri, membaguskan budi pekerti sesuai dengan akhlak Allah (takhalaqu bikhalqilllah). Hal ini hanya dapat terjadi ketika manusia sebagai mikro kosmos menyadari asal-usul kejadiannya yang diciptakan dalam rupa Tuhan (‘ala suratihi). Dengan demikian, salat merupakan media atau laku dalam mencapai persatuan hamba dengan Tuhan, tetap merupakan kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap muslim.

Makna huruf lam juga berarti bahwa manusia yang telah mencapai persatuan dengan Tuhan melalui salatnya, maka akan memiliki kehendak dan keinginan yang sama dengan kehendak Tuhan. Kehendak manusia yang terlahir melalui segala aktifitas kehidupannya merupakan kehendak Tuhan, karena kehendak Tuhan telah bersatu dengan kehendak hamba, tidak kurang tidak lebih. Pendapat demikian dapat kita lihat pada Suluk Sajatining Salat bait keempat berikut :

“Murade lam puniku augi, pan pinadha karsaning kawula, lawan karsane gusti, pan padha karsanipun, dennya lahir kawula iki, tan genti lawan sukma Ing, sakarsanipun tan ana karsa kaliyan, dahad sugih kawula kalawan gusti, tan wuwuh nora kurang”.

Artinya :

“Maksud lam itu juga, laksana keinginan hamba dan kehendak Tuhannya yang menyatu, meskipun sama keinginannya, wujud lahirnya seorang hamba, tidak berubah menjadi wujud Tuhan, meskipun dalam segala kehendak tidak ada kehendak lain, maka seorang hamba merasa kaya dengan Tuhannya, tidak lebih dan tidak kurang”.

Dengan menjadikan usalli sebagai ngelmu dan laku, memahami hakekat niat bukan membaca niat, dan menjadikannya sebagai laku spritual dalam setiap amal perbuatan maka seseorang akan benar-benar merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya. Jika Allah telah hadir dalam hidupnya, ruhnya telah dikuasai oleh ruh Ilahi, maka tidak ada kehendak dan perbuatannya, melainkan kehendak dan perbuatan Tuhan itu sendiri. Karena pada hakekatnya, seorang hamba yang telah mencapai kesucian ruhani akan dapat menyatu dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti) dalam sisi sifat, zat dan af’alnya.

2. Ngelmu dan Laku Muhamad

Lafal niat salat (Usalli) yang terdiri dari empat huruf tersebut (alif, sad, lam dan ya) menyebabkan adanya Muhamad. Artinya, jika seseorang telah mampu melakukan salat dengan benar, sesuai dengan hakekat salat tersebut (berdasarkan makna usalli) maka dia akan menjadi “Muhammad”. Makna Muhammad disini bukan berarti Nabi Muhammad Saw, tetapi Muhammad dalam arti hakekat (ruhani), yaitu sifat, zat dan af’alnya yang telah manunggal dengan Allah Swt. Hakekat ke-Muhamad-an dapat dicapai oleh siapa saja yang mampu menembus hakekat salat, karena pada dasarnya setiap muslim itu adalah “nabi-nabi” kecil (meminjam istilahnya Ulil Abshar Abdala dalam Sukardi, 2001) yang membawa kabar dari langit via Nabi Muhamad untuk disampaikan kepada orang lain. Muhammad adalah nama yang disandang oleh Nabi, terdiri dari empat huruf (mim, ha, mim, dan dal). Hal ini bukan hanya kebetulan, tetapi lebih jauh dari itu, Allah telah memberikan makna yang sangat dalam yang harus dipahami oleh seorang muslim (ngelmu). Kedua lafal tersebut (usalli dan muahamad) mempunyai makna yang linear, tentang adanya kesatuan seorang hamba dengan Sang Khalik. Sebagaimana disebutkan dalam Suluk Sajatining Salat bait kelima berikut:

“Ingkang sami kurupe den-yekti, awasena sakawan punika, metu Muhkamad asale, murade emim iku, kang kakekat maring ing ngilmi, iku ati kang mulya, tan pisah puniku, tegese tan kena pejah, ati iku ing-aran ati nurani, iku ati kang mulya.

Artinya :

Yang hurufnya sama perhatikanlah dengan sungguh-sungguh, perhatikanlah keempat hal tersebut, asal mula Muhammad, maksudnya mim itu, adalah hakekat ilmu, yaitu hati yang mulia, yang tidak dapat dipisahkan, artinya tidak dapat mati, hati itu disebut dengan hati nurani, yaitu hati yang mulia.

Berdasarkan lafal Muhkamad dalam Suluk Sajatining Salat (yang dimaksud adalah Nabi Muhammad SAW), menurut Sastrawijaya, maka Muhamad itu hanya sosok manusia biasa yang membawa ajaran Islam. Dia hanya sanepan (I’tibar) bagi umat manusia dalam mengamalkan ajaran Islam. Muhammad yang diyakini bukan hanya sebatas sosoknya secara lahiriah sebagai nabi dan rasul, tetapi lebih menekankan pada simbol-simbol inheren yang dibawa oleh Muhammad itu sendiri. Nama Muhammad (terdiri dari huruf mim, ha, mim, dan dal), nama tersebut bukan sekedar nama biasa atau nama yang secara kebetulan dan tidak mengandung arti apa-apa, tapi memiliki makna hakikat dari diri nabi sebagai seorang utusan Allah yang telah membawa Islam untuk semua umat manusia. Muhamad sebagai seorang nabi dan rasul utusan Allah, tentu telah mengenal hakekat Tuhan dengan segala rahasia-Nya. Berangkat dari keyakinan seperti inilah yang dicoba untuk dipahami oleh Sastrawijaya, bahwa Muhamad itu adalah simbol-simbol rahasia Ilahi yang mengejawantah kedunia. Oleh sebab itu untuk memahami hakekat Ilahi kita harus memahami hakekat Muhammad itu sendiri.

Cara memahami hakekat Muhammad adalah dengan menginterpretasikan segala atribut yang disandangnya, salah satunya adalah lafal atau nama Muhamad itu sendiri. Lafal Muhamad yang terdiri dari huruf mim, ha, mim, dan dal, berpusat maknanya pada huruf mim itu sendiri. Jadi huruf mim itu merupakan intisari dari lafal Muhamad, yang berarti hakekat ilmu. Huruf mim ini keluar dari bersatunya antara hamba dan Tuhan, dalam usalli, karena ketika seseorang telah memahami ngelmu dan laku usalli, maka dia telah bersatu sifat dan zatnya dengan Allah. Hakekat ilmu itu ada di dalam hati, yaitu hati yang mulia yang tidak pernah mati, tidak terpisah dari Tuhan oleh kematian, hati inilah yang dinamakan dengan hati nurani. Hati nurani ini adalah hati yang mulia, pada hakekaktnya merupakan pancaran dari ruh Ilahi. Oleh sebab itu tidak pernah mati, tidak pernah berpisah dengan Allah.

Dengan demikian, nama Muhammad itu menunjukkan adanya ilmu (batin/hakekat) yang yang harus dipahami dan diamalkan oleh manusia. Sebagaimana disebutkan pada bait berikut : “awasena sakawan punika, metu Muhkamad asale, murade emim iku, kang kakekat maring ing ngilmi, iku ati kang mulya”. Muhamad bukan sekedar sosok manusia yang terlahir di Makah dan mencapai kejayaan kenabiannya di Madinah, tetapi dia merupakan warana (media) ilmu dari Allah SWT. “iku ati kang mulya, tan pisah puniku, tegese tan kena pejah, ati iku ing-aran ati nurani, iku ati kang mulya”, di dalam diri Muhamad mengalir lautan ilmu yang tidak bertepi, ilmu yang bersumber dari Sang Pencipta dengan segala rahasianya. Ilmu tersebut hanya dapat dipahami dan diakses oleh orang-orang yang mendalami olah rasa (batin). Rasa yang bersumber pada hati merupakan tempat keluarnya ilmu hakekat, ilmu yang diakses langsung dari Allah SWT. Hati merupakan tempat bersemayamnya ruh, ruh merupakan pancaraan Dzat Ilahi yang menyebabkan manusia hidup. Karena hati merupakan pancaran Dzat Ilahi, maka ia bersifat langgeng, tidak pernah mati, dan jika sudah meninggalkan badan wadag manusia maka akan kembali kepada sumber asalnya, yaitu Allah Azza Wajalla. Oleh sebab itu hanya dengan hati saja manusia dapat mengakses ilmu hakekat dari Ilahi tersebut.

Ajaran tentang Muhammad ini sama seperti apa yang diwejangkan oleh Sunan Kalijaga kepada Prabu Brawijaya V ketika masuk Islam. Prabu Brawijaya bertanya kepada Sunan Kalijaga, “coba ajarkan kepadaku bagaimana syahadat itu yang sesungguhnya !”. Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan lafal : “Asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali hanyalah Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Manusia yang mnyembah dengan angan-angan saja, tidak tahu sajatining (hakikat) yang disembah maka ia tetap kafir, dan orang yang meyembah sesuatu yang tampak oleh mata berarti dia menyembah berhala, oleh sebab itu orang tersebut harus mengetahui benar secara lahir dan batin (Hariwijaya, 2004:156).

Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, dikaruniai akal pikiran dan hati, sudah seharusnya jika berkata harus paham apa yang dikatakannya. Adapun yang dimaksud dengan Muhammad Rasulullah itu adalah kuburan atau makam yang ada di tanah Arab sana. Oleh sebab itu badan wadag manusia itu tempat berkumpulnya segala rasa yang memuji kepada badan sendiri, bukan menuji kepada Muhamad yang berada di Arab. Badan manusia merupakan cerminan Zat Tuhan, tempatnya rasa. Sehingga yang dimaksud dengan “Rasul” itu adalah rasa kang nusul (rasa yang menyusul), dan lullah itu artinya luluh menjadi lembut. Disebut “Rasulullah” itu rasa ala ganda salah, dan lesan itu termasuk rasa yang dapat membimbing seseorang naik ke surga. Pengertian tersebut diringkas dengan Muhammad Rasulullah, yang berarti pengetahuan tentang “badan dan makanan”, maka menjadi kewajiban bagi manusia untuk menghayati tentang rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan untuk “Muhammad Rasulullah”, maka ketika salat mengucapkan usalli, yang artinya memahami asalnya. Adapun raga manusia itu berasal dari ruh idhafi, ruh Muhammad Rasul, artinya Rasul rasa, keluarnya rasa urip (hidup), keluar dari badan yang terbuka, akrena asyhadu an laa, jika tidak mengetahui artinya syahadat, maka tidak tahu rukun Islam, maka tidak akan mengerti asal kejadian urip” (Hariwijaya, 2004:156)

Bagi manusia Jawa (kalangan Islam Kejawen), memahami Muhammad sebagai nabi utusan Allah bukan hanya sebatas syariat, yang hanya mengajarkan hukum-hukum agama saja (normatif). Jika ingin menjadikan nabi Muhamad sebagai suri teladan dari segi fisik, tingkah laku dan budi pekertinya maka sangat sulit, karena hidupnya jauh dari masa kita. Nabi Muhammad yang hidup pada abab ke 6 M harus diproyeksikan ke abad 18, yang tentu saja memiliki banyak perbedaan ruang dan waktu. Bagaimana kita bisa mencontoh seluruh perilaku dan budi pekerti orang yang masa hidupnya berabad-abad jauh dari kita ? sementara ada orang luhur pada masa kita yang dapat kita jadikan panutan. Demikian cara pandang orang Jawa dalam mencari panutan budi pekerti, sebagaimana digambarkan oleh Mangku Negara IV dalam Serat Wedhatama bait 10, sebagai berikut :

“Lamun sira paksa nulad

Tuladaning kanjeng nabi

O, ngger kadohan panjangkah

Wateke tan betah kaki

Rehne ta sira Jawi

Setitik bae wus cukup

Aywa guru aleman

Nelad kas ngeblegi pekih

Lamun pengkuh pangangkah yekti karahmat”.

Artinya :

“Jika engkau paksakan untuk mengikuti

Teladan Kanjeng Nabi

O, anakku terlalu jauh jangkauanmu

Apakah akan betah (kuat) anakku

Karena engkau hanya orang Jawa

Sedikit saja sudah cukup

Ada guru yang alim (aleman = aliman)

Orang yang pandai dalam bidang fikih

Jika engkau teguh menjalaninya maka akan mendapatkan rahmat”.



Bait tersebut memberikan gambaran bahwa, orang Jawa jika hnedak meneladani Nabi Muhammad akan mengalami kesulitan, karena Islam di Jawa begitu jauh jarak, ruang, dan waktunya dari negeri asalnya, selain itu juga sifat kejawaan yang jauh berbeda dengan sifat kearaban. Jika demikian bukan mustahil bagi orang Jawa akan menemui kesulitan dalam meneladani seluruh perilaku Nabi, oleh sebab itu sedikit saja sudah cukup. Cukuplah barang sedikit dalam meneladani Nabi yaitu dengan menjalankan tugas inti kerasulannya, sebagai pembawa risalah. Inti tugas risalah Nabi menurut Mahmud Syaltut adalah merupakan sebagian kecil dari keseluruhan perilaku hidupnya yang dikenal dengan as Sunnah (Ardani, 1995:155). Syaltut membedakan sunnah Nabi menjadi dua, yaitu : (1) sunnah yang wajib diteladani, yaitu sunnah yang bertalian dengan tugas kerasulan (risalah)-nya yang berkenaan dengan pokok-pokok akidah, ibadah, akhlak, dan penentuan halal haram; (2) sunnah yang tidak wajib diteladani, yaitu yang berkaitan dengan perilaku hidup manusia biasa dalam hidup sehari-hari, pengalaman hidup, dan cara-cara mengatasi berbagai persoalan yang menimpanya. Jadi yang wajib ditaati adalah sunnah jenis pertama, sedangkan jenis kedua tidak.

Oleh sebab itu, Muhammad hendaknya dipahami secara ruhaniah, karena fisiknya sama seperti manusia pada umumnya. Secara ruhaniah, Muhammad adalah manusia pembawa risalah yang telah mampu menembus alam inderawi menuju alam maknawi, mencapai pencerahan, manunggal dengan Tuhan Pencipta alam semesta. Sehingga nama “Muhammad” baginya adalah karunia Allah SWT, bukan hanya sebatas sebutan atau panggilan yang tidak ada maknanya. Huruf-huruf yang merangkai namanya mengandung makna yang harus dijadikan i’tibar bagi mereka yang berpikir. Untuk mengetahui makna atau hakekat dari nama Muhammad itu dibutuhkan ngelmu dan laku, maka salah satu cara memahami dan mencapai penghayatan tersebut seseorang harus masuk dalam dunia mistik salat.

Landasan berpikir Sastrawijaya terlihat dari pemahamannya terhadap kaidah-kaidah Islam yang tertuang dalam fikih dan juga ajaran tasawuf. Sebagai seorang muslim, diajarkan untuk salat seperti layaknya Nabi Muhammad melaksanakan salat. Adapun Nabi sendiri tidak pernah memberikan penjelasan yang detail tentang bagaimana salat yang benar, seperti yang dikerjakan oleh nabi. Pembahasan tentang salat kebanyakan hanya terbatas pada syarat sah dan rukunnya saja, dipahami dari sisi fikih semata (fikih oriented). Oleh sebab itu, seringkali seseorang melakukan salat tetapi tidak pernah merasakan nikmatnya, bahkan jauh dari tujuan salat yang sebenarnya. Maka dengan memahami “Muhammad” dalam salat akan mampu menembus dinding inderawi (aspek normatif) salat dan masuk dalam alam maknawi salat, pada ujungnya kita merasakan perjumpaan dengan Tuhan yang sebenarnya.

Salat merupakan salah satu laku yang harus diamalkan oleh seorang muslim dalam mensucikan batin. Salat yang dikerjakan secara normatif, terbatas hanya pada definisi fikih (ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam) tidak akan mampu mencapai hakekat salat. Meskipun demikian kita tidak boleh menafikan kaidah gerakan-gerakan dohir salat itu sendiri, karena gerakan-gerakan salat merupakan suatu cara yang telah ditentukan oleh Nabi Muhammad Saw. Maka untuk memahami hakekat salat, mencapai pencerahan batin, merasakan kemanunggalan dengan Allah SWT harus seperti salatnya Nabi Muhamad SAW. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw : “Salatlah kamu seperti kamu melihat aku salat”. Namun untuk mengetahui bagaimana salat nabi tersebut adalah hal yang musykil, apalagi dalam rentang waktu yang sudah berabad-abad. Jangankan kita yang hidup jauh dari masa Rasulullah Saw, para sahabat yang sering ikut salat berjamaah dibelakang Rasul pun melakukan cara salat yang berbeda-beda (Muhamad Al Bagir dalam Sukardi, 2001:78).

Oleh sebab itu untuk memahami bagaimana salatnya Nabi Muhamad, Sastrawijaya mengambil dari sisi hakekat Muhamad sebagai pembawa pesan-pesan Ilahi. Perintah salat yang didapat Nabi Muhamad melalui peristiwa Mi’raj, merupakan pijakan untuk memahami hakekat salat tersebut. Mi’raj berasal dari kata uruj, yang berarti naik atau berada diatas dan “melampaui” sesuatu yang berada di bawah. Mi’raj merupakan peristiwa yang dialami oleh nabi Muhamad ketika mampu menembus dunia material melampaui segala alam materi, kemudian naik ke alam yang tinggi, alam ruhaniah, untuk manunggal dengan Sang Khaliq. Mi’raj menandai keadaan nabi ketika mampu melewati keadaan basyariah (manusia sebagai jasad dan badan) menjadi “insan” atau manusia dengan “roh” yang sadar yang sadar bergerak ke arah kemungkinan-kemungkinan yang baik (Ulil Abhsar dalam Sukardi, 2001:198). Keadaan nabi dalam level “insan” yang sepenuhnya itulah yang kemudian menghantarkannya dengan perjumpaan dengan Sang Kebenaran (Al Haq), yaitu Allah SWT.

Keadaan Nabi Muhammad seperti inilah yang dieksplorasikan oleh Sastrawijaya untuk membeberkan rahasia salat. Setiap apa yang pernah dikerjakan oleh Nabi pada dasarnya merupakan suatu perintah untuk ditiru oleh umatnya, sehingga peristiwa mi’raj itupun seharusnya dapat kita duplikasi dalam kita melaksanakan salat. Karena, kedudukan Muhamad sebagai nabi pembawa pesan-pesan Ilahi pada dasarnya juga merupakan kedudukan orang-orang yang beriman dalam mengemban misi Islam. Dengan demikain, bagi orang-orang beriman seharusnya mampu melakukan mi’raj sebagaimana yang pernah dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Mi’raj lebih merupakan peristiwa ruhaniah, bukan fisik, yaitu suatu keadaan atau maqam kejiwaan nabi ketika merasakan kemanunggalan dengan Allah Swt, begitu intim dengan-Nya. Sebagaimana Nabi pernah bersabda : ‘As salatu mi’rajul mukmin” (salat itu mi’rajnya orang-rang yang beriman).

Muhammad seperti inilah yang dimaksudkan oleh Sastrawijaya, yaitu Muhamad dalam keadaan (maqam) ruhaniah tertinggi yang berhasil mencapai puncak perjalanan spiritual bertemu dengan Pencipta alam semesta. Dengan ngelmu dan laku “Muhamad” tersebut, seseorang akan mencapai pencerahan ruhani, jiwanya kembali fitrah, lepas dari kungkungan duniawi (alam kebendaan), maka ketika itulah dia akan mendapati ruhnya berada pada titik terdalamnya, yang disebut dengan “hati nurani”. Hati nurani inilah yang menjadi warana (media) bagi Allah untuk mengajarkan segala ilmu, segala rahasia kepada hamba-Nya, maka ilmu itulah yang dinamakan dengan ilmu hakekat atau “ilmu sejati”. Ilmu yang diperoleh langsung dari Allah di dalam hati sanubari, dan ‘hati sanubari” inilah yang biasa disebut oleh orang Jawa dengan “guru sejati”. Perolehan ilmu sejati langsung dari sisi Allah Swt, sebagaimana yang pernah dialami oleh Rasulullah Saw ketika mengalami Mi’raj dijelaskan oleh Sastrawijaya dalam Suluk Sajatining Salat bait kelima sebagai berikut :

“metu Muhkamad asale, murade emim iku, kang kakekat maring ing ngilmi, iku ati kang mulya, tan pisah puniku, tegese tan kena pejah, ati iku ing-aran ati nurani, iku ati kang mulya”.

Artinya :

“Asal mula Muhammad, maksudnya mim itu, adalah hakekat ilmu, yaitu hati yang mulia, yang tidak dapat dipisahkan, artinya tidak dapat mati, hati itu disebut dengan hati nurani, yaitu hati yang mulia” Rahayu > Kp Karyonagoro